Bertahan di Kala Pandemi: Pelajaran Dunia Bisnis dari Selandia Baru
Publikasi Bloomberg Resilience Index (28/9/2021) menunjukkan peringkat Selandia Baru dalam hal ketahanan menghadapi Pandemi Covid-19 turun dari posisi 5 besar di bulan Juli 2021 menjadi peringkat 38. Posisi terbaik yang dicapai Selandia Baru adalah peringkat 1 di bulan November 2021. Satu hal yang secara signifikan mempengaruhi turunnya peringkat ini adalah adanya lockdown di awal Agustus 2021 (Gambar 1).
Gambar 1. Bloomberg’s Covid Resilience Ranking. Sumber: Bloomberg (2021)
Gambar 2 menunjukkan, dengan menggunakan Bloomberg’s Covid Resilience Ranking, pada umumnya negara-negara kaya memiliki respon lebih baik menghadapi pandemi dilihat dari tiga aspek utama yakni pembukaan kembali negara (reopening progress), status Covid, dan kualitas hidup. Untuk aspek pembukaan kembali negara, indikator yang dipakai adalah jumlah orang yang divaksin, dampak buruk lockdown, kapasitas penerbangan, dan rute perjalanan bagi pejalan yang sudah divaksin. Sementara dari aspek status Covid, indikator yang diamati adalah jumlah kasus per 100,000 orang untuk 1 bulan terakhir, tingkat fatalitas 3 bulan terakhir, total kematian per 1 juta penduduk, dan tingkat tes positif. Dari aspek kualitas hidup, indikator yang dipakai adalah mobilitas, proyeksi pertumbuhan PDB 2021, jangkauan layanan kesehatan universal, dan indeks pembangunan manusia.
Gambar 2. Handling the Covid Era. Sumber: Bloomberg (2021)
Selandia Baru memiliki 4 tingkat kewaspadaan terhadap Covid-19, yakni dimulai dari level 1 sampai level 4 alias lockdown. Semakin tinggi level kewaspadaan tersebut menunjukkan tingkat pembatasan yang semakin tinggi (Gambar 3).
Gambar 3. New Zealand Covid-19 Alert Levels
Lockdown sudah dua kali terjadi di Selandia Baru; lockdown pertama sekitar Maret-April 2020 selama 4 minggu, kemudian lockdown kedua di bulan Agustus 2021 selama 2 minggu, namun khusus untuk Auckland, berlangsung selama 4 minggu. Saat lockdown usai, tingkat kewaspadaan diturunkan secara bertahap, menuju level 3, 2, dan 1. Saat in Selandia Baru berada di level 2.
Lockdown berarti semua orang harus di rumah saja untuk meminimalisir penyebaran virus. Dengan mengurangi mobilitas penduduk, seseorang dapat menurunkan risiko tertular dan menulari orang lain. Namun, meski lockdown, seseorang tetap boleh keluar untuk beberapa hal seperti belanja kebutuhan sehari-hari, berobat, berolahraga ringan, atau bekerja di sektor esensial.
Beberapa bidang usaha dikategorikan sebagai sektor esensial sehingga mereka bisa tetap buka saat lockdown. Contohnya supermarket, karena menjual bahan makanan, baik dalam kemasan (seperti susu dan roti), atau bahan mentah (seperti daging, sayur, buah, telur), layanan kesehatan (seperti apotek, rumah sakit, dan klinik), panti jompo (rest home), bank dan asuransi, kantor pos dan layanan kurir, transportasi publik (seperti bus kota, kereta komuter, taksi, angkutan online), layanan publik (pengangkutan sampah, polisi, pemadam kebakaran), layanan utilitas (listrik, air, telepon, internet), layanan hospitality (hotel, asrama mahasiswa, termasuk layanan pendukungnya seperti housekeeping, laundry, catering).
Bidang usaha selain di atas harus tutup selama lockdown.
Lockdown dan Dunia Usaha
Keputusan pemerintah setiap negara untuk menghadapi pandemi Covid-19 harus mempertimbangkan dua hal utama yakni kesehatan dan/atau ekonomi. Hal ini menyebabkan strategi menghadapi pandemi Covid-19 setiap negara akan berbeda-beda.
Lockdown di Selandia Baru semakin memperjelas usaha-usaha yang mampu dan tidak mampu bertahan di kala penurunan pendapatan atau bahkan saat pendapatan nol.
Bisnis yang bisa tetap bertahan memiliki ciri-ciri sebagai berikut. Pertama, merupakan kebutuhan dasar sehingga bisa tetap buka meski tatap muka dibatasi. Contohnya, sektor bisnis yang esensial tadi.
