Spatial Profiling Konsumsi Rokok

Hari tanpa tembakau sedunia (World No-Tobacco Day) diperingati tiap tanggal 31 Mei untuk memberi kesadaran bagi masyarakat akan bahayanya tembakau, komponen utama pembuat rokok.

Tetap saja, konsumsi rokok di Indonesia tergolong tinggi. Pada tahun 2023, prevalensi merokok Indonesia mencapai 37,9% yang berarti 37,9% penduduk dewasa di Indonesia adalah perokok (worldpopulationreview). Pada tahun 2020, jumlah perokok di Indonesia adalah yang terbesar ketiga di dunia setelah Tiogkok dan India (Antaranews).

Padahal, rokok berdampak buruk tidak hanya bagi ke aspek kesehatan namun juga hilangnya kesempatan untuk meningkatkan kualitas gizi anggota keluarga. Studi dari Djutaharta, et.al (2022) menunjukkan semakin rendah kuintil pengeluaran, semakin tinggi penurunan angka kecukupan gizi (AKG) rumah tangga akibat konsumsi rokok. Dengan rata-rata pengeluaran rokok sebesar Rp12.956 per rumah tangga per hari, penghentian pengeluaran rokok harian dapat memenuhi asupan energi anak sebesar 27% – 85,4% dari AKG dan asupan protein sebesar 180,12% – 300,48% dari AKG.

Barang Konsumtif
Rokok patut dihindari karena sifatnya sebagai barang konsumtif. Barang konsumtif adalah barang yang dibeli untuk kesenangan semata. 

Barang konsumtif juga bukan barang untuk kebutuhan dasar (basic needs) yang harus dipenuhi agar seseorang bisa bertahan hidup (contohnya makanan dan hunian). Barang konsumtif juga tidak berarti barang mewah, yang dibeli untuk menunjukkan kemampuan daya beli penggunanya. 

Karena sifatnya sebagai barang konsumtif, konsumen harus bisa berhenti sewaktu-waktu mengkonsumsi barang tersebut atau mengganti barang tersebut dengan barang lain yang serupa atau yang memiliki harga lebih murah.

Konsumen juga perlu menghindari kredit atau hutang untuk membeli barang konsumtif. Karena seseorang seharusnya ia juga tidak perlu berhutang untuk bisa membeli barang yang sejatinya hanya untuk memenuhi kepuasan semata. 

Adiktif
Selain sifatnya sebagai barang konsumtif, rokok juga produk yang memiliki sifat kecanduan/adiktif bagi penggunanya. 

Sifat adiktif ini membawa dampak buruk yang lebih besar bagi konsumen. Konsumen tidak bisa menghentikan konsumsi rokok sewaktu-waktu. Lebih miris lagi, ketergantungan atas barang ini membuat konsumen bisa mengorbankan konsumsi barang lain, bahkan konsumsi basic needs.

Kelompok rumah tangga yang paling miskin adalah mereka yang paling rentan kekurangan gizi akibat konsumsi rokok. Konsumsi rokok rumah tangga akan berdampak negatif terhadap asupan energi dan protein harian anggota keluarga. 

Di sisi lain, sifat adiktif ini merupakan kunci bagi produsen rokok agar produknya tetap laku terjual. Produsen dengan senang hati menghasilkan produk yang memiliki kurva permintaan yang inelastis, dimana kenaikan harga produk hanya akan mengurangi sedikit saja permintaan.

Kebijakan Pemerintah
Pemerintah perlu mengendalikan konsumsi rokok agar tidak banyak orang yang terjebak dalam prilaku konsumtif yang adiktif ini. 

Beberapa hal perlu dilakukan. Pertama, tidak boleh ada skema hutang untuk membeli barang konsumtif apalagi yang menimbulkan kecanduan dan ketergantungan. Skema buy now pay later di berbagai marketplace harus mengkecualikan pembelian barang ini.

Kedua, mempertimbangkan ulang pemberian bantuan langsung tunai (cash transfer) yang didedikasikan untuk mengurangi jumlah penduduk miskin. Melihat rokok yang memiliki sifat adiktif, maka bantuan uang tunai yang diberikan kepada perokok bisa jadi justru akan digunakan untuk membeli rokok dan bukannya barang-barang basic needs. Maka sudah waktunya perokok dikenakan pinalti atas transfer dana yang diterimanya yang bersumber dari pajak masyarakat yang malah digunakan untuk membeli barang konsumtif untuk kesenangan dia semata.

