Rumah dan Kualitas Hidup
Pemukiman Padat di Jakarta. Sumber: New Straits Time
Media Detikcom (16/7) memuat artikel tentang pendapat orang yang memilih untuk memiliki atau tidak memiliki rumah. Bagi pihak yang memilih untuk segera punya rumah, rumah adalah impian; seberapa kecil dan jauh namun jika rumah itu adalah milik sendiri maka akan memberikan ketenangan. Bagi mereka, jauh lebih tenang untuk tinggal di rumah sendiri daripada harus mengontrak atau menyewa.
Sementara mereka yang tidak ingin punya rumah didasari alasan kepraktisan, tuntutan pekerjaan yang mengharuskan mobilitas tinggi, serta keengganan punya hunian di pinggiran kota yang meski harganya terjangkau, justru membuat penghuninya harus mengeluarkan banyak waktu dan biaya untuk transportasi.
Housing Ownership
Indonesia memiliki housing ownership (kepemilikan rumah ) yang tergolong tinggi, dilihat dari publikasi Statista yang menunjukkan sekitar 72% rumah tangga perkotaan di Indonesia tinggal di rumah dengan status yang mereka miliki. Sementara sekitar 90% rumah tangga perdesaan di Indonesia tinggal di rumah milik mereka sendiri.
Namun tingginya angka kepemilikan rumah ini belum bisa mencerminkan bagaimana kualitas rumah, kualitas lingkungan sekitar, serta aksesibilitas rumah itu sendiri.
Hal ini penting mengingat rumah hendaknya bukan sekedar tempat untuk tidur namun juga harus cukup luas bagi penghuninya, berada di kawasan bebas bencana, dan dengan lingkungan yang aman dan nyaman sehingga mampu memberikan peningkatan kualitas hidup bagi penghuninya.
Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2021 mensyaratkan kebutuhan minium ruang adalah 9 meter persegi per jiwa untuk rumah tapak. Jadi, keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan dua anak hendaknya memiliki rumah dengan luas bangunan 36 meter persegi. Tentu saja, semakin luas bangunan menunjukkan semakin tinggi standar hidup.
Ini belum termasuk kualitas bahan bangunan yang digunakan dimana semakin berkualitas bahan bangunan yang digunakan menunjukkan semakin tinggi standar hidup penghuninya.
Ini juga belum dihitung aksesibilitas dan kualitas lingkungan dimana properti di lokasi strategis dan dengan kualitas lingkungan baik menunjukkan standar hidup yang lebih tinggi daripada properti di lokasi tidak strategis dan dengan lingkungan yang tidak baik.
Kualitas Hunian di Indonesia
Rendahnya kualitas hunian di Indonesia diasosiasikan dengan masyarakat yang mendirikan bangunan di wilayah dengan aksesibilitas sulit seperti di lereng bukit, jalan yang sempit yang notabene akan menyulitkan penanganan saat terjadi kejadian darurat (seperti kebakaran) atau bencana.
Masyarakat juga tidak mampu menggunakan bahan bangunan berkualitas dan dengan teknik konstriksi yang kokoh untuk mengahadapi bencana.
Tak hanya itu, banyak masyarakat yang tinggal dan mendirikan bangunan liar seperti di pinggir rel kereta, kolong jembatan, dan di bawah jembatan layang yang berisiko menghadapi keterbatasan akses, layanan utilitas, serta ketiadaan status hukum untuk hunian mereka.
Penyebab utamanya adalah rendahnya pendapatan yang kemudian diperparah dengan pengeluaran untuk makanan yang menyedot bagian terbesar pendapatan, terutama keluarga miskin, sehingga tidak banyak sisa pendapatan yang bisa dialokasikan untuk meningkatkan standar hidup seperti dalam hal hunian.
Indonesia juga menghadapi besarnya populasi penduduk miskin dimana seperlima dari populasi Indonesia rentan jatuh miskin. Kemudian, lebih dari separuh populasi Indonesia tinggal di perkotaan dimana satu dari lima penduduk perkotaan tinggal di kawasan kumuh (Habitat for Humanity, 2020).
