Belajar dari China tentang Arti Penting Pendidikan
Sore ini kami kedatangan Dr. Scott Rozelle dari Standford University, USA, berbagi cerita tentang pengalaman penelitiannya di China.
China adalah negara berpendapatan menengah namun memiliki jumlah angkatan kerja yang lulus SMA tergolong rendah di antara negara-negara kelas menengah lainnya.
Industrialisasi telah menggerakkan perekonomian di China. Nampak nyata hasilnya di perkotaan berupa pembangunan fisik dan naiknya upah pekerja. Namun meninggalkan jejak kemiskinan dan ketimpangan sumber daya manusia di perdesaan.
Ada banyak orang tua yang bekerja di kota, meninggalkan anak-anak mereka di bawah asuhan kakek dan neneknya. Kakek dan neneknya, yang notabene tidak mengenyam pendidikan tinggi, mewariskan kebiasaan dan rangsangan belajar yang buruk pula kepada cucunya.
Hasilnya adalah anak-anak muda yang terlambat belajar dan enggan sekolah tinggi. Hal ini yang menjadi keprihatinan, mengingat investasi pada sumber daya manusia adalah mahal dan hasilnya baru bisa dinikmati 20 sampai 30 tahun lagi.
Saat negara siap masuk ke kelompok negara berpendapatan lebih tinggi (misalnya dari negara berpendapatan menengah naik ke negara berpendapatan tinggi), maka diperlukan tenaga kerja yang juga harus berkualitas lebih tinggi.
Saat ini, China dihadapkan pada kenyataan mekanisasi produksi. Dengan pinjaman nol persen dari pemerintah, perusahaan mampu membeli mesin dan robot untuk menggantikan tenaga manusia. Tenaga kerja tidak terampil akan ditendang dari pasar tenaga kerja.
Pengalaman Meksiko dan Brazil menunjukkan sebagian kecil tenaga kerja yang tersisih mampu mendapat pekerjaan yang setara. Sebagian akan membuka usaha sendiri. Sementara sisanya akan terjerumus dalam kriminalitas dan gangster.
Tak pelak, jika China tidak mampu mengatasi masalah sumber daya manusianya, maka bukan tidak mungkin perekonomiannya akan ambruk.
Bagaimana dengan Indonesia?
(Thomas Soseco)
(Thomas Soseco)