Piramida Distribusi Kekayaan Masyarakat Indonesia
Menarik mencermati pemberitaan detikcom (19/10) yang berisi pernyataan bahwa hanya 1% masyarakat Indonesia yang menikmati kekayaan sementara 99% sisanya hidup pas-pasan bahkan sangat sulit. Sontak, berita ini menjadi perhatian publik.
Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah bagaimana sebenarnya kondisi kehidupan mereka yang tidak termasuk dalam kelompok elit 1% ini. Apakah semuanya hidup pas-pasan?
Tentu saja, pengamatan atas kondisi mereka sangat sulit. Akan lebih mudah mengamati atau mengukur orang-orang yang berada di kelompok ekstrem atas (orang yang sangat kaya) atau ektrem bawah (orang yang paling miskin). Orang-orang yang masuk ke dalam 1% orang terkaya di Indonesia adalah mereka memiliki harta atau aset yang sangat banyak.
Artikel ini difokuskan pada kekayaan, dan bukannya pendapatan. Kekayaan rumah tangga lebih mampu merefleksikan kondisi kesejahteraan rumah tangga tersebut.
Kamus Besar Bahasa Indonesia juga memberi definisi kaya adalah mempunyai banyak harta.
Hubungan keduanya juga unik: seseorang yang punya pendapatan tinggi biasanya akan memiliki tingkat kekayaan tinggi, namun orang yang punya tingkat kekayaan tinggi belum tentu punya pendapatan tinggi.
Maka, pengamatan juga harus dimulai dari sisi kekayaan. Pengamatan dari sudut pandang kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS) menjadi tidak memuaskan, karena perhitungan mereka adalah berdasarkan aspek pengeluaran. Berbagai lembaga internasional menunjukkan bahwa hanya sekitar 1% penduduk Indonesia yang mengusai sebagian besar kekayaan di Indonesia.
Publikasi Bank Dunia (2016) menyatakan 1% penduduk terkaya di Indonesia menguasai 50,3% dari total kekayaan, sementara 99% penduduk yang lain memiliki 49,7%. Demikian juga dengan publikasi Oxfam (2017) yang menunjukkan 1% orang terkaya Indonesia menguasai 49% kekayaan.
Namun demikian, fakta ini masih belum cukup untuk menggambarkan bagaimana cara 99% penduduk membagi sisa kekayaan di antara mereka.
Piramida Distribusi Kekayaan
Pengamatan atas distribusi kekayaan dapat didasarkan pada data Credit Suisse (2017). Lembaga ini menemukan bahwa hanya 0,1% penduduk dewasa di Indonesia yang memiliki kekayaan lebih dari 1 juta dolar Amerika, atau kurang lebih 15 miliar rupiah.
Di bawahnya, ada penduduk yang memiliki kekayaan 100 ribu-1 juta dolar, jumlahnya lebih banyak yakni sekitar 1,1%. Kemudian, ada kelompok yang memiliki kekayaan 10.000 – 100.000 dolar, yang berjumlah 17% dari populasi. Terakhir, penduduk yang memiliki kekayaan di bawah 10.000 dolar, atau sekitar 150 juta rupiah. Kelompok ini berjumlah 81,9 persen dari populasi.
Jika dibuat dalam bentuk grafis, maka dapat dilihat pada gambar 1. Bentuk piramida dapat dilihat pada gambar 2:
Di bawahnya, ada penduduk yang memiliki kekayaan 100 ribu-1 juta dolar, jumlahnya lebih banyak yakni sekitar 1,1%. Kemudian, ada kelompok yang memiliki kekayaan 10.000 – 100.000 dolar, yang berjumlah 17% dari populasi. Terakhir, penduduk yang memiliki kekayaan di bawah 10.000 dolar, atau sekitar 150 juta rupiah. Kelompok ini berjumlah 81,9 persen dari populasi.
Jika dibuat dalam bentuk grafis, maka dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Perbandingan Distribusi Kekayaan Indonesia dan Dunia (%). Sumber: Credit Suisse 2017
Gambar 2. Distribusi Kekayaan Penduduk Dewasa di Indonesia, 2017. Sumber: Credit Suisse, 2017
Posisi puncak adalah mereka yang memiliki kekayaan lebih dari 1 juta dolar AS, atau sekitar 15 miliar rupiah, yang jumlahnya hanya 0,1% dari seluruh penduduk Indonesia. Tingkat kedua adalah mereka yang memiliki kekayaan 100 ribu dolar AS (1,5 miliar rupiah) sampai 1 juta dolar AS, yang jumlahnya sekitar 1,1%.
Tingkat ketiga adalah orang-orang yang memiliki kekayaan 10 ribu dolar AS (150 juta rupiah) sampai 100 ribu dolar AS, berjumlah 17%. Terakhir, mereka yang memiliki kekayaan di bawah 10 ribu dolar AS (150 juta rupiah) yang berjumlah 81,9% dari populasi.
Jika dibuat dalam gambar, maka data ini berbentuk seperti piramida, dimana 0,1% penduduk ada di bagian puncak dengan bagian bawah yang semakin lebar. Lebar piramida menunjukkan jumlah penduduk, sementara ketinggian piramida menujukkan jumlah kekayaan. Berarti, semakin tinggi jumlah kekayaan, semakin sedikit jumlah penduduk yang memiliki kekayaan sejumlah tersebut.