Hal ini sejalan dengan temuan Abidoye, et.al. (2020) yang menemukan bahwa ketidakterjangkauan dan rendahnya pendapatan merupakan penghambat utama untuk memiliki hunian berkualitas di Indonesia.
Peningkatan Kualitas Hidup
Pemerintah perlu mendorong masyarakat untuk lebih berorientasi pada kualitas hidup. Setiap orang perlu didorong untuk memikirkan apakah pilihan yang diambil dapat meningkatkan atau justru menurunkan kualitas hidupnya.
Maka, apakah punya rumah sendiri tapi di pinggiran kota memberikan kualitas hidup lebih tinggi daripada hunian sewa yang berada di pusat kota?
Jika rumah di pinggiran memberi kualitas hidup lebih baik daripada rumah sewa di pusat kota tadi, maka logikanya orang-orang akan berbondong-bondong untuk membeli rumah meski di pinggiran kota.
Implikasinya, pemerintah harus membangun infrastruktur jauh ke luar kota agar dapat menyaingi laju pertambahan penduduk di pinggiran kota agar mereka juga memiliki kualitas hidup yang sama atau lebih tinggi daripada warga yang tinggal di pusat kota. Bahkan, jauh lebih baik membangun infrastruktur terlebih dulu yang kemudian disusul dengan perkembangan hunian.
Sebaliknya, jika rumah sewa di pusat kota dapat memberi kualitas hidup lebih baik, maka pemerintah perlu berfokus pada penyediaan hunian sewa di pusat kota. Pemerintah juga perlu menata pusat kota agar lebih liveable dengan meningkatkan kualitas infrastruktur dan memperbanyak ruang publik.
Tugas utama pemerintah adalah menyediakan infrastruktur baik di pusat kota maupun di pinggiran kota. Agar penghuni dapat merasakan dampak positif dari hunian mereka karena kedekatan jarak dengan fasilitas dan pelayanan publik.
Kedekatan jarak dengan berbagai tempat ini dapat memberi nilai tambah bagi properti itu, seperti dalam penelitian Gnagey and Tans (2018).
Temuan World Resources Institute Indonesia (2022) juga menunjukkan sebuah hunian setidaknya harus memiliki dua jenis efisiensi untuk dapat meningkatkan kualitas hidup penghuninya yakni efisiensi dalam hal lokasi dan efisiensi dalam energi dan penggunaan air.
Sementara bagi masyarakat, pilihan yang diambil juga hendaknya yang memberi konsekuensi biaya-biaya lebih murah, tidak hanya biaya untuk mendapatkan hunian tersebut namun biaya yang timbul karena memilih hunian tersebut dan implikasi bagi kualitas hidup penghuni.
Maka bagi masyarakat, jika kualitas hidup akan lebih baik tanpa memiliki rumah, maka peluang untuk tidak (atau belum) memiliki rumah sendiri juga masih akan terbuka lebar.
Penutup
Kualitas hidup harus menjadi tujuan utama. Sehingga tidak punya rumah sendiri bukan berarti memiliki kualitas hidup lebih rendah daripada mereka yang memiliki rumah.
Referensi
https://news.detik.com/x/detail/intermeso/20220716/Hidup-Tak-Harus-Punya-Rumah/
https://www.statista.com/statistics/1211567/indonesia-households-living-in-their-own-housing-unit-by-urbanization/
Abidoye, R. B., Puspitasari, G., Sunindijo, R., & Adabre, M. (2020). Young adults and homeownership in Jakarta, Indonesia. International Journal of Housing Markets and Analysis.
https://jdih.setkab.go.id/PUUdoc/176379/PP_Nomor_12_Tahun_2021.pdf
Gnagey, M., & Tans, R. (2018). Property-price determinants in Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 54(1), 61-84.
https://wri-indonesia.org/en/blog/can-housing-be-affordable-without-being-efficient
https://www.habitat.org/where-we-build/indonesia