Tiga Tantangan dalam Upaya Memiliki Rumah

Memiliki rumah sendiri merupakan kebahagiaan tak terkira bagi seseorang yang punya sejarah panjang sebagai anak kos dan pengontrak rumah.  Usai sudah perjalanan nomaden sebagai anak kos atau pengontrak.

Menatap rumah baru, seberapapun kecil dan meski dibeli dengan cara mencicil, memberi harapan baru bagi keluarga Anda. Tentu Anda masih ingat bagaimana perjuangan mencari rumah, menabung, mencari informasi sebanyak-banyaknya, survei lokasi, mengurus surat-surat, dan akhirnya rumah itu menjadi sah milik Anda.

Pengalaman ini akan menjadi tantangan bagi anak muda dan keluarga-keluarga muda yang baru akan memulai “karir” untuk memiliki rumah sendiri. 

Setiap keluarga harus memaksakan diri untuk memilki rumah sendiri karena memberi banyak keuntungan bila dibandingkan dengan menyewa rumah. 

Contohnya adalah memiliki rumah sendiri akan menunjukkan status sosial di masyarakat (pemilik rumah cenderung punya kedudukan lebih superior daripada penyewa rumah), anak-anak memiliki prestasi belajar lebih baik, dan yang paling penting adalah sudah terbebas dari pertanyaan “kapan punya rumah sendiri?”.

Apalagi karena harga rumah selalu naik, rumah akan menjadi aset terbesar dan memiliki kenaikan harga paling signifikan bagi sebuah keluarga, terutama kelas menengah ke bawah.

Jika sekarang pemberitaan media sedang heboh tentang penyediaan rumah dengan uang muka nol persen, apakah segitu tidak terjangkaunya harga rumah, sehingga masyarakat butuh skema kepemilikan rumah yang lebih progresif? 

Jadi masalahnya apakah ada di masyarakat yang tidak punya cukup uang untuk membeli rumah ataukah harga rumah yang terlalu mahal? 

Tapi bukankah tetap saja ada rumah-rumah mewah juga yang laku terjual dengan harga fantastis?

Untuk dapat membeli rumah, rumah tersebut harus terjangkau. 

Kata “terjangkau” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah (1) tercapai; terambil: (2) terbeli; terbayar. 

Untuk dapat lebih menjelaskan “terjangkau” perlu menjawab lagi tiga pertanyaan: terjangkau menurut siapa? Apakah ada standar jika sesuatu disebut terjangkau? 

Pertanyaan pertama berarti terjangkau menurut satu orang belum tentu terjangkau menurut orang lain. Rumah seharga Rp. 200 jutaan mungkin bukan masalah bagi satu orang, tapi bisa jadi sesuatu yang tidak mungkin terbeli bagi orang lain. 

Kemudian, berkaitan dengan standar apakah sebuah rumah dapat dikatakan terjangkau atau tidak masih menjadi perdebatan para ahli.

Ada yang melihatnya dari sisi seberapa besar pengeluaran ideal untuk rumah, ada yang membandingkan median harga rumah dengan pendapatan, dan sebagian lagi melihatnya dari pendapatan residual rumah tangga. 

Dan hendaknya kita juga tidak usah larut dalam perdebatan para pakar tersebut. Yang perlu menjadi perhatian kita adalah dari sisi pelaku alias rumah tangga yang memiliki kebutuhan untuk memiliki rumah sendiri. Sudah sejauh manakah kita siap untuk “menjangkau” harga rumah?

Tiga Tantangan 

Terdapat tiga tantangan berkaitan dengan upaya masyarakat untuk membeli rumah. 

Pertama, rumah harus terjangkau dari sisi ekonomi. Artinya, masyarakat harus memiliki daya beli cukup untuk dapat membeli rumah. 

Kedua, rumah yang terbeli harus cukup luas untuk menampung seluruh anggota keluarga. Pasalnya, banyak keluarga mampu membeli rumah namun terlalu sempit untuk menampung jumlah anggota keluarga. 

Ketiga, rumah yang terbeli itu harus berada di lingkungan yang baik dan kondusif. Karena tak jarang orang mampu membeli rumah namun di kawasan yang padat penduduk, dengan sanitasi buruk, dan lingkungan pergaulan yang tidak baik.

Sisi ekonomi merupakan pintu masuk utama untuk memiliki rumah sendiri.

