Daya Beli Masyarakat, in this Economy: Dunia Usaha dan Perspektif Ekonomi Makro


Pemberitaan detikcom (02/08) tentang kelas menengah di Indonesia menunjukkan kondisi masyarakat di kategori ini yang semakin tertekan. Pendapatan yang tidak berubah banyak harus berhadapan dengan semakin tingginya pengeluaran imbas kenaikan harga. Tak heran kelas menengah semakin rutin berhemat dalam mengatur pengeluaran, bahkan untuk urusan makan.

Kondisi ini juga diperparah dengan realita bahwa mereka bukan kelompok yang menerima bantuan sosial dari pemerintah. Sebab, tak seperti warga miskin, kelas menengah bukanlah golongan yang terjangkau bansos pemerintah.

Maka tak heran, ini seperti kelas nanggung: miskin bukan, kaya masih jauh.

Meski demikian, kelas menengah di Indonesia dielukan sebagai penyokong perekonomian. Meski jumlah mereka hanya sekitar 17% dari total penduduk Indonesia, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa konsumsi mereka mencapai sekitar 40% dari total konsumsi penduduk Indonesia. 


Definisi Kelas Menengah

Penentuan kelas menengah menggunakan data konsumsi per kapita yang bersumber dari Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dari Badan Pusat Statistik (BPS). Susenas ini sendiri mencakup survei atas konsumsi masyarakat, yang terbagi menjadi konsumsi makanan dan non-makanan. Selain itu, data garis kemiskinan dari Badan Pusat Statistik (BPS) juga digunakan dalam pengukuran konsep masyarakat kelas menengah.

Konsep dari Bank Dunia juga digunakan dalam menentukan klasifikasi kelas masyarakat. Secara umum, perhitungan ditentukan dengan jumlah konsumsi per kapita individu masyarakat dibandingkan dengan garis kemiskinan, dengan kriteria sebagai berikut:

Tabel 1. Klasifikasi Kelas Masyarakat Berdasarkan Bank Dunia dan Ambang Batas Garis Kemiskinan


Pada Maret 2024 BPS menetapkan nilai garis kemiskinan nasional sebesar Rp582.932 per kapita per bulan. Artinya, masyarakat Indonesia yang tergolong kelas menengah (yakni yang memiliki pengeluaran antara 3,5 sampai 17 kali lipat dari garis kemiskinan nasional) pada tahun 2024 adalah yang memiliki pengeluaran antara Rp2.040.262 sampai Rp9.909.844 per kapita per bulan.

Data BPS menunjukkan pada 2019 jumlah kelas menengah Indonesia mencapai 57,33 juta orang, setara 21,45% dari total penduduk. Setelah itu populasinya terus turun, hingga menjadi 47,85 juta orang atau 17,13% dari total penduduk pada 2024. 


Bila dilihat secara lebih mendalam, perkembangan kelompok penduduk Indonesia dapat dilihat dari antar kelas. Pada periode 2014-2024 terjadi penurunan persentase penduduk miskin dan diiringi dengan perpindahan kelompok Miskin menjadi Rentan dan Rentan menjadi Aspiring Middle Class (AMC). 


Grafik 1 memperlihatkan perkembangan masing-masing kelompok masyarakat mulai tahun 2014 sampai 2024.

Biaya Perawatan Lansia semakin Meningkat

Satu jenis pengeluaran yang menggerus pendapatan warga adalah biaya perawatan orang lanjut usia (lansia). Hal ini terjadi karena seiring dengan bertambahnya usia, biaya perawatan seseorang akan semakin mahal. Tidak hanya biaya makan minum namun juga biaya kesehatan dan biaya untuk pendamping lansia. Hal ini dapat dilihat dari data Indonesia Longitudinal Aging Survey 2023. 

Tabel di atas menunjukkan secara rata-rata, tiga komponen pengeluaran terbesar perawatan kesehatan warga lanjut usia adalah biaya pendamping atau pemberi rawat (rata-rata Rp.893.637 per bulan), biaya liburan dan skrining kesehatan (rata-rata Rp.670.662 per bulan), serta biaya terapi atau rehabilitasi (rata-rata Rp.276.060 per bulan).


