Bodoh (?)

Artikel mojok.co (31/03) menampilkan cerita tentang murid yang dicap bodoh di sekolah, yang selalu berada di peringkat 10 terendah di kelas, yang diterima di Universitas Brawijaya (UB) melalui jalur SNBP (dahulu SNMPTN) (Sumber: mojok.co).

Bukannya pujian, namun malah cemooh yang datang dari guru-guru di sekolah. Tidak ada sambutan apapun karena tidak ada yang menyangka ia justru bisa masuk UB dan menyingkirkan nama-nama lain yang digadang-gadang lolos SNBP.

Tentu saja akan ada pembelaan yang muncul: tidak ada murid yang bodoh; semua murid pintar. 

Kita harus berpikir lebih jernih mengingat bodoh dan pintar itu relatif. 

Seseorang akan disebut bodoh jika ia memiliki nilai lebih rendah dibanding kebanyakan teman-temannya. Sebaliknya, ia akan disebut pintar jika memiliki nilai lebih tinggi dibanding dengan kebanyakan teman-temannya.

Ini adalah posisi relatif seseorang terhadap kelompoknya.

Dalam statistik, posisi bodoh bisa dilambangkan dengan nilai ekstrim terendah yang lebih rendah daripada nilai rata-rata kelompok tersebut. Sebaliknya penilaian pintar berarti dilambangkan dengan nilai ekstrim tertinggi yang lebih tinggi dibanding nilai rata-rata kelopok. 

Di sini terlihat peran penting kelompok. Kelompok akan menghasilkan nilai rata-rata dan standar deviasi. Saat kurva terdistribusi normal, sebagian besar anggota kelompok akan memiliki nilai di sekitar nilai rata-rata. Sementara standar deviasi melambangkan persebaran nilai dimana semakin besar standar deviasi berarti nilai akan semakin terdispersi atau terdistribusi semakin menyebar. 

Kemudian, dimana posisi nilai ekstrim tersebut dibanding kelompoknya? 

Kita bisa mengetahui dengan membandingkan beberapa skenario yang terjadi.  

Tiga Skenario

Ada tiga skenario yang bisa muncul dengan membandingkan nilai ekstrim dan nilai rata-rata.

Pertama, nilai ekstrim terendah di satu kelompok lebih rendah dari nilai ekstrim terendah di kelompok lain meski kedua kelompok memiliki nilai rata-rata yang sama. Ini seperti terlihat pada Gambar (a): 

Sumber: statisticstechs.weebly.com

Gambar (a) menunjukkan dua kurva yang memiliki nilai rata-rata yang sama namun memiliki standar deviasi yang berbeda. 

Kurva 1 memiliki standar deviasi lebih tinggi dari Kurva 2 yang berarti Kurva 1 memiliki nilai yang lebih tersebar daripada Kurva 2.

Merujuk pada istilah bodoh dan pintar di atas, siswa yang lebih bodoh di Kelompok 1 (ekstrim terendah) bisa jadi lebih bodoh daripada siswa paling bodoh di kelompok 2 meski kedua kelompok memiliki nilai rata-rata yang sama.

Kedua, nilai ekstrim terendah pada satu kelompok sama dengan nilai ekstrim tertinggi untuk kelompok lain. Ini seperti terlihat pada Gambar (b): 

 

Sumber: statisticstechs.weebly.com

Pada Gambar (b), nilai ekstrim terendah pada Kurva 1 sama dengan nilai ekstrim tertinggi untuk Kurva 2. Dengan kata lain, siswa terbodoh pada Kelompok 1 bisa jadi setara dengan siswa terpintar di Kelompok 2.

Ketiga, nilai ekstrim terendah di satu kelompok jauh lebih tinggi daripada nilai ekstrim tertinggi di kelompok lain. Ini terlihat pada Gambar (c) di atas. 

Pada kondisi ini, tidak ada persinggungan antara kedua kurva. 

Dengan kata lain, siswa terbodoh pada Kelompok 1 jauh lebih pintar daripada siswa terpintar di Kelompok 2. 

Konsekuensi

Adanya ketiga kondisi di atas membawa konsekuensi bahwa rekognisi siswa bodoh (nilai ekstrim terendah) dan siswa pintar (nilai ekstrim tertinggi) tidak bisa serta merta mengisolasi dari pengaruh eksternal. 

Maka, setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan:

Pertama, penentuan kelompok. Where you live represents who you are.

Hal ini penting untuk menentukan posisi relatif dalam kelompok.

Tergabung dalam kelompok elit (baca: nilai rata-rata tinggi) akan membawa banyak manfaat seperti etika kerja, kedisplinan, logika dan cara berpikir, serta jejaring, yang akan dinikmati oleh orang terbodoh sekalipun.

Sebaliknya, tergabung ke dalam kelompok yang bukan elit (baca: nilai rata-rata rendah) akan membawa manfaat yang lebih rendah karena karakteristik etika kerja, kedisplinan, atau logika yang berbeda daripada kelompok yang lebih elit.  

Ini juga yang akan membuat dikotomi sekolah unggulan dan bukan unggulan. 

Sekolah unggulan ditandai dengan nilai rata-rata lebih tinggi daripada sekolah bukan unggulan. Maka sekolah unggulan akan memiliki siswa dengan etika belajar, kedispilinan, atau logika yang lebih tinggi dibanding sekolah bukan unggulan.

Implikasinya, akan ada banyak orang tua yang berjuang memasukkan si anak masuk ke sekolah unggulan karena meski si anak akhirnya bukan murid paling pintar di sekolah namun ia akan menikmati manfaat karena dikelilingi oleh teman-teman yang pintar. 

Sebaliknya, akan sangat sedikit orang tua yang memasukkan si anak ke sekolah bukan unggulan hanya untuk mengejar agar si anak menjadi juara karena si orang tua tahu bahwa sang anak akan lebih pintar daripada teman-temannya.

Bahkan yang perlu diwaspadai adalah meski ia terpintar di kelompoknya, bisa jadi sejatinya ia jauh lebih bodoh dibanding siswa terbodoh di sekolah unggulan.

Kedua, perlu intervensi atas nilai ekstrim terendah. 

"Membuang" nilai ekstrim terendah akan membuat nilai rata-rata akan meningkat. Atau setidaknya membuat jarak antara nilai tertinggi dan terendah tidak terlalu jauh.

Maka kita perlu membuat peningkatan atas nilai ekstrim tersebut.

Jika dibiarkan, pihak lain yang akan dapat dengan mudah "membabat" nilai-nilai ekstrim terendah.

Hal ini tampak dalam seleksi masuk sekolah di jenjang yang lebih tinggi. Sekolah tujuan dapat dengan mudah memangkas nilai ekstrim terendah siswa yang akan diterima dengan menetapkan persyaratan nilai minimum dan kuota. 

Pendaftar di bawah nilai minimum akan otomatis tersingkir. Kemudian saat jumlah pendaftar sudah melebihi kuota yang tersedia maka pendaftar dengan nilai terendah (meski ia berada di atas nilai minimum) akan tersingkir.

Take Away Note

Tidak ada siswa bodoh; semua siswa pintar. Namun perlu dicek lagi sebenarnya ia masuk ke dalam kelompok yang mana? 

Referensi

https://mojok.co/liputan/kampus/siswa-tergoblok-lolos-snbp-ub-malang/

https://statisticstechs.weebly.com/desciptive-statistics/normal-distribution

Popular posts from this blog

Skewness dan Kurtosis

Siapa yang Menikmati Kenaikan Pendapatan Terbesar di Musim Mudik?

Piramida Distribusi Kekayaan Masyarakat Indonesia

IFLS: Mencari Variabel

KKN di Desa Penari

Peta Kemiskinan Kabupaten Malang