Pembelajaran Tatap Muka dan Pandemi
Sejumlah siswa mengikuti simulasi pembelajaran tatap muka (PTM) di SDN 065 Cihampelas, Bandung, Senin, 7 Juni 2021. ANTARA/M Agung Rajasa
Kenaikan kasus Covid-19 di Indonesia dan di mancanegara membuat pemerintah harus membuat pengetatan mobilitas penduduk untuk mencegah penularan virus, termasuk di antaranya adalah harus menutup sekolah-sekolah dan mengalihkan pembelajaran menjadi berbasis daring (online).
Namun, kebijakan ini membawa implikasi turunnya penguasaan kemampuan siswa. Bahkan, semakin lama durasi penutupan sekolah bisa jadi berbanding lurus dengan penurunan performa belajar siswa. Tidak jarang siswa menjadi putus sekolah karena terlalu lama menjalani pembelajaran daring, membuat mereka menjadi enggan belajar dan memilih untuk bekerja atau menikah.
Pemerintah harus meminimalisir durasi penutupan sekolah dan memfokuskan pembelajaran luring (offline) karena alasan-alasan berikut:
Pertama, penutupan sekolah bukan kebijakan yang sustainable. Semakin lama penutupan sekolah, semakin rendah tingkat penguasaan materi siswa dibandingkan dengan siswa yang terus masuk sekolah. Virus Covid-19 yang terus bermutasi berpeluang membuat pandemi seolah tidak berujung.
Terlebih, penguasaan dunia digital tidak sama untuk setiap orang; mereka yang berpendapatan rendah, infrastruktur yang terbatas, serta jumlah anak yang terlalu banyak sehingga orang tua kesulitan dalam menyediakan gadget untuk anak akan mengalami kesulitan untuk menguasai teknologi. Ketimpangan ini kemudian berlanjut ke ketimpangan dalam pencapaian di dunia pendidikan dimana siswa yang memiliki akses ke dunia digital akan memiliki penguasaan materi lebih baik dibanding mereka yang menghadapi keterbatasan akses dunia digital.
Dalam jangka panjang, ketimpangan di dunia digital ini bisa memperlebar kesenjangan di dunia kerja dimana hanya ada segelintir orang yang memiliki akses ke sumber-sumber informasi dan mampu meraih peluang lebih besar sementara ada sebagian masyarakat lain yang tidak mampu hidup terintegrasi dengan perkembangan dunia digital.
Kedua, pembelajaran daring bisa mengganggu kesehatan mental siswa dan orang tua karena pembelajaran model ini membuat kelelahan cenderung ke aspek mental. Terlebih, pembelajaran daring belum tentu cocok untuk semua kelompok usia siswa dimana ada kelompok usia tertentu (yakni mereka yang pra-sekolah dan yang berada di bangku sekolah dasar) yang lebih membutuhkan interaksi fisik lebih banyak dengan teman-teman sebayanya daripada kelompok usia lain. Kembali, tidak semua orang tua mampu memberikan suasana dan lingkungan pembelajaran daring yang baik di rumah dan pada saat bersamaan mampu merangsang perkembangan mental si anak yang seolah terputus dari teman-teman sebayanya.
Ketiga, perlu upaya untuk meminimalisir resiko penularan virus di sekolah seperti dengan ventilasi dan sirkulasi udara yang baik, penggunaan masker, cuci tangan teratur, menjaga jarak, dan mengurangi kapasitas kelas, serta peluang pembelajaran luar ruang atau outdoor.
Kendalanya, tidak semua sekolah mampu menyediakan sarana dan prasarana yang memadai untuk menghadapi Covid-19. Demikian juga tidak semua siswa atau keluarga mampu menerapkan protokol kesehatan dengan maksimal. Di banyak keluarga, orang tua harus tetap keluar rumah untuk mencari nafkah meski di saat terjadi pembatasan mobilitas yang akan meningkatkan resiko mereka terpapar virus.
Pertemuan tatap muka adalah upaya terbaik untuk mempertahankan kualitas pembelajaran, namun berbagai tantangan untuk mencapai hasil terbaik dari metode pembelajaran ini harus segera diatasi juga untuk mencegah sekolah menjadi tempat penularan Covid-19.