Tantangan bagi Anak Muda dalam Memiliki Rumah Sendiri
Kegalauan anak muda saat ini adalah bimbang antara harus mengikuti tren
kekinian ataukah harus menabung untuk masa depan (salah satunya adalah untuk membeli
rumah). Ikut tren jelas memberikan kenyamanan dan kepuasan. Tapi niat mengamankan
masa depan seharusnya tidak boleh pupus.
Tulisan ini menyajikan isu perjuangan memiliki rumah dari sudut pandang anak muda, menggugah kesadaran, dan sekaligus menyemangati anak muda Indonesia untuk terus berjuang.
(Thomas Soseco)
Tulisan ini menyajikan isu perjuangan memiliki rumah dari sudut pandang anak muda, menggugah kesadaran, dan sekaligus menyemangati anak muda Indonesia untuk terus berjuang.
Memiliki rumah sendiri jelas memberi sensasi yang berbeda bagi penghuninya
bila dibandingkan menyewa atau mengontrak. Di mata tetangga, pemilik rumah
biasanya punya daya tawar lebih tinggi dibandingkan penyewa.
Pemilik rumah juga biasanya lebih terlibat dalam partisipasi kegiatan warga di lingkungannya. Anak-anak mereka biasanya memiliki prestasi dan prilaku lebih baik dibanding anak-anak yang orang tuanya tidak memiliki rumah sendiri.
Dari sisi ekonomi, rumah adalah penyumbang kekayaan yang baik, rumah menjanjikan hasil investasi yang terus meningkat dan sekaligus memberikan nilai guna yang tidak dimiliki instrumen investasi lain.
Tapi di sisi lain rumah memberikan fleksibilitas yang lebih rendah dibanding menyewa.
Untuk membeli rumah, diperlukan biaya yang lebih tinggi dibandingkan menyewa rumah. Biaya-biaya tersebut meliputi biaya pencarian, biaya survei, biaya transaksi, pajak yang harus dibayar, serta lamanya waktu yang harus dikorbankan.
Pemilik rumah juga biasanya lebih terlibat dalam partisipasi kegiatan warga di lingkungannya. Anak-anak mereka biasanya memiliki prestasi dan prilaku lebih baik dibanding anak-anak yang orang tuanya tidak memiliki rumah sendiri.
Dari sisi ekonomi, rumah adalah penyumbang kekayaan yang baik, rumah menjanjikan hasil investasi yang terus meningkat dan sekaligus memberikan nilai guna yang tidak dimiliki instrumen investasi lain.
Tapi di sisi lain rumah memberikan fleksibilitas yang lebih rendah dibanding menyewa.
Untuk membeli rumah, diperlukan biaya yang lebih tinggi dibandingkan menyewa rumah. Biaya-biaya tersebut meliputi biaya pencarian, biaya survei, biaya transaksi, pajak yang harus dibayar, serta lamanya waktu yang harus dikorbankan.
Di sisi lain, menyewa rumah juga memberi banyak kelebihan: biaya dan waktu
perolehan lebih rendah serta prosedur administrasi yang tidak serumit
dibandingkan dengan harus membeli rumah.
Kemudian, dengan harga sewa rumah yang sama dengan biaya angsuran rumah di pinggiran kota, seseorang bisa bertempat tinggal di pusat kota dan dekat tempat kerja.
Menyewa rumah memberi fleksibilitas kemudahan saat penyewa harus pindah ke kota lain. Maka menyewa rumah lebih cocok untuk mereka yang tidak akan menetap dalam jangka waktu lama, punya profesi unik sehingga memungkinkan pindah tempat kerja sewaktu-waktu, serta belum punya banyak tanggungan.
Kemudian, dengan harga sewa rumah yang sama dengan biaya angsuran rumah di pinggiran kota, seseorang bisa bertempat tinggal di pusat kota dan dekat tempat kerja.
Menyewa rumah memberi fleksibilitas kemudahan saat penyewa harus pindah ke kota lain. Maka menyewa rumah lebih cocok untuk mereka yang tidak akan menetap dalam jangka waktu lama, punya profesi unik sehingga memungkinkan pindah tempat kerja sewaktu-waktu, serta belum punya banyak tanggungan.
Pilihan membeli rumah atau menyewa rumah tentu menyesuaikan dengan kondisi riil masing-masing
pribadi.
Tapi, idealnya seseorang harus sudah memiliki rumah sendiri saat ia mulai membentuk keluarga, apalagi jika sudah punya anak.
Anak-anak yang orang tuanya memiliki rumah sendiri biasanya akan memiliki prestasi dan prilaku lebih baik bila dibandingkan dengan anak-anak yang orang tuanya tidak memiliki rumah sendiri.
Keberhasilan memiliki rumah sendiri juga menjadi indikator kestabilan finansial orang tua.
