Polisi Tidur dan Free Rider Barang Publik


Polisi tidur marak dibangun di jalanan untuk mengontrol kecepatan pengendara dan mengurangi risiko kecelakaan. Namun pembangunan polisi tidur berlebihan juga berbahaya saat situasi darurat karena dapat memperlambat penanganan. Contohnya seperti pada kebakaran di Surabaya (17/09) yang lambat ditangani karena "Petugas sempat mengalami kesulitan karena banyaknya mobil yang diparkir di pinggir jalan dan “polisi tidur” di sepanjang akses gang menuju tempat kebakaran." Beritanya di Suara Surabaya 

Pembangunan polisi tidur umumnya dilakukan di jalanan yang notabene merupakan barang publik. 

Barang publik memiliki karakteristik nonrival dan nonexcludable. Nonrival berarti penggunaan barang publik oleh seseorang tidak mengurangi jumlah barang yang tersedia untuk orang lain. Sementara nonexcludable berarti setiap orang berhak memanfaatkan barang tersebut; mengecualikan seseorang dari penggunaan barang publik akan berimplikasi pada ongkos yang mahal atau bahkan tidak mungkin.

Esensi dari kepemilikan publik ini yang kemudian membuat banyak pengendara memaksimalkan pay off (imbalan) untuk mereka dengan cara berkendara dengan kecepatan tinggi dan tidak menghiraukan keselamatan pengendara lain dan warga sekitar. 

Maka, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana mengubah perilaku orang yang tidak tertib berlalu lintas menjadi lebih tertib, terutama berkaitan dengan pembangunan polisi tidur untuk mencegah pengendara berkendara dengan kecepatan tinggi, bila dilihat dari perspektif ekonomi dan barang publik?  

Untuk dapat menjawab pertanyaan di atas, kita dapat menggunakan konsep free rider dalam barang publik, yakni orang-orang yang mendapat manfaat dari barang publik namun tidak mau memberi pengorbanan atas barang publik tersebut dan menginginkan agar orang lain yang berkorban untuk barang publik tersebut.  

Saat ada terlalu banyak orang yang berperilaku sebagai free rider maka tidak akan ada lagi barang publik yang tersedia bagi masyarakat.

Hal ini juga yang menjelaskan kenapa tidak ada sektor swasta yang mau memproduksi barang publik karena adanya kemungkinan free rider.  


Free Rider

Rosen (2008) menunjukkan berbagai eksperimen yang meneliti perilaku free rider.  Pada berbagai eksperimen, setiap orang diberi semacam token yang bisa disimpan atau didonasikan. Untuk setiap token yang disimpannya sendiri, orang tersebut akan mendapatkan pay off (imbal hasil), misalnya $4. Untuk setiap donasi, setiap orang di dalam grup tersebut, termasuk orang yang mendonasikan token tersebut, akan mendapatkan pay off, misalnya $3. 

Keuntungan dari donasi tersebut mengindikasikan bahwa token tersebut adalah barang publik, yakni semua orang tanpa perlu bersaing bisa mendapatkan keuntungan dari token yang disumbang anggota grup (nonrival) dan setiap orang di grup tersebut dapat menikmati keuntungan dari donasi orang lain (nonexcludable).

Maka, setiap orang akan mengalami better off jika setiap orang di dalam grup tersebut mendonasikan semua token yang dimilikinya.  

Namun, teori free rider menunjukkan bahwa seseorang akan memutuskan untuk tidak berkontribusi pada grupnya dan memilih hanya menikmati kontribusi yang disumbang oleh orang lain kepada grup tersebut.

Dalam eksperimen, free rider akan tetap menyimpan tokennya dan memilih menikmati pay off dari token yang disumbang oleh anggota kelompok yang lain. 

Berbagai eksperimen menunjukkan variasi hasil, namun ada beberapa hal yang selalu konsisten muncul.

Pertama, secara rata-rata seseorang berkontribusi sekitar 50% dari sumber daya yang mereka miliki untuk kepentingan publik. 

Kedua, free rider selalu ada dalam setiap eksperimen, dilihat dari orang-orang di dalam grup yang tidak mau menyumbangkan tokennya untuk kepentingan grup. 

Adanya free rider ini bertentangan dengan teori bahwa barang publik memiliki nilai yang rendah (zero or trivial) dimana adanya free rider menunjukkan bahwa mereka memberi penghargaan tinggi atas barang publik tersebut, yakni lebih memilih untuk menyimpan token untuk dirinya sendiri dan menikmati pay off dari token yang disumbang orang lain.   

Selain itu, beberapa temuan lain adalah:

Pertama, semakin sering seseorang terlibat dalam eksperimen ini, semakin kecil kemungkinan mereka mau berkontribusi.

Kedua, saat para pemain dapat berkomunikasi sebelum eksperimen, maka peluang koordinasi semakin besar.

Ketiga, tingkat kontribusi semakin rendah jika opportunity cost semakin tinggi (dalam hal ini adalah pay off menyimpan token yang semakin tinggi)


Dari Eksperimen ke Lapangan

Beberapa hal dalam temuan eksperimen di atas relevan dengan temuan-temuan di lapangan berkaitan dengan pembangunan polisi tidur untuk mencegah pengendara berkendara dengan kecepatan tinggi.