Kedua, memiliki pangsa pasar dalam negeri. Pasar luar negeri memang menjanjikan peluang lebih luas, namun saat pangsa pasar luar negeri terganggu, misalnya karena ada pembatasan perjalanan, maka harapan terakhir adalah pangsa domestik. Contoh kasus adalah industri pariwisata Selandia Baru yang merupakan kontributor ekspor utama menerima lebih dari 3,8 juta wisatawan asing di tahun 2019 dan berkontribusi bagi pemasukan negara sebesar 10,5 juta dollar. Kontribusi ekonomi pariwisata Selandia Baru dapat dilihat dari publikasi Economic Complexity Index dari Harvard University (Gambar 4).
Gambar 4. Economic Complexity Index Selandia Baru, 2019
Kondisi sebaliknya terjadi di Indonesia, dimana Indonesia menerima 16,1 juta wisatawan asing di tahun 2019 dan berkontribusi 18,4 juta dollar bagi perekonomian, namun kontributor utama ekspor Indonesia justru ekspor bahan mentah (Gambar 5).
Gambar 5. Economic Complexity Index Indonesia, 2019
Adanya pembatasan perjalanan dan penutupan pintu perbatasan dari turis asing dalam rangka pengendalian pandemi membuat sektor pariwisata Selandia Baru menjadi kolaps. Hal ini ditandai dengan tidak ada turis asing yang datang, sementara pangsa pasar domestik tidak mampu (unafford) untuk berwisata dalam negeri yang selama ini memang diarahkan dan disiapkan untuk turis asing.
Bisnis Baru Tetap Muncul
Meski pandemi, bisnis baru bisa tetap muncul, dengan cara memanfaatkan celah-celah bisnis dari mereka yang bisa tetap bertahan meski di kala lockdown. Contohnya adalah industri kuliner yang mengalami pembatasan jumlah pengunjung pada level 3 dan 2. Hal ini mendorong maraknya layanan pengantaran makanan (food delivery), baik dari perusahaan yang memiliki unit bisnis transportasi yang kemudian punya anak usaha di bidang pengantaran makanan, atau perusahaan yang memang memiliki fokus usaha pada layanan reservasi dan pengantaran makanan, atau pengantaran makanan dengan armada milik rumah makan itu sendiri.
Ada satu celah bisnis yang kemudian menjadi peluang bagi bisnis baru, yakni saat adanya surplus makanan yang tidak habis terjual yang kemudian harus dibuang. Ini merupakan kerugian bagi restoran (karena harus membuang dagangan yang seharusnya bisa menjadi pemasukan bagi mereka) dan kerugian bagi negara dan masyarakat (karena sumber daya untuk membuat makanan seperti air, tanah, uang, dan tenaga kerja yang terbuang sia-sia) (Gambar 6).
Gambar 6. Foodprint. Sumber: https://foodprint.app/
Satu perusahaan membuat platform untuk mempertemukan calon pembeli dengan restoran yang memiliki surplus makanan setiap harinya. Pembeli mendapat keuntungan karena bisa membeli makanan dengan harga terjangkau (diskon lebih dari separuh harga) dengan kualitas yang sama saat makanan itu baru dibuat. Penjual mendapat untung karena meminimalisir dagangan yang terbuang dan membuat usaha lebih dikenal masyarakat (meningkatkan eksposure). Negara juga mendapat untung karena bisa meminimalisir sumber daya yang terbuang dan berkontribusi positif bagi gerakan perubahan iklim (climate change).
Bisnis di Indonesia: what’s next?
Berdasarkan pengalaman pandemi di atas, ada empat aspek rekomendasi bagi dunia usaha di Indonesia.
Pertama, dunia usaha harus bisa melihat celah kebutuhan di masyarakat, bisnis lain, dan kebutuhan bagi pemerintah agar bisa popular dan berkelanjutan (sustainable). Upaya untuk pemenuhan kebutuhan bagi para stakeholder ini juga harus memperhatikan pangsa pasar yang dituju, ditandai dengan kejelasan profil pengguna dari sisi demografi, sosioekonomi, dan sebagainya.
Pentingnya profil pengguna dari sisi sosioekonomi dapat dilihat dari contoh berikut. Akses teknologi, informasi, dan komunikasi (TIK) dan akses kredit bisa meningkatkan standar hidup masyarakat miskin. Namun masih belum jelas masyarakat miskin yang mana yang mendapat keuntungan terbesar dari intervensi di TIK dan kredit tersebut.
Penelitian Soseco dan Hidayah (2021) melihat sejauh mana TIK dan kredit bisa mengentaskan kemiskinan, dimana keluarga miskin diukur dengan menggunakan pendekatan kemiskinan multidimensional, yakni mengukur kemampuan suatu keluarga atau individu dalam 10 indikator yang terbagi dalam 3 dimensi, yakni dimensi pendidikan, kesehatan, dan standar hidup. Individu atau keluarga yang tidak memiliki kemampuan di minimal 3 dari 10 indikator akan dikategorikan sebagai rentan miskin (vulnerable). Sementara mereka yang tidak mampu di minimal 6 dari 10 indikator tergolong sebagai miskin akut (severe).
