2019 Hati-hati Mengelola Hutang

Memasuki tahun politik 2019 pembahasan mengenai hutang negara menjadi topik bahasa seru di panggung politik. Hutang negara menjadi sensitif saat jumlahnya banyak dan digunakan untuk hal-hal yang tidak produktif.

Namun artikel ini tidak membahas mengenai hutang negara melainkan hutang dari sisi rumah tangga atau keluarga.

Lazimnya setiap rumah tangga juga boleh berhutang. Hutang digunakan untuk tiga tujuan utama: meningkatkan aset, meningkatkan pendapatan, atau meningkatkan konsumsi.

Hutang yang meningkatkan aset seperti kredit kepemilikan rumah dan kredit kendaraan bermotor.

Hutang untuk meningkatkan pendapatan contohnya hutang untuk ekspansi usaha atau hutang kendaraan bermotor yang akan digunakan untuk usaha.

Sementara hutang yang bertujuan meningkatkan konsumsi seperti contohnya hutang untuk pergi berwisata dan hutang kartu kredit untuk membeli barang konsumsi.

Berbagai pakar keuangan menyatakan hutang yang ideal adalah yang pembayarannya tidak melebihi 30 persen dari pendapatan rutin. Hal ini bertujuan agar pengeluaran sehari-hari juga tidak terganggu.

Namun demikian ada satu aspek yang tidak boleh dilupakan yakni apapun jenisnya, hutang jangan sampai membuat nilai kekayaan bersih sebuah keluarga atau rumah tangga bernilai negatif.

Nilai aset bisa diukur dari nilai pasar dari semua properti yang dimiliki, seperti rumah, villa, rumah kontrakan, tanah, kebun, sawah, atau ladang. Kemudian menambahkan semua jenis kendaraan bermotor, seperti mobil, sepeda motor, sepeda, atau kapal. Kemudian perabotan rumah tangga, seperti alat elektronik, mebel, peralatan dapur, dan sebagainya. Kemudian alat-alat yang digunakan untuk usaha, seperti nilai alat pertanian, alat perikanan, atau alat industri rumah tangga. Terakhir menjumlahkan barang berharga seperti emas, perhiasan, saham, deposito, dan sebagainya.
Nilai seluruh komponen tersebut disebut dengan kekayaan total.

Kemudian, jika nilai kekayaan total dikurangi dengan jumlah hutang yang dimiliki, maka akan menghasilkan kekayaan bersih. 

Jika kekayaan total lebih besar dari nilai hutang, maka kekayaan bersih adalah positif. Jika nilai kekayaan total sama dengan nilai hutang, maka kekayaan bersih adalah nol. Sementara jika nilai kekayaan total lebih kecil daripada nilai hutan, maka kekayaan bersih bernilai negatif.

Tentu saja ada rumah tangga yang memiliki kekayaan bersih negatif.

Perhitungan dengan data Indonesian Family Life Survey (IFLS) menunjukkan pada tahun 1993, ada 9,03% rumah tangga yang memiliki nilai kekayaan bersih negatif. Angka ini semakin menurun dari tahun ke tahun, yakni 1,04% di tahun 1997, 1,65% (2000), 0,64% (2007), dan 1,75% (2014).

Ternyata, rumah tangga yang memiliki kekayaan bersih nol juga terhitung banyak. Pada tahun 1993, ada 12,74% rumah tangga yang memiliki kekayaan bersih nol. Kemudian pada tahun 1997 berjumlah 1,48%, tahun 2000 berjumlah 2,11%, tahun 2007 berjumlah 4,91%, dan terakhir tahun 2014 berjumlah 5,28%.

Kelompok rumah tangga yang berada di luar kelompok di atas untuk masing-masing tahun adalah mereka yang memiliki kekayaan bersih positif.

Kekayaan bersih bisa bernilai negatif karena setidaknya tiga penyebab berikut:

(1) hutang yang bersifat konsumtif dan tidak diarahkan untuk menambah aset.
(2) hutang yang nilainya lebih besar daripada aset yang dijaminkan. Hal ini terjadi saat rumah tangga mampu memperoleh hutang dengan cara-cara tertentu di luar jalur kewajaran.
(3) hutang yang tidak dilunasi, hingga akhirnya semakin lama semakin bertambah banyak.

Idealnya, hutang tidak boleh menyebabkan nilai kekayaan bersih bernilai negatif. Ada berbagai alasan yang mendasari.

Alasan pertama. hutang merupakan bagian dari aset. Maka, saat debitur (orang yang berhutang) meninggal dunia, maka ahli waris mewarisi aset dan sekaligus hutang dari pewaris.

Lazimnya, pelunasan hutang kemudian diambil dari penjualan aset pewaris. Jika ada sisa penjualan aset tersebut, maka sisa tersebut akan dibagi ke seluruh ahli waris.

Namun jika aset yang terjual tidak mampu menutup hutang, maka tanggung jawab atas hutang beralih kepada ahli waris. Ahli waris dapat menerima, menolak, atau bertanggung jawab pada batas tertentu.

Tentunya pembahasan dari aspek hukum tidak dibahas dalam artikel ini. Namun yang pasti, hutang yang lebih besar dari aset akan membawa kerepotan tersendiri bagi ahli waris.

Alasan kedua, dari sisi ekonomi, rumah tangga yang memiliki kekayaan bersih negatif berarti mereka tidak memiliki capaian memuaskan atas kinerja mereka selama ini. Capaian tersebut justru akan tertutupi dengan kewajiban yang harus dilaksanakan.

Harus bekerja sepanjang hari hanya untuk membayar hutang. Konsekuensinya, ada kenikmatan yang akan terkorbankan seperti menikmati waktu bersama keluarga, atau menikmati waktu istirahat dan me-time.

Bahkan tidak mungkin akan membawa berbagai masalah kesehatan seperti tingkat stress yang lebih tinggi atau pola makan yang tidak sehat.

Alasan ketiga, pada skala yang lebih luas, rumah tangga yang memiliki kekayaan bersih negatif menunjukkan kondisi ketimpangan masyarakat yang semakin buruk.

Kondisi ketimpangan berarti ada sekelompok masyarakat yang sangat kaya, memiliki aset sangat banyak. Sementara ada sebagian besar masyarakat yang memiliki kekayaan rendah.

Malangnya, ada juga sekelompok kecil masyarakat yang memiliki kekayaan bersih negatif.

Kondisi ini dapat membawa masalah yang lebih serius, seperti masalah kriminalitas, pemukiman yang buruk dan berbagai masalah kesehatan. Kondisi ketimpangan juga akan menghambat mobilitas sosial, integrasi sosial, serta adanya diskriminasi.

Maka, setiap rumah tangga harus cermat dalam mengelola hutang. Cermat mengelola hutang ditandai dengan jumlah hutang jangan sampai lebih besar dari nilai aset.

(Thomas Soseco)


Popular posts from this blog

Skewness dan Kurtosis

Piramida Distribusi Kekayaan Masyarakat Indonesia

Palma Ratio Indonesia

KKN di Desa Penari

Daya Beli Masyarakat, in this Economy: Dunia Usaha dan Perspektif Ekonomi Makro

Berapa Rata-Rata Kekayaan Rumah Tangga di Indonesia?

Robustness Check