Siapa yang Menikmati Kenaikan Pendapatan Terbesar di Musim Mudik?

Musim mudik ditandai dengan lonjakan jumlah pemudik dan wisatawan yang membanjiri jalanan, tempat-tempat wisata, dan tempat makan.
 
Saking ramainya, hal ini bisa membatasi ruang gerak warga setempat. Bahkan hal ini dibuat meme dimana warga lokal hendaknya stay at home saja dan memberi ruang bagi wisatawan untuk berwisata, seperti berikut:


Jika macet dan padat adalah indikator paling sederhana untuk menggambarkan peningkatan aktivitas ekonomi saat musim mudik, siapakah yang paling banyak menikmati kenaikan aktivitas ekonomi tersebut?

80/20 Rule – The Pareto Principle

80/20 Rule atau The Pareto Principle menyatakan bahwa di berbagai kejadian, sekitar 80% dampak disebabkan oleh penyebab yang berjumlah 20%.

Hubungan 80/20 ini pertama kali dicatat oleh ekonom Italia Vilfredo Pareto pada tahun 1896. Vilfredo Pareto menunjukkan bahwa sekitar 80% tanah di Italia dimiliki oleh 20% penduduknya. Menurut Prinsip Pareto, sejumlah kecil kontributor dalam sebuah kelompok berkontribusi terbesar atas dampak yang terjadi di kelompok tersebut.

Contoh lainnya adalah (cec.health.nsw.gov.au):

80% keluhan datang dari 20% pelanggan

80% penjualan berasal dari 20% klien

80% kerusakan komputer disebabkan oleh 20% bug TI.

Merujuk pada prinsip Pareto di atas, maka dapat diduga sebagian besar proporsi kenaikan aktivitas ekonomi selama musim mudik akan dinikmati oleh sebagian kecil pelaku usaha yakni para pelaku usaha besar.

Mereka adalah pemilik hotel dan restoran, pengusaha rental kendaraan, pemilik perusahaan transportasi, pemilik tempat wisata, dan sebagainya.

Mereka adalah pengelola jalan tol, pemilik Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), pemilik pusat oleh-oleh, dan sebagainya.

Kapital dan Legalitas

Tidak ada yang salah dengan pola ini. Bahkan inilah wujud kinerja kapital alias modal, yakni mampu menghasilkan pengembalian atau return atas modal tersebut.

Di sini, kita melihat peran penting modal dalam perekonomian. Modal berkontribusi bagi usaha seseorang yang membuat ia untuk membangun tempat usaha lebih besar, memiliki karyawan lebih banyak, memiliki jangkauan pemasaran lebih luas, memiliki omset lebih besar, dan sebagainya.

Atas kerja keras modal tersebut, maka ia akan memberikan pengembalian berupa tingginya omset penjualan dan keuntungan yang dinikmati oleh pemilik modal.

Ini juga yang membedakan pengusaha besar dan pengusaha kecil: kepemilikan modal.

Hal lain yang membedakan adalah legalitas usaha.

Mereka yang termasuk pengusaha besar pada umumnya memiliki legalitas usaha lebih lengkap daripada pengusaha kecil.

Ini seperti pedagang kopi keliling versus pedagang kopi dalam format kedai kopi atau kafe. Keduanya menjajakan komoditas yang serupa namun berbeda dalam hal modal dan legalitas usaha.

Mungkin ini juga dampak dari "kemudahan" dalam mendirikan bisnis di Indonesia. Tanpa perlu legalitas yang kompleks, semua bisa berjualan. Implikasinya, tanpa perlu modal besar, semua bisa membuka usaha.

Berbeda dengan negara maju dimana legalitas usaha menjadi hal penting.

Sebagai contoh ada pedagang kopi keliling di New Zealand yang mendapat atensi publik karena menjual kopi sangat murah (Sumber: https://www.stuff.co.nz/nz-news/350226645/150-coffee-viral-street-cafe-run-homeless-man). Ia berjualan dengan menggunakan troli belanja dan berbelanja stok dari pemasok lokal. Tak heran, ia mampu menekan harga jual jauh lebih murah daripada harga di kafe atau restoran.

Atas hal tersebut, berbagai elemen masyarakat menggalang donasi (fundraising) agar ia bisa membeli alat lebih canggih dan untuk menambah jumlah stok. Menariknya, sebagian donatur menghendaki agar ia mendaftarkan usahanya agar memiliki legalitas jelas.

Penutup

Modal dan legalitas menjadi dua kunci bagi pengusaha untuk naik kelas. Hal ini juga untuk menjawab pertanyaan: saat musim mudik berikutnya, apakah pengusaha kecil tetap menjadi pengusaha kecil ataukah sudah naik kelas menjadi pengusaha besar?

Karena jika mereka tetap menjadi pengusaha kecil, maka dari tahun ke tahun musim mudik sejatinya adalah ajang pesta bagi pengusaha besar untuk menikmati kenaikan pendapatan. Dan bisa jadi proporsi kue kebahagiaan itu dari tahun ke tahun akan semakin besar dan bukannya semakin dibagi ke semua orang.


Popular posts from this blog

Skewness dan Kurtosis

Bodoh (?)

Piramida Distribusi Kekayaan Masyarakat Indonesia

IFLS: Mencari Variabel

KKN di Desa Penari

Peta Kemiskinan Kabupaten Malang