Nothing is Overpriced. Kita Saja yang Terlalu Miskin

Realita ketimpangan itu seperti yang ditemukan oleh salah satu calon presiden kita: pameran penjualan mobil ramai pengunjung, transaksi pembelian mobil mewah tinggi namun pada saat yang sama banyak orang yang masih mengantri untuk beli beras (Tempo 23/02). 

Beras yang termasuk kebutuhan pokok banyak dicari orang dan dikeluhkan jika harganya melambung tinggi dan lenyap di pasaran. Berbeda dengan mobil atau barang mewah lainnya yang harga tinggi pun masih akan ada peminatnya.   

Di sini kita juga bisa mengamati tentang fenomena keterjangkauan atau affordability.  

Ada sebagian orang mengalami kesulitan membeli komoditas yang harganya relatif murah sementara ada orang-orang lain yang tidak mengalami kendala untuk membeli komoditas yang harganya lebih mahal.

Jika hal ini terus dibiarkan maka ketimpangan bisa akan semakin melebar. Akan tetap ada orang-orang yang tidak mampu membeli barang yang relatif murah tadi dan akan selalu ada orang-orang yang bisa membeli barang yang relatif mahal. 

Pola Konsumsi

Faktor utama yang mempengaruhi keterjangkauan adalah pendapatan. Orang yang memiliki pendapatan lebih tinggi dikatakan juga lebih mampu membeli komoditas lebih mahal dan/atau lebih banyak daripada orang-orang lain yang memiliki pendapatan lebih rendah.

Tentu saja ini akan dipengaruhi oleh gaya hidup. Misalnya, orang yang punya pendapatan tinggi tidak selalu identik dengan tingkat konsumsi yang juga tinggi karena mereka memiliki tingkat konsumsi yang rendah karena gaya hidup sederhana.

Salah satu contoh paling fenomenal diungkapkan oleh Marc Randolph (Netflix co-founder) tentang  bagaimana Bill Gates lebih memilih berpergian dengan pesawat kelas ekonomi meski ia memiliki kekayaan lebih dari US$121 milar (Rp.1.924 triliun) pada tahun 2023 (EconomicTimes

Namun logika ini tidak sepenuhnya bisa dibalik. Orang yang konsumsinya rendah bisa jadi karena ia memiliki pendapatan tinggi (dan memiliki gaya hidup sederhana di atas) atau memang karena ia memiliki pendapatan yang juga rendah.

Dampak

Apa dampak dari masyarakat yang tidak mampu menjangkau harga-harga komoditas?

Pertama, tingkat konsumsi rendah. Rendahnya pendapatan membawa implikasi semakin sedikit komoditas yang bisa dibeli. Tidak hanya soal kuantitas, melainkan juga kualitas yang juga rendah. 

Kedua, komoditas yang lebih mahal hanya akan dibeli oleh orang-orang yang lebih mampu. Sementara mereka yang lebih tidak mampu akan membeli komoditas dengan harga (dan kualitas) lebih rendah.

Mirisnya, bisa jadi komoditas tersebut memiliki jumlah yang terbatas (misalnya tanah atau properti) atau sulit untuk diregenerasi (misalnya air dan udara bersih). Maka akan ada kompetisi yang lebih ketat untuk mendapatkan komoditas tersebut. Dapat diduga, hanya mereka yang mampu yang akan memenangkan persaingan.

Ketiga, sulit meningkatkan standar hidup. Pendapatan rendah dikombinasikan dengan komoditas berkualitas rendah akan membuat peningkatan standar hidup sulit tercapai.

Solusi

Peningkatan keterjangkauan dapat dilakukan melalui intervensi atas dua instrumen utama yakni pendapatan dan pengeluaran.

Masyarakat perlu didorong untuk dapat meningkatkan pendapatannya. Peningkatan pendapatan berbanding lurus dengan peningkatan kompetensi (misalnya melalui pendidikan formal atau peningkatan keterampilan). Perlu juga upaya memperbesar peluang agar setiap orang bisa memiliki akses dan peluang untuk memiliki pendapatan lebih tinggi.

Pada saat yang sama, perlu mengontrol pengeluaran misalnya dengan perubahan gaya hidup menjadi lebih tidak konsumtif. Secara lebih spesifik untuk setiap kelas, perlu pengaturan pembelian atau penguasaan komoditas agar tidak hanya bisa dijangkau, dibeli, atau bahkan dikuasai oleh sekelompok masyarakat yang mampu saja.

Berikutnya, perlu ada orientasi untuk akumulasi kekayaan. Karena sebagian pendapatan akan digunakan untuk membiayai pengeluaran, maka ada potensi tingkat konsumsi terganggu karena pendapatan yang tiba-tiba berkurang. Oleh karena itu, masyarakat perlu memiliki kekayaan untuk menjadi cadangan finansial di kala pendapatan tiba-tiba turun agar tingkat konsumsi juga tidak turun drastis. 

Harga

Jika penjelasan di atas berusaha membuat keterjangkauan dari sisi rumah tangga, bagaimana seharusnya harga-harga komoditas harus diperlakukan? Apakah dibuat semakin rendah (agar semakin banyak orang yang bisa membeli) atau dibiarkan tetap tinggi (karena yang dibutuhkan adalah konsumen yang mampu membelinya)?

Sepertinya penurunan harga sulit terjadi karena terkait biaya produksi yang sulit untuk ditekan. Penurunan biaya produksi sulit terjadi jika harga bahan baku dan tenaga kerja juga tidak turun. Penurunan biaya produksi lebih sulit lagi terjadi pada komoditas yang jumlahnya terbatas atau yang sulit diregenerasi seperti tanah, properti, dan air di atas.

Intervensi yang paling memungkinkan adalah menjembatani keterjangkauan orang-orang yang tidak mampu menjangkau tadi, agar mampu mengkonsumsi komoditas meski memiliki pendapatan yang tetap rendah.

Jangan sampai masyarakat seolah dibiarkan bekerja sendiri untuk membeli komoditas yang semakin tidak terjangkau. Bila ini terjadi, masyarakat akan membeli komoditas sesuai anggaran mereka, yang bisa jadi berarti menurunkan kualitas, seperti terlihat di Gambar 1.


Penutup

Upaya meningkatkan keterjangkauan menjadi penting agar setiap masyarakat mampu membeli komoditas dengan kualitas lebih baik dan/atau kuantitas lebih banyak. 

Hal ini harus dicapai agar semua orang memiliki persepsi tidak ada barang yang mahal. Nothing is expensive, everything cheap.

Dan agar jangan persepsi yang terbentuk adalah Nothing is overpriced. Kita saja yang terlalu miskin. 


Popular posts from this blog

Skewness dan Kurtosis

Bodoh (?)

Siapa yang Menikmati Kenaikan Pendapatan Terbesar di Musim Mudik?

Piramida Distribusi Kekayaan Masyarakat Indonesia

IFLS: Mencari Variabel

KKN di Desa Penari

Peta Kemiskinan Kabupaten Malang