Hasil penelitian menunjukkan TIK dan kredit bisa membantu kelompok masyarakat rentan miskin dan miskin akut keluar dari kemiskinan. Namun hanya kelompok yang rentan miskin bisa mendapat manfaat lebih besar dari TIK dan kredit tadi daripada kelompok yang miskin akut. Implikasi dari temuan ini adalah setiap program pemerintah untuk pengentasan kemiskinan dengan menggunakan intervensi di bidang TIK dan akses kredit bisa membantu sebuah keluarga keluar dari kemiskinan, namun keluarga yang miskin akut butuh intervensi lebih dalam seperti dalam bentuk subsidi atau bantuan langsun tunai.
Kedua, orientasi mendapatkan pemasukan juga harus diimbangi dengan orientasi meminimalisir biaya-biaya. Kondisi pandemi Covid-19 menunjukkan penurunan produksi dan konsumsi masyarakat, yang secara nasional ditandai penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi. Tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia terkontraksi selama empat kuartal sejak paruh akhir 2020 hingga awal 2021 (Gambar 7).
Gambar 7. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia, 2016-2021. Sumber: Badan Pusat Statistik (2021)
Penurunan aktivitas ekonomi ini berimplikasi pada efisiensi harus dimulai dari unit bisnis yang paling kecil; karena bisnis akan bergantung pada aliran pendapatan untuk menjaga keberlangsungan perusahaan, maka perusahaan harus mampu meminimalisir pengeluaran bahkan saat kondisi penurunan pendapatan atau bahkan saat tidak ada pendapatan sama sekali.
Maka, penggunaan mesin, teknologi, atau sistem komputerisasi menjadi hal yang tidak terelakkan karena berdampak pada biaya pemeliharaan yang lebih murah daripada mempertahankan biaya gaji pegawai dalam kondisi penurunan pendapatan perusahaan.
Ketiga, usaha anak bangsa harus menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Contohnya adalah pengalaman lockdown menunjukkan peningkatan tren pembayaran non-tunai karena menjadi pilihan terbaik untuk mengurangi persebaran virus. Namun, perusahaan pembayaran non-tunai mana yang paling diuntungkan dari peningkatan transaksi saat pandemi, perusahaan dalam negeri atau perusahaan luar negeri? Maka, kebutuhan untuk terus menerus melakukan inovasi menjadi hal yang tidak bisa dihindari untuk menjadi pengasa pasar di negeri sendiri.
Keempat, inovasi harus diimbangi dengan konten yang berkualitas agar bisnis tetap sustainable. Karena content is fuel. Tanpa mengesampingkan aspek lain, konten yang berkualitas yang akan membuat bisnis akan terus menarik pelanggan baru, dan membuat pelanggan lama bisa tetap bertahan.
Tanggung jawab konten yang berkualitas terletak pada si pembuat konten tersebut, yang setidaknya bisa dibagi menjadi tiga pihak. Pertama, admin atau tim kreatif dari pemilik usaha. Kedua, tenaga ahli yang dikontrak untuk mengisi konten. Ketiga, masyarakat atau komunitas. Maka, untuk setiap kontributor konten tersebut, kontrol kualitas diperlukan untuk menjaga konten tetap berkualitas.
Penutup
Krisis ekonomi karena pandemi Covid-19 membuat banyak usaha tidak bisa menghindar dari kebangkrutan. Namun, pandemi juga membuka peluang bisnis baru. Adanya pandemi juga memberi pelajaran bagi dunia usaha agar bisa memiliki karakteristik jeli melihat celah pasar, meminimalisir biaya, inovasi, serta konten yang berkualitas. Hal ini diperlukan dunia usaha agar bisa bertahan di pandemi-pandemi lain di masa depan.
Referensi
Bloomberg. (2021). Covid Resilience Ranking: The Best and Worst Places to Be in 2021 (bloomberg.com). URL: https://www.bloomberg.com/graphics/covid-resilience-ranking/?cmpid=BBD092821_CORONAVIRUS&utm_medium=email&utm_source=newsletter&utm_term=210928&utm_campaign=coronavirus&fbclid=IwAR01oohnPCLSkiH2R8IRj6dN6tWmpsFoW9hV0Dte7tKc1lRLRW0rKm1Iw44
Soseco, Thomas & Hidayah, Isnawati. (2021). Findings Ways for Post-Covid-19 Recovery: Access to ICT and Loans for Poor Households. Paper prepared for Lomba Karya Ilmiah Stabilitas Sistem Keuangan (LKISSK) 2021
Badan Pusat Statistik (2021). Growth Rate of GDP at Constant Market Prices By Expenditure (Percent). URL: https://bps.go.id/indicator/169/108/6/-2010-version-growth-rate-of-gdp-at-constant-market-prices-by-expenditure.html
(Thomas Soseco)