Kabupaten Malang memiliki persentase penduduk miskin yang tergolong rendah di Indonesia atau di antara kabupaten/ kota lain di Provinsi Jawa Timur. Pada tahun 2021, angka kemiskinan di Kabupaten Malang mencapai 10,50%. Sementara kabupaten/ kota dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Jawa Timur adalah Sampang (23,76%), Bangkalan (21,57%), dan Sumenep (20,51%)
Namun bila dilihat dari angka absolut, Kabupaten Malang tergolong dalam jajaran kabupaten/ kota yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak di Indonesia dengan jumlah penduduk miskin 276,58 ribu jiwa pada tahun 2021. Jumlah ini menempatkan Kabupaten Malang di posisi keempat nasional, sementara posisi pertama kabupaten/kota dengan jumlah penduduk miskin terbanyak tahun 2021 adalah Kabupaten Bogor dengan jumlah penduduk miskin 491,24 ribu jiwa kemudian disusul Kabupaten Brebes (314,95 ribu jiwa) dan Kabupaten Garut (281,36 ribu jiwa).
Gambar 1. Peta Kemiskinan Provinsi Jawa Timur, 2015
Banyaknya jumlah penduduk miskin di Kabupaten Malang menunjukkan kondisi banyaknya penduduk yang tidak menikmati dampak positif pembangunan yang kemudian memperbesar peluang munculnya berbagai masalah kesehatan dan sosial ekonomi seperti stunting.
Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah dimana lokasi atau konsentrasi orang-orang yang termasuk dalam penduduk miskin di Kabupaten Malang?
Untuk dapat menjawab pertanyaan ini, kita bisa menggunakan peta kemiskinan (poverty map) dari Smeru yang mengamati persebaran kemiskinan diamati berdasar lingkup geografis terkecil yakni desa/ kelurahan dengan menggunakan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2015,
Pada peta kemiskinan, semakin tinggi tingkat kemiskinan di satu daerah akan memberi warna yang semakin gelap. Sebaliknya, semakin rendah tingkat kemiskinan di satu wilayah, warna di peta akan semakin cerah.
Gambar 2. Peta Kemiskinan Kabupaten Malang, 2015
Gambar 2 menunjukkan desa-desa dengan tingkat kemiskinan yang rendah di Kabupaten Malang pada umumnya menempel atau berbatasan dengan Kota Malang dan Kota Batu. Kemudian, desa-desa dengan tingkat kemiskinan rendah juga biasanya terletak di sekitar jalan poros Malang-Batu, Malang-Surabaya, dan Malang-Kepanjen.
Desa-desa dengan tingkat kemiskinan terendah adalah Mulyoagung (angka kemiskinan 0,45%) dan Landungsari (0,51%) di Kecamatan Dau, dan Sumber Porong (1,36%) di Kecamatan Lawang.
Tabel 1. Sepuluh Desa dengan Tingkat Kemiskinan Terendah di Kabupaten Malang, 2015
Catatan: lihat appendiks untuk definisi istilah
Sementara desa-desa dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Kabupaten Malang adalah Brongkal (35,79%) di Kecamatan Pegelaran, Sidoluhur (33,44%) di Kecamatan Lawang, dan Sidomulyo (33,26%) di Kecamatan Jabung.
Tabel 2. Sepuluh Desa dengan Tingkat Kemiskinan Tertinggi di Kabupaten Malang, 2015
Catatan: Lihat appendiks untuk definisi istilah
Tabel 1 dan 2 menunjukkan dugaan bahwa kemajuan ekonomi di Malang Raya, yakni Kota Malang dan Kota Batu, serta koridor Singosari-Lawang di utara serta koridor Kebonagung- Kepanjen, mampu memberi dampak positif bagi perekonomian di wilayah sekitarnya, dalam bentuk rendahnya angka kemiskinan.
Sebaliknya, desa-desa miskin yang selain memiliki jarak yang relatif jauh dari pusat-pusat perekonomian diduga memiliki suatu kondisi yang menyebabkan mereka memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi.
Penjelasan di atas juga memunculkan pertanyaan dalam kaitannya dengan persebaran penduduk miskin, apakah desa-desa dengan tingkat kemiskinan tinggi akan bertetangga dengan desa-desa lain yang juga memiliki tingkat kemiskinan tinggi atau sebaliknya, desa-desa dengan tingkat kemiskinan tinggi akan dikelilingi dengan desa-desa lain dengan tingkat kemiskinan rendah?
Spatial Autocorrelation
Untuk dapat menjawab pertanyaan di atas kita dapat menggunakan pendekatan spatial autocorrelation (autokorelasi spasial), dengan menggunakan data kemiskinan Kabupaten Malang bersumber dari BPS 2015 yang dikompilasi Smeru serta mengkombinasikan data kemiskinan di Kota Malang dan Kota Batu.
Estimasi command spatgsa di Stata menunjukkan adanya spatial autocorrelation yang positif (0,152) yang berarti desa-desa dengan tingkat kemiskinan rendah di Kabupaten Malang akan dikelilingi dengan desa-desa lain dengan tingkat kemiskinan yang rendah juga, atau desa-desa dengan tingkat kemiskinan tinggi akan dikelilingi oleh desa-desa lain dengan tingkat kemiskinan tinggi juga.