Ketiga, perlu spatial profiling konsumsi rokok agar terjadi penyesuaian harga bergantung pada seberapa tinggi konsumsi rokok di satu daerah. Harga rokok tidak boleh seragam untuk semua daerah. Daerah-daerah dimana konsumsi tinggi maka harga rokok harus lebih mahal daripada daerah-daerah dengan konsumsi rendah. 

 
Argumen yang mendasari diskriminasi ini adalah  barang konsumtif biasanya dibeli di tempat-tempat yang tidak jauh dari tempat konsumen (seperti tempat tinggal, tempat kerja, atau tempat aktivitas). Sehingga tingginya konsumsi rokok di suatu daerah juga akan mengindikasikan dengan tingginya permintaan di daerah tersebut.

Price Gap 
Jeda harga (price gap) rokok antara daerah mahal dan murah tidak boleh terlalu lebar. Price gap itu harus cukup kecil agar konsumen tidak berbeda (indifference) membeli produk dari penjual yang dekat meski mahal dengan membeli dari tempat yang lebih jauh meski harga lebih murah.

Price gap juga harus cukup kecil agar tidak membuat orang memiliki insentif untuk menyelundupkan (smuggling) rokok dan memperjualbelikan di pasar gelap. 

Adanya price gap juga membuat konsumen harus mengambil keputusan kolektif: jika mau harga lebih murah maka mereka harus mengurangi konsumsi rokok.

Dengan adanya pembedaan harga secara spasial maka diharapkan konsumsi rokok secara keseluruhan akan semakin menurun. 

Penerapan Diskriminasi Harga
Hal yang lebih kompleks akan berkaitan dengan mekanisme penerapan diskriminasi harga tersebut.

Selama ini pungutan pemerintah atas rokok terbagi dua yakni cukai dan pajak-pajak. Cukai atas rokok merupakan pungutan yang disetor kepada pemerintah pusat yang berfungsi disinsentif bagi barang-barang yang perlu dikendalikan konsumsinya. Sementara pajak-pajak, baik pajak pusat (seperti pajak penghasilan) dan daerah (pajak usaha, pajak reklame) merupakan pungutan yang dibayar kepada pemerintah pusat dan daerah. 

Sisi yang belum banyak dieksplorasi untuk menanggung biaya diskriminasi harga tersebut adalah sisi distributor rokok, baik yang berada di bawah penguasaan produsen rokok maupun yang berdiri lepas dari produsen.

Pemerintah perlu melakukan pemetaan wilayah distribusi rokok sehingga diskriminasi harga akan dikenakan pada produk-produk yang disalurkan dari distributor yang beroperasi di wilayah tersebut.

Lebih lanjut, diskriminasi bisa dikenakan kepada pihak penjual rokok, baik pedagang besar dan kecil. Di sini pengawasan harus diimbangi dengan database pedagang yang rapi sehingga keharusan menjadi bentuk usaha formal menjadi tidak terelakkan. 

Penutup
Konsumsi rokok sebagai barang konsumtif harus dikendalikan termasuk juga menghindarkan konsumen dari perilaku berhutang untuk membeli barang ini. Perlu juga kebijakan spatial profiling sehingga konsumen akan termotivasi mengurangi konsumsi daripada harus berhadapan dengan harga produk yang mahal.

Referensi:
https://worldpopulationreview.com/country-rankings/smoking-rates-by-country
https://en.antaranews.com/news/283293/number-of-smokers-among-kids-and-teens-increases-health-ministry
Djutaharta T, Wiyono NH, Monica Y, Ahsan A, Kusuma D, Amalia N. Cigarette Consumption and Nutrient Intake in Indonesia: Study of Cigarette-Consuming Households. Asian Pac J Cancer Prev. 2022 Apr 1;23(4):1325-1330. doi: 10.31557/APJCP.2022.23.4.1325. PMID: 35485692; PMCID: PMC9375627.

Popular posts from this blog

Skewness dan Kurtosis

Siapa yang Menikmati Kenaikan Pendapatan Terbesar di Musim Mudik?

IFLS: Mencari Variabel

KKN di Desa Penari

Piramida Distribusi Kekayaan Masyarakat Indonesia

Perkembangan Rata-rata Bulanan Kurs Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat

Panduan Penulisan Tugas Akhir