Generasi Milenial juga Butuh Perencanaan Finansial
Generasi milenial ditandai dengan mereka yang lahir pada rentang 1980 hingga 2000, atau yang sekarang berusia 18 hingga 38 tahun.
Generasi milenial juga terdiri dari berbagai kelas, ada yang sudah kaya sejak lahir, seperti cerita Crazy Rich Asians atau Crazy Rich Surabayans, sementara ada yang harus berjuang keras untuk hidup. Namun mereka semua memiliki kesamaan, yakni kedekatan mereka dengan teknologi informasi.
Keterkaitan mereka dengan teknologi informasi dan internet justru membawa adanya peluang-peluang baru untuk mendapat penghasilan yang tidak pernah terpikir oleh generasi-generasi sebelumnya.
Kini jamak banyak anak muda punya penghasilan sebagai youtuber, menjadi selebgram, penghasilan dari endorse produk, penulis blog, atau pengisi konten digital. Ada juga anak muda yang terjun di dunia industri kreatif, mengolah barang dan jasa dengan memberikan nilai tambah tertentu.
Penghasilan yang tinggi idealnya juga harus diimbangi dengan kecerdasan finansial.
Ada dua hal yang harus menjadi target yaitu aset dan hutang. Alasannya sederhana, manajemen aset dan manajemen hutang yang baik mampu membuat seseorang menjadi kaya.
Secara teoritis, kedua hal ini dapat ditunjukkan dengan membandingkan perhitungan ketimpangan di masyarakat.
Nilai Indeks Gini dari sisi pengeluaran yang berkisar 0,320 (tahun 2017), 0,316 (2016), dan 0,329 (2015) lebih rendah dari Indeks Gini dari sisi kekayaan, yang bernilai 0,837 (tahun 2017), 0,840 (2016) dan 0,847 (2015).
Hal ini menunjukkan ketimpangan kekayaan di masyarakat lebih tinggi daripada ketimpangan dari sisi pengeluaran.
Pengeluaran seseorang merupakan refleksi dari pendapatannya, yaitu dimana pengeluaran yang tinggi menunjukkan pendapatan yang tinggi. Namun karena kekayaan merupakan penjumlahan dari semua aset kemudian dikurangi dengan hutang, maka jumlah hutang yang banyak dapat menyebabkan nilai kekayaan menjadi rendah atau bahkan negatif (saat hutang lebih tinggi dari nilai aset).
Implikasi dari hal ini adalah adanya dua hal penting, yakni aset dan hutang.
Orang-orang kaya ditandai dengan kemampuan mereka mengakumulasi aset. Aset dapat berupa properti, kepemilikan perusahaan, saham dan surat berharga, serta benda seni. Hal ini yang jarang ditemui pada masyarakat kelas menengah ke bawah.
Mirisnya, tiga terbesar komponen pengeluaran masyarakat justru tidak mengarah ke pembentukan aset.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tiga komponen pengeluaran terbesar masyarakat adalah untuk makanan (sekitar 29%), padi-padian (14%), dan rokok (13,8%). Jika saja pengeluaran untuk rokok bisa dialihkan, maka ada potensi menambah aset.
Contohnya adalah jika pendapatan seseorang adalah Rp. 2 juta per bulan maka pengeluaran untuk rokok adalah sekitar Rp. 270 ribu per bulan. Dalam setahun, pengeluaran untuk rokok tersebut bisa untuk membeli emas batangan seberat 5 gram.
Kemudian, adanya hutang akan menyebabkan nilai kekayaan menjadi lebih rendah atau bahkan negatif. Karena hutang yang konsumtif tidak mengarah ke pembentukan aset, maka hutang harus diarahkan untuk hal yang produktif seperti ekspansi usaha atau membeli aset yang nilainya dipastikan akan naik dari tahun ke tahun (seperti rumah atau tanah) dan bukannya hutang untuk membiayai gaya hidup.
Kedua hal di atas harus menjadi perhatian bagi generasi milenial. Gelora darah muda kadangkala menempatkan prestasi di dunia maya, popularitas di media sosial, banyaknya jumlah followers dan likes menjadi urusan nomer satu. Apalagi teknologi informasi membuat kebanyakan anak muda mudah berganti profesi atau berpindah tempat kerja.
Hal-hal ini yang kadangkala membuat fokus jangka panjang menjadi terabaikan. Saat sudah merasa cukup tua nanti baru terpikir untuk menabung, berinvestasi, dan menambah aset. Padahal jika bisa dimulai dari sekarang, kenapa tidak?
(Thomas Soseco)
(Thomas Soseco)