Perlu Juga Memperhitungkan Unsur Hutang
Perhitungan kekayaan idealnya juga memasukkan unsur hutang. Kekayaan boleh banyak namun dengan jika hutang juga banyak maka akan memberi penilaian yang berbeda. Karena hutang akan mengurangi nilai aset, maka jika jumlah hutang sama dengan jumlah aset maka kekayaan bersih orang tersebut akan menjadi nol. Lebih ekstrem lagi, jika hutangnya lebih besar dari jumlah aset, maka nilai kekayaan bersihnya akan menjadi negatif.
Dengan menggunakan data Indonesia Family Life Survey (IFLS) tahun 2014 diketahui bahwa 1,81% rumah tangga di Indonesia memiliki kekayaan bersih negatif. Mereka dapat digolongkan sebagai paling miskin—dari sisi kekayaan bersih—dari seluruh populasi. Kemudian ada sekitar 5,14% rumah tangga yang memiliki kekayaan bersih nol rupiah.
Perlu dicatat bahwa meski mereka tergolong dua kelompok paling bawah, namun dalam kesehariannya mereka bisa jadi masih punya pendapatan rutin, masih bisa berpergian, atau masih bisa makan tiga kali sehari. Hanya saja, dari perhitungan kekayaan bersih, nilai kekayaan bersih mereka adalah negatif atau nol. Kelompok yang tidak termasuk kedua kelompok ini berarti memiliki kekayaan bersih yang bernilai positif (jumlah aset lebih besar dari hutang).
Jika disusun, maka kelompok yang memiliki kekayaan negatif ada di paling bawah. Di atasnya ada mereka yang kekayaannya nol rupiah. Kemudian ada mereka yang kekayaannya sedikit lebih tinggi dari nol rupiah. Kemudian disusul kelompok lain yang kekayannya semakin tinggi. Begitu terus hingga sampai di puncak.
Jika dibuat dalam bentuk gambar, maka akan terbentuk piramida terbalik dengan kelompok rumah tangga paling miskin ada di dasar piramida. Semakin ke atas, semakin banyak kekayaan bersih yang dimiliki oleh rumah tangga yang ada di kelompok tersebut.
Bentuk piramida, baik piramida normal maupun piramida terbalik, menunjukkan adanya perubahan yang gradual atau bertahap dari dasar piramida menuju ke puncak. Bentuk piramida menunjukkan orang miskin (yang berada di dasar piramida) tetap ada. Tapi orang yang lebih kaya juga ada (meski jumlahnya lebih sedikit). Dan akan selalu ada orang yang lebih kaya lagi. Sampai pada puncak, dimana tidak ada orang lain yang lebih kaya lagi.
Bentuk Piramida Distribusi Kekayaan Masyarakat Indonesia
Bagaimana proporsi atau pembagian kekayaan yang dinikmati oleh masing-masing kelompok masyarakat? Bagaimana bentuk profil kekayaan masyarakat Indonesia?
Untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut, kita dapat menggunakan sumber data Indonesian Family Life Survey (IFLS) tahun 2014. Berdasarkan IFLS, diperoleh pembagian nilai kekayaan bersih rumah tangga di Indonesia seperti pada gambar 3.
Gambar 3. Proporsi Rumah Tangga berdasarkan Kekayaan Bersih yang Dimiliki, 2014. Sumber, RAND, 2014
Gambar 4. Proporsi Rumah Tangga berdasarkan
Kekayaan Bersih yang Dimiliki, 2014. Sumber, RAND, 2014
Gambar 4 menunjukkan piramida distribusi
kekayaan bersih rumah tangga di Indonesia. Dasar piramida menunjukkan penduduk yang memiliki kekayaan terendah. Semakin
ke puncak, rumah tangga memiliki kekayaan bersih lebih tinggi.
Sementara itu, jumlah
kekayaan yang dimiliki berbeda-beda setiap persentil. Gambar 5 menunjukkan
perbandingan kekayaan bersih yang dimiliki tiap persentil. P90
menunjukkan kekayaan yang dimiliki rumah tangga yang berada di persentil ke-10,
dan seterusnya hingga ke P90.
Gambar 5. Nilai Kekayaan Bersih Rumah Tangga
Indonesia, 2014
Gambar 6. Piramida
Terbalik Kekayaan Rumah Tangga Indonesia, 2014
Gambar 5 dapat
dimodifikasi menjadi sebuah piramida terbalik di gambar 6. Dengan dasar
piramida adalah nilai kekayaan bersih yang dimiliki oleh rumah tangga paling
miskin, dan puncak piramida adalah nilai kekayaan bersih yang dimiliki oleh
rumah tangga paling kaya.
Maka, pengamatan akan kondisi ketimpangan kekayaan di Indonesia sepatutnya tidak hanya dari kondisi ujung-ujung ekor (tail) distribusi melainkan juga dari badan distribusi itu sendiri.
Maka, pengamatan akan kondisi ketimpangan kekayaan di Indonesia sepatutnya tidak hanya dari kondisi ujung-ujung ekor (tail) distribusi melainkan juga dari badan distribusi itu sendiri.
Referensi: