Upah Minimum dan Standar Hidup
Tidak semua daerah memberlakukan kenaikan upah minimum kabupaten/kota untuk tahun 2021. Beberapa daerah tetap dengan UMK lama, yakni 2020. Sementara daerah lain menyetujui kenaikan UMK 2021, meski dalam nominal kecil.
Beberapa kabupaten/kota dengan UMK 2021 tertinggi di Indonesia adalah:
1. Kabupaten Karawang Rp 4.594.000
2. Kota Bekasi Rp 4.589.000
3. Kabupaten Bekasi Rp 4.498.000
4. Seluruh Kotamadya DKI Jakarta Rp 4.276.000
5. Kota Cilegon Rp 4.426.000
6. Kota Depok Rp 4.202.000
7. Kota Surabaya Rp 4.200.000
8. Kota Tangerang Rp 4.199.000
9. Kota Gresik Rp 4.197.000
10. Kabupaten Sidoarjo Rp 3.864.000
Sumber: kompas.com
Argumen pemerintah adalah saat pandemi COVID-19 sekarang, menaikkan upah minimum bukan pilihan bijak saat dunia usaha juga sedang mengalami tekanan.
Upah minimum kabupaten/kota (UMK) adalah upah minimum yang harus diberikan kepada pekerja setiap bulan sebagai imbalan atas jasa yang diberikannya, dengan memenuhi syarat jam kerja sejumlah tertentu. UMK dibahas dan disepakati di tingkat kabupaten/kota, kemudian ditetapkan oleh pemerintah provinsi. Pembahasan UMK ini melibatkan unsur pemerintah daerah, unsur pekerja, dan unsur dunia usaha.
UMK juga merefleksikan biaya hidup. UMK yang tinggi berarti biaya hidup di daerah tersebut juga tinggi, bila dibandingkan dengan daerah yang memiliki UMK lebih rendah.
Bandingkan 10 daerah dengan UMK tertinggi di atas dengan daftar UMK kabupaten/kota yang ada di Provinsi DI Yogyakarta berikut:
1. Kota Yogyakarta Rp 2.069.530
2. Kabupaten Sleman Rp 1.903.500
3. Kabupaten Bantul Rp 1.842.460
4. Kabupaten Kulon Progo Rp 1.805.000
5. Kabupaten Gunung Kidul Rp 1.770.000.
Sumber: kompas.com
UMK Kota Yogyakarta kurang dari setengah upah minimum DKI Jakarta. Namun biaya hidup di Kota Yogyakarta tentunya jauh lebih rendah dibanding Jakarta.
Karakteristik Daerah dengan Upah Tinggi
Upah minimum yang tinggi melambangkan tingginya laju perekonomian. Kabupaten/kota dengan UMK tertinggi di atas punya corak industri.
Kabupaten Karawang ada di satu koridor perekonomian di timur Jakarta, bersama Kabupaten Bekasi dan Kota Bekasi. Di koridor barat Jakarta ada Kota Cilegon dan Kota Tangerang. Sementara di Jawa Timur, Kota Gresik dan Kabupaten Sidoarjo menyokong perekonomian Kota Surabaya.
Adanya industri membutuhkan kelancaran infrastruktur, seperti jalan, listrik, air, dan telekomunikasi. Tidak hanya untuk industri, infrastruktur juga dinikmati oleh pekerja atau masyarakat. Masyarakat juga turut menikmati pembangunan jalan (baik kualitas dan kuantitas) yang sudah sampai ke pelosok, ketersediaan dan kelancaran listrik yang sudah semakin baik serta kualitas dan jangkauan sinyal seluler dan jaringan internet yang semakin baik.
Ini terjadi karena adanya skala ekonomis (economies of scale) yang ingin dicapai oleh pengusaha infrastruktur. Skala ekonomis berarti Pengusaha menurunnya biaya per unit barang seiring dengan bertambah banyaknya barang yang dijual kepada konsumen.
Contohnya, adanya satu kawasan industri yang baru dibuka membutuhkan ketersediaan listrik. Kebutuhan akan listrik ini akan diatasi dengan membangun jaringan baru, seperti membangun gardu induk, gardu jaringan, sampai memasang tiang dan kabel. Biaya untuk membangun jaringan tersebut akan lebih murah jika listrik juga dapat dialirkan tidak hanya untuk industri melainkan juga pemukiman dan dunia usaha yang ada di sekitar wilayah industri tersebut.
Maka, wilayah di sekitar kawasan industri juga akan menerima dampak positif pembangunan infrastruktur.
Karena masyarakat tidak hanya butuh tempat kerja namun juga butuh hunian dan tempat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, maka adanya infrastruktur juga bisa menjadi daya tarik bagi pengusaha yang membuka usaha untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Ditambah dengan UMK yang tinggi berarti daya beli masyakat yang juga terhitung tinggi bila dibandingkan dengan daerah dengan upah minimum lebih rendah.
Maka tak heran, masyarakat yang ada di daerah dengan upah minimum tinggi memiliki banyak pilihan baik kuantitas dan kualitas untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, mulai dari kebutuhan primer (seperti perumahan, apartemen, restoran, tempat belanja), sekunder (contohnya usaha kesehatan, tempat pendidikan, tempat hiburan), sampai tersier (contohnya penjual mobil mewah, motor gede, sampai tas dan jam tangan mewah).
Bagi daerah dengan UMK tinggi, upah yang tinggi ini adalah juga kunci untuk tidak takut dengan lambatnya pertumbuhan penduduk alami di daerahnya masing-masing. Pertumbuhan penduduk alami berarti selisih antara jumlah kelahiran dan kematian dalam satu tahun.
Bagi mereka, akan selalu ada pekerja atau penduduk daerah daerah lain, terutama dari daerah yang memiliki upah yang lebih rendah, untuk datang dan mengadu nasib di daerah tersebut.
Harus ke Daerah dengan UMK Tinggi?
UMK tinggi menjadi daya tarik bagi pekerja dari daerah lain untuk datang dan bekerja. Namun pertimbangan bagi pekerja hendaknya tidak hanya soal upah namun juga seberapa mampu seseorang mencapai standar hidup tinggi.
Misalkan daerah A dengan upah minimum Rp.2 juta dan ada daerah B dengan upah minimum Rp.4 juta. Bukan berarti pekerja yang tinggal di daerah B dan dan mendapat upah minimum Rp. 4 juta memiliki standar hidup dua kali lebih tinggi dibanding pekerja yang tinggal di daerah A dan sama-sama mendapat upah minimum, yakni Rp.2 juta. Namun perbedaan upah minimum tersebut menunjukkan untuk mencapai standar hidup yang sama, bisa dikatakan biaya hidup daerah B dua kali lipat dibanding daerah A.
Misalnya, harga sewa kos di daerah A adalah Rp.400.000 per bulan. Namun untuk mendapatkan kos dengan standar atau kualitas yang sama (misalnya lokasi, ukuran, fasilitas) di daerah B, seseorang perlu mengeluarkan biaya Rp.800.000 per bulan. Contoh lain adalah soal harga makanan. Bisa jadi seseorang yang tinggal di daerah A masih bisa makan ideal (dalam hal kecukupan karbohidrat, protein, sayur) dengan harga di bawah Rp.10.000 per porsi. Namun orang yang tinggal di daerah B harus mengeluarkan uang di atas Rp.10.000 per porsi untuk mendapatkan makanan dengan porsi dan komposisi yang sama tadi.
Maka, pilihan bagi pekerja tidak hanya semata soal seberapa banyak upah yang diterima namun seberapa banyak yang bisa ditabung. Tabungan ini kemudian bisa dialihwujudkan dalam bentuk aset, seperti rumah, kendaraan, perhiasan, dan sebagainya. Semakin banyak aset yang dimiliki (setelah dikurangi dengan hutang) berarti semakin tinggi standar hidup seseorang.
Baik di daerah dengan upah minimum rendah maupun di upah minimum tinggi, seseorang tetap punya peluang untuk menabung.
Secara nominal, dengan usaha penghematan yang sama, mereka yang tinggal di daerah dengan upah minimum rendah memiliki tabungan lebih rendah daripada mereka yang tinggal di daerah dengan upah minimum lebih tinggi. Misalnya, misalnya menyisihkan 10% dari pendapatan untuk ditabung membuat seseorang dengan UMK Rp.2 juta mampu menabung Rp.200 ribu. Sementara 10% dari UMK Rp.4 juta adalah Rp.400 ribu.
Namun tinggal di daerah dengan upah minimum tinggi justru memunculkan lebih banyak tantangan untuk menabung. Akan ada lebih banyak godaan untuk membeli barang dan jasa (karena lebih banyak penjual) dibanding daerah dengan upah lebih rendah. Bukan tidak mungkin, upah nominal tinggi namun tidak punya tabungan. Karena semua habis untuk membiayai biaya hidup.
(Thomas Soseco)