Intelligence Quotient: Apakah Miskin membuat Bodoh atau Bodoh Membuat Miskin?

Edisi the Economist (11/07) berfokus pada kualitas sumber daya manusia. Salah satu alat ukur kualitas sumber daya manusia adalah kecerdasan atau intelligence quotient (IQ). Angka IQ yang tinggi berarti manusia tersebut lebih berkualitas bila dibandingkan dengan orang yang memiliki IQ lebih rendah.

Publikasi World Population Review menunjukkan pada tahun 2017, Indonesia memiliki rata-rata IQ sebesar 78,49. Posisi Indonesia lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga seperti Singapura dengan rata-rata IQ 105,89, Kamboja (99,75), Thailand (88,87), dan Malaysia (87,58).

Rata-rata IQ Indonesia kurang lebih setara seperti Oman (78,7) , Kuwait (78,64), Papua Nugini (78,49) dan Ekuador (78,26). 

Pemilik rata-rata IQ tertinggi di dunia adalah Jepang dengan IQ 107,48. Peringkat kedua adalah Taiwan dengan rata-rata IQ 106,47 kemudian Singapura di posisi ketiga dengan rata-rata IQ 105,89. Posisi berikutnya adalah Hong Kong (105,37), China (104,1), Korea Selatan (102,35), Belarusia (101,6), dan Finlandia (101,2).

Pengukuran kualitas sumber daya manusia juga dapat menggunakan pengukuran PISA, yang menilai skor rata-rata siswa dalam pelajaran matematika, sains, dan membaca. Negara-negara dengan skor PISA paling tinggi adalah Singapura, China, dan Jeoang (Gambar 1).

Gambar 1. Negara paling Pintar di Dunia

Merujuk pada komparasi antar negara, maka orientasi pembangunan seharusnya adalah mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia, ditandai secara kuantitatif dengan IQ atau skor PISA yang semakin tinggi.

Kontroversi

Meski IQ banyak dipakai sebagai perbandingan kualitas antar individu, Kecerdasan Emosional atau Emotional Intelligence (EQ) juga tidak kalah penting dalam menentukan keberhasilan seseorang. 

Penilaian EQ meliputi kemampuan menerima dan mengekspresikan, memasukkan emosi dalam pemikiran, memahami berbagai dimensi emosi, serta memahami emosi orang lain. EQ berarti juga kemampuan mempersepsi dan mengekspresikan, mengasimilasi emosi dalam pikiran, memahami prisma emosi dan menyesuaikan emosi diri sendiri dan orang lain. 

Dikutip dari Cotruş, et.al., (2012), kesuksesan di tempat kerja atau dalam kehidupan bergantung pada EQ 80% dan hanya 20% pada kecerdasan (IQ). 

Saat IQ membantu kita menyelesaikan masalah, membuat perhitungan, atau memproses informasi, EQ memungkinkan kita menjadi lebih kreatif dan menggunakan emosi untuk menyelesaikan masalah. 

Berbeda dengan IQ yang mengalami sedikit perubahan pada akhir masa remaja, EQ dapat berkembang seiring berjalannya waktu, tanpa batasan usia, dengan syarat diberikan perhatian dan upaya yang diperlukan untuk itu.

Kendala terbesar dalam pengukuran EQ adalah sifatnya yang kualitatif dan sulit untuk dikuantifikasi seperti layaknya IQ. 

Karena itu, sampai saat ini, penilaian IQ dianggap lebih superior dibanding EQ dalam mengukur kualitas sumber daya manusia. Terlebih pengukuran IQ ini bisa menunjukkan perbandingan antar individu, antar wilayah, atau untuk melihat perkembangan dari waktu ke waktu.

Dengan demikian, upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia akan menjadi realistis karena memiliki komparasi dengan negara lain atau tren yang seharusnya selalu meningkat dari waktu ke waktu.  

