Publikasi Ilmiah: Bukan Cuma Berisik, Tapi Harus Berdampak
Tahap publikasi merupakan tahap krusial berikutnya setelah melakukan penelitian. Pada tahap ini, peneliti akan berhadapan dengan pertanyaan penting mau publikasi di jurnal apa.
Idealnya, setiap peneliti berorientasi submit artikel di jurnal yang berkualitas. Semakin tinggi kualitas jurnal yang dituju berarti sebagai penanda semakin tinggi capaian setiap peneliti dan kemampuan ia untuk masuk ke klub elit para peneliti.
Untuk itu, bagaimana memilih jurnal yang berkualitas juga penting untuk diketahui.
Jurnal yang Berkualitas
Untuk dapat mengidentifikasi jurnal yang berkualitas kita bisa mengetahi dengan identifikasi jurnal yang tidak berkualitas.
Jurnal yang tidak berkualitas ditandai dengan proses review sejawat (peer review) lemah atau tidak ada sama sekali, durasi publikasi cepat, dan biasanya mempublikasikan artikel dan volume dalam jumlah sangat banyak dalam satu tahun.
Meski karakteristik tersebut mudah diidentifikasi, namun permintaan atas jurnal yang berkualitas di atas masih tetap ada, yakni bagi peneliti yang membutuhkan publikasi cepat, memiliki kualitas artikel seadanya, dan yang menginginkan peer review lemah atau tidak sama sekali.
Seringkali jurnal yang tidak berkualitas tadi sempat masuk ke database indeksasi utama, seperti SCOPUS dan Web of Science. Namun karena ketidakmampuan pengelola jurnal untuk mempertahankan kualitas, maka jurnal tersebut akan dikeluarkan (delisting) dari indeksasi.
Setelah jurnal tersebut delisting maka artikel-artikel yang terbit setelahnya tidak akan terindeks SCOPUS atau Web of Science tadi.
Di sisi lain, peneliti perlu mempertanyakan reputasi jurnal saat ia sampai delisting karena bisa jadi motivasi utama pengelola jurnal untuk terindeks utama tadi bukan serta merta reputasi dan kontribusi bagi ilmu pengetahuan melainkan hanya alasan finansial semata.
Research Integrity Risk Index (RI2)
Satu indikator terbaru tentang integritas peneliti adalah RI2. Merujuk pada website pengelola, RI2 is the first metric explicitly designed to profile research integrity risks using empirically grounded, transparent indicators.
Berbeda dengan pemeringkatan konvensional lain yang berfokus pada volume dan visibilitas sitasi, RI2 berfokus pada metrik integritas yang sensitif yang lebih resisten pada manipulasi dan inflasi bibliometrik.
RI2 terdiri dari dua komponen utama:
Pertama, Retraction Risk (Risiko Retraksi).
Komponen ini mengukur seberapa banyak artikel yang ditarik dari publikasi karena pemalsuan data, plagiarisme, pelanggaran etika, manipulasi kepenulisan/peer review, atau kesalahan metodologi. Angka ini dihitung per 1.000 artikel selama dua tahun terakhir (misalnya 2022-2023 untuk analisis tahun 2025). Semakin tinggi angka Retraction Risk menunjukkan menunjukkan lemahnya pengawasan riset dan budaya institusi yang tidak mendukung.
Kedua, Delisted Journal Risk (Risiko Jurnal Delisting).
Komponen ini mengukur proporsi publikasi institusi di jurnal yang dikeluarkan/dihapus (delisting) dari Scopus atau Web of Science. Jurnal yang delisting menunjukkan kerentanan struktural dalam kontrol kualitas dan praktik penerbitan. Meski sudah dihapus dari database Scopus atau Web of Science, publikasi semacam ini tetap memengaruhi bibliometrik metrik. Komponen ini dihitung selama dua tahun terakhir (misalnya 2023-2024 untuk analisis 2025).
Perhitungan atas kedua komponen di atas kemudian menghasilkan lima tingkat risiko sebagai berikut:
Tabel di atas menunjukkan semakin tinggi skor RI2 berarti risiko lebih tinggi.Distribusi risiko antar negara menunjukkan Indonesia memiliki status red flag dengan skor 0,262, jauh lebih buruk dari negara-negara tetangga seperti Malaysia (skor 0,240), Thailand (0,095), dan Singapura (0,027).
Kinerja red flag Indonesia (skor 0,262) juga kurang lebih sama dengan India (skor 0,283), Pakistan (0,335), Bangladesh (0,383), Arab Saudi (0,355), dan Kazakhtan (0,265).
Terdapat 5 perguruan tinggi di Indonesia yang masuk kategori red flag, 3 kampus high risk, dan 6 perguruan tinggi watch list.
Perguruan tinggi yang termasuk kategori red flag:
- Universitas Bina Nusantara
- Universitas Airlangga
- Universitas Sumatera Utara
- Universitas Hasanuddin
- Universitas Sebelas Maret
Perguruan tinggi yang high risk:
- Universitas Diponegoro
- Universitas Brawijaya
- Universitas Padjadjaran
Perguruan tinggi watch list:
- Institut Teknologi Sepuluh Nopember
- Universitas Indonesia
- Institut Teknologi Bandung
- Institut Pertanian Bogor
- Universitas Gadjah Mada
Perlu diketahui karena RI2 hanya menganalisis 1,000 perguruan tinggi yang menghasilkan publikasi terbanyak di dunia, maka kinerja antar negara bisa jadi lebih tinggi atau lebih rendah dari temuan di atas.
Implikasi
Kondisi Indonesia yang masuk kategori red flag kemudian menimbulkan pertanyaan penting bagaimana mengubahnya menjadi status low risk seperti di peta di atas yang ditandai negara yang berwarna putih?
Merujuk pada metodologi RI2 berarti perlu ada upaya agar peneliti Indonesia tidak mempublikasikan artikelnya di jurnal-jurnal yang tidak berkualitas di atas.
Setiap entitas riset harus memastikan bahwa mereka punya tujuan untuk menghasilkan publikasi yang berkualitas dan dipublikasikan ke jurnal yang berkualitas.
Secara sistem yang lebih besar harus menyadari bahwa kualitas harus lebih utama daripada kuantitas. Quality over quantity. Hal ini berimplikasi untuk mempertimbangkan ulang bentuk-bentuk reward atau penghargaan dan penilaian kinerja semata pada jumlah dan volume.
Capaian dan kinerja bukan sekedar pada jumlah publikasi atau jumlah sitasi.
Ini juga akan menghindarkan kita dari berisik tapi tidak berdampak alias punya jumlah publikasi banyak tapi tidak membawa dampak bagi masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Penutup
Tahap publikasi bukan hanya soal memenuhi kewajiban akademik, melainkan juga menyangkut reputasi, integritas, dan kontribusi nyata pada perkembangan ilmu pengetahuan. Maka, orientasi dunia akademik harus beranjak dari sekadar mengejar angka publikasi menuju menghasilkan karya ilmiah yang berdampak, relevan, dan berintegritas (TS).