Utang 

Kemudahan dunia digital membuat pinjaman instan berupa Buy Now Pay Later (BNPL) yang banyak digunakan digunakan pada metode belanja online. Gambar berikut menunjukkan preferensi penggunaan BNPL merujuk pada Laporan Perilaku Pengguna PayLater Indonesia 2024 dari Kredivo (2024).


BNPL paling banyak digemari kelompok usia rentang usia 26-35 tahun dengan lebih dari 40% pengguna.


Laki-laki cenderung melakukan transaksi menggunakan PayLater dengan nominal yang lebih besar dibanding perempuan. Pada 2023, rata-rata nilai transaksi yang dilakukan laki-laki menggunakan PayLater adalah di rentang Rp350-400 ribu. Sementara rata-rata nilai transaksi perempuan adalah di rentang Rp300-350 ribu. 


BNPL yang banyak menyasar Generasi Z (yakni mereka yang lahir antara tahun 1997-2012 atau yang saat ini berusia 13-28 tahun) yang notabene belum masuk ke pasar tenaga kerja atau sedang di awal meniti karir. Dampaknya, mereka belum bekerja namun sudah punya hutang. Saat mereka masuk ke dunia tenaga kerja dan memiliki pendapatan maka bisa jadi pendapatan tersebut justru akan dihabiskan untuk membayar hutang dan bukannya untuk ditabung (misalnya untuk membiayai pernikahan atau studi lanjut) atau menambah aset (misalnya membeli rumah dan kendaraan). Malangnya, perilaku gemar berhutang ini bisa jadi tidak hilang saat mereka masuk ke pasar tenaga kerja namun akan terus berlanjut dan menjadi lebih parah karena mereka bisa meminjam uang ke rekan kerja atau ke kantor.

Tidak hanya pinjaman online, pinjaman offline yang lebih konvensional seperti bank plecit, bank ucek-ucek, bank harian, atau lintah darat juga masih tetap marak. Baik pinjaman online atau pinjaman yang lebih konvensional di atas memiliki kemiripan yakni kemudahan prosedur (pengajuan online atau petugas yang akan datang), persyaratan yang relatif mudah (hanya serahkan KTP dan tanpa BI Checking), dan dana cair dalam waktu singkat. 

Keduanya juga memiliki kemiripan yakni bunga tinggi dan biaya administrasi tinggi. Contohnya, nasabah mengajukan pinjaman ke bank plecit sebesar Rp.1.000.000 yang kemudian akan cair sebesar Rp.800.000. Pinjaman kemudian akan diangsur sebanyak 10 kali dengan nominal angsuran Rp.130.000.

Kemudahan bank plecit di atas banyak menjerat ibu rumah tangga yang mengajukan kredit tanpa sepengetahuan suaminya. Sementara ibu-ibu rumah tangga yang terjerat rentenir tersebut tidak memiliki pekerjaan atau pendapatan, sedangkan uang pinjamannya digunakan untuk kebutuhan konsumtif.


Peluang

In this Economy, semua sedang berjuang bertahan. Kembali ke kelas menengah tadi, kenaikan upah tidak sebanding dengan kenaikan biaya hidup. Saat tidak banyak konsumsi, maka tidak banyak pendapatan yang diterima oleh dunia usaha. Hal ini membawa dampak ketidakmampuan mereka untuk membayar atau meningkatkan upah pegawai, melakukan ekspansi usaha, atau melakukan inovasi dan peremajaan aset. 

Masih ada beberapa peluang yang bisa dijajaki. Dari sisi makro, ada peluang pertumbuhan Ekonomi di Malang Raya melalui pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS) dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Singhasari. 