Anak-anak muda dan keluarga-keluarga muda harus memiliki kesadaran bahwa karena memiliki rumah sendiri (dan dengan perjuangan sendiri) merupakan satu hal yang sangat prestisius bagi diri pribadi, maka dibutuhkan pengorbangan yang sangat besar. 

Ketentuan umum yang berlaku adalah seseorang atau sebuah keluarga hanya boleh mengeluarkan uang untuk angsuran (membayar angsuran atau mencicil uang muka) sebanyak maksimal 30 persen dari pendapatan bulanan.

Contohnya, jika sebuah keluarga memiliki pendapatan Rp. 5.000.000 per bulan, maka besar angsuran rumah yang ideal adalah maksimal Rp.1.500.0000 per bulan. Jika lebih dari angka itu, maka berpotensi mengurangi konsumsi di sektor lain misalnya makanan, pendidikan, dan kesehatan. 

Setiap keluarga harus bisa mengkalkulasikan pengeluarannya agar mampu menyisihkan maksimal 30 persen dari pendapatan bulanan. 

Jika memaksa, keluarga harus mengubah gaya hidup karena dengan demikian mampu memangkas pengeluaran-pengeluaran yang bukan menjadi prioritas.

Tapi jika gaya hidup tak mampu diubah, maka itu tandanya keluarga tersebut harus mencari sumber pendapatan tambahan atau pekerjaan baru yang memberi pendapatan lebih tinggi.

Bagi lajang dan keluarga muda, rencanakan jumlah anak dengan baik karena jumlah anak berbanding lurus dengan biaya. 

Dan ini akan berkaitan erat dengan aspek keterjangkauan rumah yang kedua: rumah harus cukup menampung semua anggota keluarga. 

Seringkali ditemui sebuah keluarga yang meski sudah punya rumah sendiri tapi ternyata rumah itu terlalu kecil untuk menampung semua anggota keluarga. 

Rumah tidak boleh terlalu padat karena berkaitan dengan privasi dan alasan kesehatan. Jika perhitungan kasarnya adalah satu anak mendapat satu kamar tidur, maka seharusnya keluarga dengan dua anak harus tinggal di rumah dengan minimal tiga kamar tidur (satu kamar tidur untuk orang tua, dan dua kamar tidur untuk anak-anak). 

Perhitungan Badan Pusat Statistik sendiri menyatakan kebutuhan luas lantai per kapita adalah 7,2 meter persegi.

Artinya, sebuah keluarga dengan 4 anggota keluarga (orang tua dan dua anak) membutuhkan rumah minimal seluas 28,8 meter persegi. Itu adalah luas minimal, Semakin tinggi luas per kapita yang dimiliki keluarga tersebut, maka mereka tergolong lebih sejahtera.

Aspek keterjangkauan rumah yang ketiga adalah rumah harus berada di lingkungan yang kondusif, 

Lingkungan yang kondusif ditandai dengan penduduk tidak terlalu padat, akses jalan memadai, jauh dari sumber bencana, legalitas terjamin, serta pergaulan sosial yang baik. Dengan lingkungan yang kondusif, keluarga dapat menghindarkan diri dari berbagai kemungkinan masalah kesehatan dan sosial. 

Keuntungan lainnya adalah rumah yang berada di lingkungan yang kondusif memiliki kenaikan harga yang lebih cepat daripada rumah yang berada di lingkungan yang kurang kondusif.

Maka, agar ketiga tantangan tersebut dapat teratasi, setiap orang harus sedari dini mempersiapkan diri untuk membeli rumah.

Caranya adalah dengan mengelola keuangan dengan baik, meningkatkan potensi diri (agar punya pendapatan lebih tinggi), serta merencanakan jumlah anggota keluarga. 

Sehingga, dengan perencanaan yang baik, masyarakat mampu memiliki daya beli cukup untuk membeli rumah dan tidak hanya bisa bersungut-sungut menyadari bahwa harga rumah sudah terlalu mahal.

(Thomas Soseco)


Popular posts from this blog

Skewness dan Kurtosis

Piramida Distribusi Kekayaan Masyarakat Indonesia

KKN di Desa Penari

Palma Ratio Indonesia

Daya Beli Masyarakat, in this Economy: Dunia Usaha dan Perspektif Ekonomi Makro

Generasi Hutang: Literasi Keuangan dan Kekayaan Rumah Tangga

Berapa Rata-Rata Kekayaan Rumah Tangga di Indonesia?