Implikasinya, intervensi untuk mempengaruhi tingkat kemiskinan di satu daerah akan berdampak tidak hanya bagi daerah tersebut melainkan juga daerah-daerah di sekitarnya.
Satu catatan dalam hal ini adalah penggunaan data tingkat desa/kelurahan mungkin memiliki ruang lingkup yang terlalu kecil untuk menunjukkan adanya korelasi spasial.
Kondisi miskin sendiri disebabkan oleh multifaktor yang saling berinteraksi sebagaimana Chronic Poverty Research Centre (2004), Bird (2019), dan Sumarto dan De Silva (2013), berbagai penyebab kemiskinan adalah:
Pertama, rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi sehingga memberi sedikit peluang bagi masyarakat untuk meningkatkan pendapatan dan mengakumulasikan aset.
Kedua, sikap sosial yang cenderung mengucilkan dan menolak penggabungan orang-orang yang tersisihkan sehingga mereka akan mengalami diskriminasi dan stigma yang memaksa mereka untuk terus menerus terlibat dalam aktivitas ekonomi yang membuat mereka tetap miskin (contohnya, upah rendah, lingkungan kerja tidak aman, penguasaan aset rendah, akses terbatas ke jaminan kesehatan dan perlindungan keselamatan kerja, serta ketergantungan pada patron atau tuan).
Ketiga, kondisi berkekurangan (deprivation) terutama pada masa bayi, balita, dan anak-anak, seperti kekurangan nutrisi, sakit yang tidak segera dicarikan penyembuhannya, dan keterbatasan akses pada pendidikan, yang dapat menyebabkan rendahnya kualitas sumber daya manusia yang tidak dapat diperbaiki lagi (irreversible).
Keempat, kondisi geografis yang tidak menguntungkan seperti ditandai dengan kondisi yang terisolir, potensi ekonomi yang rendah, situasi politis yang tidak menguntungkan, serta kondisi geografis yang memiliki keterkaitan rendah dengan daerah lain.
Penutup
Pengamatan atas kondisi kemiskinan di Kabupaten Malang menunjukkan adanya keterkaitan secara spasial antar wilayah dimana desa-desa yang memiliki tingkat kemiskinan tinggi akan bertetangga dengan desa-desa lain yang memiliki tingkat kemiskinan tinggi juga.
Karena tidak ada satu faktor tunggal penyebab kemiskinan maka intervensi untuk mengatasi masalah kemiskinan hendaknya merupakan kombinasi kebijakan yang sinergis, dimulai dari perbaikan kondisi individual, pembangunan fisik yang menyentuk batas-batas geografis, pembangunan perekonomian secara makro, serta peningkatan kelembagaan dengan memperhatikan kaitan antar daerah.
Appendiks
Dikutip dari Smeru, Poverty Rate adalah "an index to calculate the proportion of people living below the poverty line. The formula used to calculate this index is based on the number of people with a per capita expenditure below the poverty line as a proportion of the total population. A poverty rate of 25 percent indicates that 25 people are categorized as poor, among a population of 100".
Sementara Poverty Gap adalah "an index to measure the expenditure discrepancy of poor people towards the poverty line. The formula used to calculate this index is based on the calculation of the difference between per capita expenditure and the poverty line as a proportion of the poverty line times the total population. A poverty gap of 10 percent means that, on average, the poor have 10 percent deprivation below the poverty line. This could also be an indication that it would cost an average of 10 percent of the poverty line per poor person in order to lift them out of poverty through selective transfers".
Selanjutnya, Poverty Severity adalah "an index to describe the distribution of expenditure among poor people. The formula used to calculate this index is based on a calculation of the squared difference between per capita expenditure and the poverty line as a proportion of the squared poverty line times the total population. A poverty severity of 5 percent means that the poorest people are 5 percent worse off compared to poor people on average. This could also be an indication that the poorest people have to mobilize financial resources of 5 percent more of the poverty line per poor person than is required for the average poor".
Terakhir, Gini Index adalah "an index to measure the degree of inequality based on the distribution of expenditure among the population. The formula used to calculate this index is based on the ratio of an area between the Lorentz curve and the 45 degree diagonal as a proportion of the area below the diagonal. The Lorentz curve is a graphical representation of the real expenditure distribution, while the straight diagonal line represents the perfect equality of expenditure distribution. The Gini Index is a number between 0 and 1, where 0 corresponds with perfect equality and 1 corresponds with perfect inequality".
Referensi:
Bird, K. 2019. Addressing spatial poverty traps. Overseas Development Institute, Chronic Poverty Advisory Network: London, UK.
Chronic Poverty Research Centre 2004. Chronic Poverty Report 2004 - 05. Manchester: CPRC, University of Manchester.
Sumarto, S. & De Silva, I. 2014. Beyond the Headcount: Examining the Dynamics and Patterns of Multidimensional Poverty in Indonesia.
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/12/21/10-kabupaten-ini-miliki-penduduk-miskin-terbanyak-nasional-pada-maret-2021
https://povertymap.smeru.or.id/map3/kabbydesa/3507_kabdesa