Pertama, berkaitan dengan temuan bahwa semakin sering seseorang terlibat dalam eksperimen maka semakin kecil kemungkinan mereka mau berkontribusi. Ini menjelaskan kenapa polisi tidur banyak didirikan di jalan tembus/tikus/trabasan atau jalan perlintasan komuter (dimana ada pengguna reguler yang melintas) dan bukannya jalan buntu (dimana tidak ada pengguna reguler yang melintas).   

Kedua, berkaitan dengan temuan bahwa peluang koordinasi semakin besar saat para pemain dapat berkomunikasi sebelum eksperimen. Hal ini menjelaskan kenapa rambu-rambu sangat penting sebegai sarana komunikasi bagi para pengendara. Kecepatan para pengendara yang melaju di jalan tol, dimana dimana rambu-rambu penanda kecapatan relatif lebih jelas, lebih mudah dikontrol daripada jalan non tol, dimana rambu-rambu penanda kecepatan jarang ditemui atau bahkan terdisrupsi dengan gangguan visual seperti papan iklan, tanaman, atau bangunan.   

Ketiga, berkaitan dengan tingkat kontribusi yang terkait dengan opportunity cost. Maka ini menjelaskan kenapa yang para pengendara cenderung mengebut dan ugal-ugalan di hari dan jam kerja, dan bukannya di hari libur karena opportunity cost yang mahal seperti terlambat masuk kerja atau sekolah, terlambat menemui klien, atau terlambat mengantar barang. Kebalikannya, saat hari libur, opportunity cost lebih rendah karena orang cenderung lebih santai dan memiliki lebih banyak waktu luang.  

Keempat, berkaitan dengan kontradiksi barang publik yang bernilai rendah (zero or trivial). Adanya free rider menunjukkan bahwa mereka memberi "penghargaan" tinggi atas barang publik tersebut yakni mereka yang tidak/jarang merasakan jalan mulus, atau mereka yang merasakan jalan mulus namun selalu macet. Maka, begitu melihat jalan mulus dan sepi, maka "penghargaan" akan naik, yakni dalam perilaku menaikkan kecepatan kendaraan.


Bagaiamana Mengontrol Free Rider?

Upaya mengontrol jumlah dan perilaku free rider harus berkaca pada hasil eksperimen dimana selalu ada orang-orang yang memilih untuk tidak menjadi free rider, yakni mereka yang memilih berdonasi dan menekan ego pribadi.

Maka, upaya mengubah free rider menjadi non free rider membawa implikasi perlunya upaya membuat seseorang untuk semakin termotivasi untuk berkontribusi bagi sesamanya. Beberapa hal dapat dilakukan.

Pertama, perlunya komunikasi bagi pengendara dalam bentuk pemasangan rambu lalu lintas maupun distribusi buku peraturan dan petunjuk tertib berkendara.

Kedua, mengurangi "penghargaan" atas barang publik dan opportunity cost pengendara dengan cara membangun jalan berkualitas baik sampai ke seluruh wilayah dan mengurangi titik-titik kemacetan termasuk meminimalisir atau memisahkan arus kendaraan berdasarkan kecepatannya untuk mengurangi ketidakpastian dan mengurangi waktu yang terbuang di jalan.

Ketiga, perlu penataan ruang perkotaan dan pemukiman sehingga satu lokasi dapat dengan mudah diakses dari berbagai penjuru tanpa ada batasan-batasan portal, gang buntu, atau pengendara harus memutar jauh lewat jalan lain. Sehingga tidak ada lagi istilah jalan tembus/tikus/trabasan karena setiap jalan dapat membawa pengendara ke lokasi tujuan dalam waktu singkat. 

Perlu juga pembangunan infrastruktur yang komprehensif yang memadukan koordinasi antar daerah untuk memastikan pembangunan infrastruktur dilakukan bersamaan dengan daerah lain.

Hal ini disebabkan kesenjangan infrastruktur akan merugikan daerah-daerah yang memiliki infrastruktur yang lebih maju. Pengendara (warga) yang datang dari daerah dengan infrastruktur lebih rendah harus melakukan banyak penyesuaian untuk mendapatkan pay off dari infrastruktur yang lebih berkualitas di daerah tujuan. Saat mereka tidak mampu beradaptasi maka perilaku di daerah asal akan terbawa, yang bisa muncul dalam abai pada rambu dan peraturan atau berkendara ugal-ugalan.


Penutup

Perilaku free rider atas barang publik patut dihindari karena saat terlalu banyak orang yang berperilaku seperti ini, tidak akan ada lagi barang publik yang tersedia bagi masyarakat, seperti pemasangan polisi tidur yang justru akan menyusahkan semua orang.


Referensi:

https://www.suarasurabaya.net/kelanakota/2022/rumah-di-karang-empat-surabaya-habis-terbakar-gegara-anak-kecil-main-korek-api/

Rosen, H. S., & Gayer, T. (2008). Public Finance: McGraw-Hill.



Popular posts from this blog

Skewness dan Kurtosis

IFLS: Mencari Variabel

Piramida Distribusi Kekayaan Masyarakat Indonesia

KKN di Desa Penari

Tantangan bagi GoPay dan Dompet Digital Lain

Peta Kemiskinan Kabupaten Malang

Palma Ratio Indonesia