Perlu memperhatikan dinamika pasar terutama target pasar yang dituju. Merujuk pada kelas menengah di atas, mereka memiliki ciri lebih memperhatikan kualitas produk, citra merek, dan nilai guna dari suatu barang termasuk juga kemampuan teknologi yang mumpuni. Hal ini berdampak pada tipikal mereka yang cenderung selektif dalam memilih produk dan mencari informasi lebih dulu sebelum membeli. 

Karena kemampuan menjelajah di dunia digital, kelas menengah akan mencari produk yang memiliki value for money dan bukan semata-mata harga yang murah. Oleh karena itu, penting untuk menawarkan harga yang sepadan dengan kualitas. Beberapa hal bisa dilakukan:

Pertama, bagi pelaku usaha, penting untuk menjaga kualitas produk yang dijual melalui pemilihan bahan baku yang digunakan, proses produksi yang higienis, hingga tampilan kemasan yang menarik dan profesional. 

Kedua, perlu juga inovasi produk seperti dengan menghadirkan varian baru, edisi khusus kemasan, atau produk yang mengikuti tren makanan seperti rendah gula, vegan, atau bebas pengawet. 

Ketiga, pelaku usaha juga perlu menjaga kredibilitas produk dalam dunia digital. Hal ini dicapai melalui pembentukan citra merek yang kuat melalui narasi produk seperti mengangkat aspek ekonomi lokal, keberlanjutan, atau gaya hidup sehat. Bisa ditambahkan citra sosial produk, misalnya dengan menyematkan label seperti "Produk UMKM Lokal" atau "Dibuat oleh Ibu Rumah Tangga" yang memberi nilai emosional bagi pembeli. Produk tersebut juga disertai dengan foto berkualitas tinggi, deskripsi lengkap. 

Keempat, produk juga harus mudah dijangkau seperti harus tersedia di marketplace seperti Shopee dan Tokopedia serta dipasarkan melalui Instagram, TikTok, dan WhatsApp Business. 

Kelima, penjualan produk juga harus disertai dengan pelayanan pelanggan yang responsif.

Keenam, perlu juga membangun hubungan jangka panjang melalui konten edukatif dan emosional. Misalnya, bagikan cerita di balik produk, tips konsumsi sehat, atau resep camilan modern dengan kripik pisang. 

Ketujuh, penjualan produk juga hendaknya memngakomodir berbagai opsi pembayaran digital seperti e-wallet dan QRIS untuk menambah kenyamanan dan kepercayaan konsumen.


Penutup

Perlu adaptasi dengan perkembangan ekonomi yang relatif stagnan, ditandai dengan semakin menyusutnya proporsi dan peran kelas menengah di Indonesia. 

Pemanfaatan teknologi seperti media sosial dan platform e-commerce dapat membuka peluang pasar baru sekaligus memperkuat daya saing usaha (TS). 


Referensi

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-8041158/nasib-kelas-menengah-bekal-dari-rumah-gaji-numpang-lewat-tabungan-seret

Kemenkeu Learning Center. Kelas Menengah Indonesia yang dilihat dari Pilar Pertumbuhan dan Tantangannya ke depan. https://klc2.kemenkeu.go.id/kms/knowledge/kelas-menengah-indonesia-yang-dilihat-dari-pilar-pertumbuhan-dan-tantangannya-ke-depan-327481db/detail/

https://databoks.katadata.co.id/infografik/2024/09/05/populasi-kelas-menengah-indonesia-kian-berkurang

https://kredivocorp.com/wp-content/uploads/2024/06/Laporan-Perilaku-Pengguna-Paylater-Indonesia-2024-Kredivo.pdf

https://surveymeter.org/en/post/indonesia-longitudinal-aging-survey-ilas-2023

Popular posts from this blog

Skewness dan Kurtosis

Piramida Distribusi Kekayaan Masyarakat Indonesia

KKN di Desa Penari

Palma Ratio Indonesia

Generasi Hutang: Literasi Keuangan dan Kekayaan Rumah Tangga

Berapa Rata-Rata Kekayaan Rumah Tangga di Indonesia?