Tantangan 

Tantangan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia terkait dengan lingkaran setan hambatan pembangunan, yakni: kemiskinan, kebodohan, dan keterbatasan infrastruktur.

Dua aspek pertama akan membuat keterkaitan: apakah miskin membuat bodoh atau bodoh membuat miskin?

Kemiskinan membuat orang tidak punya sumber daya untuk mengakses informasi. Kemiskinan membuat orang harus bekerja sepanjang waktu tanpa ada jeda baginya untuk belajar hal-hal baru.

Di sisi lain, kebodohan menyebabkan orang tidak tahu cara untuk meningkatkan produktivitasnya. Kebodohan membuat ia berada dalam produktivitas rendah dan hanya hidup dalam pekerjaan rutin tanpa ada upaya untuk mitigasi keluar dari kemiskinan.

Kedua kondisi di atas akan diperparah dengan keterbatasan infrastruktur dimana tanpa ada infrastruktur yang memadai, orang bodoh akan tetap miskin dan orang miskin akan tetap bodoh.

Maka, bagaimana memutus lingkaran setan ini?

Memutus Lingkaran Setan

Lingkaran setan hambatan pembangunan (kemiskinan, kebodohan, dan keterbatasan infrastruktur) di atas dapat diputus dengan melakukan intervensi untuk mengatasi kebodohan.

Alasan logisnya adalah dengan membuat manusia menjadi tidak bodoh, maka ia seharusnya mampu mencari cara untuk keluar dari kemiskinan. Kalaupun ia belum mampu keluar dari kemiskinan, ia harus menjaga agar ia tidak semakin miskin. 

Salah satu bentuk intervensi ini adalah dengan memberi nutrisi cukup pada setiap individu bahkan sejak di kandungan. Hal ini juga berarti ada sebagian beban finansial orang tua dalam penyediaan nutrisi akan dialihkan ke pemerintah dan uang yang seharusnya untuk membeli makanan, bisa digunakan untuk hal-hal yang lebih produktif.

Sebaliknya, intervensi dalam hal kemiskinan, misalnya mengubah status miskin seseorang menjadi tidak miskin dengan cara pemberian uang dan tunjangan, bisa jadi tidak membuat ia menjadi semakin tidak bodoh karena ia belum tentu memiliki pengetahuan dan cara untuk memanfaatkan tambahan penghasilan tadi untuk meningkatkan produktivitas atau memilih simpanan dan investasi.

Sementara pembangunan infrastruktur harus dilakukan setelah kedua aspek di atas telah diintervensi. Infrastruktur yang berkembang namun diarahkan kepada masyarakat yang bodoh dan miskin, bisa jadi berarti hanya membuang anggaran dan sumber daya karena tidak mampu dimanfaatkan oleh masyarakat karena mereka tidak tahu cara menggunakan infrastruktur tadi dan tidak punya sumber daya untuk mengakses infrastruktur. 

Penutup

Peningkatan kualitas sumber daya manusia, misalnya diukur dari IQ, penting untuk dilakukan untuk memutus lingkaran setan hambatan pembangunan (kemiskinan, kebodohan, dan keterbatasan infrastruktur). Intervensi ini penting dengan melihat komparasi dengan negara lain atau dengan perbandingan dari waktu ke waktu agar kita dapat mengetahui posisi kita dibanding negara lain atau posisi saat ini dibanding periode-periode sebelumnya. 

Referensi:

https://worldpopulationreview.com/country-rankings/average-iq-by-country

Cotruş, A., Stanciu, C., & Bulborea, A. A. (2012). EQ vs. IQ which is most important in the success or failure of a student?. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 46, 5211-5213.


Popular posts from this blog

Skewness dan Kurtosis

IFLS: Mencari Variabel

Tantangan bagi GoPay dan Dompet Digital Lain

The Prize in Economic Sciences 2019: Research to Help the World’s Poor

Piramida Distribusi Kekayaan Masyarakat Indonesia

Peta Kemiskinan Kabupaten Malang