Bagi keluarga kelas menengah ke bawah, rumah adalah penyumbang terbesar dalam pembentukan kekayaan keluarga (bagi keluarga menengah ke atas, sumber terbesar kekayaan didapat dari aset badan usaha, saham, properti, dan benda seni).
Nilai rumah yang selalu meningkat juga dapat menjadi aset bagi orang tua yang sudah masuk masa pensiun dan dapat menjadi warisan yang berharga bagi anak-anaknya.
Tantangan
Untuk dapat memiliki rumah sendiri, seseorang akan berhadapan dengan beberapa tantangan.
Tapi, idealnya seseorang harus sudah memiliki rumah sendiri saat ia mulai membentuk keluarga, apalagi jika sudah punya anak.
Anak-anak yang orang tuanya memiliki rumah sendiri biasanya akan memiliki prestasi dan prilaku lebih baik bila dibandingkan dengan anak-anak yang orang tuanya tidak memiliki rumah sendiri.
Keberhasilan memiliki rumah sendiri juga menjadi indikator kestabilan finansial orang tua.
Bagi keluarga kelas menengah ke bawah, rumah adalah penyumbang terbesar dalam pembentukan kekayaan keluarga (bagi keluarga menengah ke atas, sumber terbesar kekayaan didapat dari aset badan usaha, saham, properti, dan benda seni).
Nilai rumah yang selalu meningkat juga dapat menjadi aset bagi orang tua yang sudah masuk masa pensiun dan dapat menjadi warisan yang berharga bagi anak-anaknya.
Tantangan
Untuk dapat memiliki rumah sendiri, seseorang akan berhadapan dengan beberapa tantangan.
Pertama, harga rumah yang
selalu meningkat. Harga rumah juga sangat bervariasi antar daerah.
Penelitian Gnagey dan Tans (2018) mencatat rata-rata harga rumah di Indonesia adalah 4,5 juta per meter persegi. Berarti harga rumah tipe 45 rata-rata 200 jutaan. Sekali lagi, angka ini adalah angka rata-rata, yang berarti nilainya bisa bervariasi antar kota dan antar daerah.
Rumah seharga 200 jutaan mungkin banyak ditemui di kota kecil. Namun rumah dengan harga yang sama nyaris mustahil didapat di kota besar.
Tantangan kedua adalah kelayakan rumah yang akan dibeli. Kelayakan di sini berarti rumah harus terbuat dari bahan-bahan yang baik sehingga tidak mudah rusak atau aus.
Rumah juga harus mampu membuat penghuninya hidup sehat dan nyaman (seperti penghuni tidak tinggal berdesakan, punya sumber air bersih, serta rumah punya sanitasi dan ventilasi yang baik).
Tantangan ketiga adalah rumah harus mempunyai lingkungan yang kondusif serta jauh dari sumber bencana.
Penelitian Gnagey dan Tans (2018) mencatat rata-rata harga rumah di Indonesia adalah 4,5 juta per meter persegi. Berarti harga rumah tipe 45 rata-rata 200 jutaan. Sekali lagi, angka ini adalah angka rata-rata, yang berarti nilainya bisa bervariasi antar kota dan antar daerah.
Rumah seharga 200 jutaan mungkin banyak ditemui di kota kecil. Namun rumah dengan harga yang sama nyaris mustahil didapat di kota besar.
Tantangan kedua adalah kelayakan rumah yang akan dibeli. Kelayakan di sini berarti rumah harus terbuat dari bahan-bahan yang baik sehingga tidak mudah rusak atau aus.
Rumah juga harus mampu membuat penghuninya hidup sehat dan nyaman (seperti penghuni tidak tinggal berdesakan, punya sumber air bersih, serta rumah punya sanitasi dan ventilasi yang baik).
Tantangan ketiga adalah rumah harus mempunyai lingkungan yang kondusif serta jauh dari sumber bencana.
Ketiga tantangan tersebut harus disadari oleh setiap anak muda. Kesiapan
dalam menghadapi ketiga tantangan tersebut harus menggugah bahwa perjalanan
memiliki rumah sendiri sungguh panjang dan berat.
Anak muda perlu menikmati hidup tapi juga jangan lupakan menabung serta investasi. Jangan lupakan urusan membeli rumah. Pola pikir yang harus dibangun saat ini ini adalah: meski saat ini tidak punya rumah bukan berarti tidak mampu membeli rumah kan?
Anak muda perlu menikmati hidup tapi juga jangan lupakan menabung serta investasi. Jangan lupakan urusan membeli rumah. Pola pikir yang harus dibangun saat ini ini adalah: meski saat ini tidak punya rumah bukan berarti tidak mampu membeli rumah kan?
(Thomas Soseco)