Pudarnya Semangat Gotong Royong di Desa Ini
Gotong royong merupakan ciri khas Indonesia. Gotong royong
sendiri bermakna secara kolektif membahas dan mengerjakan suatu masalah untuk dicarikan
solusinya. Dalam kehidupan sehari-hari, gotong royong tampak di masyarakat yang
pedesaan dan pemukiman.
Contoh paling banyak ditemui adalah gotong royong membersihkan lingkungan. Jamaknya, kegiatan ini dilaksanakan menjelang perayaan kemerdekaan Republik Indonesia. Beberapa hari atau beberapa minggu sebelum puncak perayaan, masyarakat di desa atau di kompleks pemukiman membersihkan lingkungan, memasang bendera, umbul-umbul, atau hiasan lainnya, mengecat tembok, serta merapikan jalan.
Di beberapa tempat, kegiatan ini berlangsung rutin setiap bulan atau untuk kepentingan yang lain. Warga menyumbang tenaga, ada yang menyumbang konsumsi, ada yang merelakan kendaraannya dipakai, ada yang secara sukarela mencari bahan, dan sebagainya. Semuanya untuk kepentingan bersama.
(Thomas Soseco)
Contoh paling banyak ditemui adalah gotong royong membersihkan lingkungan. Jamaknya, kegiatan ini dilaksanakan menjelang perayaan kemerdekaan Republik Indonesia. Beberapa hari atau beberapa minggu sebelum puncak perayaan, masyarakat di desa atau di kompleks pemukiman membersihkan lingkungan, memasang bendera, umbul-umbul, atau hiasan lainnya, mengecat tembok, serta merapikan jalan.
Di beberapa tempat, kegiatan ini berlangsung rutin setiap bulan atau untuk kepentingan yang lain. Warga menyumbang tenaga, ada yang menyumbang konsumsi, ada yang merelakan kendaraannya dipakai, ada yang secara sukarela mencari bahan, dan sebagainya. Semuanya untuk kepentingan bersama.
Maka, gotong royong telah menjadi modal sosial. Modal sosial
didefinisikan sebagai nilai-nilai yang berlaku di masyarakat sebagai tempat
interaksi dan menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi.
Bowen (1986) mengidentifikasi ada tiga modal sosial yang berlaku di masyarakat Indonesia, yakni koperasi, musyawarah, dan gotong royong. Ketiga modal sosial tersebut setidaknya dikenal sebagai warisan nenek moyang; masih dijaga dan dipertahankan oleh masyarakat Indonesia.
Lebih khusus lagi, tindakan resiprokal dan kolektif dalam gotong royong dapat dikelompokkan dalam tiga bentuk kegiatan (Bowen, 1986): Pertama, pertukaran tenaga kerja. Kedua, tindakan resiprokal. Ketiga, mobilisasi massa dapat digunakan untuk kepentingan politis.
Bowen (1986) mengidentifikasi ada tiga modal sosial yang berlaku di masyarakat Indonesia, yakni koperasi, musyawarah, dan gotong royong. Ketiga modal sosial tersebut setidaknya dikenal sebagai warisan nenek moyang; masih dijaga dan dipertahankan oleh masyarakat Indonesia.
Lebih khusus lagi, tindakan resiprokal dan kolektif dalam gotong royong dapat dikelompokkan dalam tiga bentuk kegiatan (Bowen, 1986): Pertama, pertukaran tenaga kerja. Kedua, tindakan resiprokal. Ketiga, mobilisasi massa dapat digunakan untuk kepentingan politis.
Namun tantangan untuk menjaga modal sosial gotong royong
semakin kuat terutama dengan adanya modernisasi. Kawasan perdesaan sebagai
tempat terakhir dimana modal sosial masih kuat juga tidak luput dari gempuran
modernisasi.
Tim peneliti Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang mengadakan
penelitian di Desa Olak Alen, Kabupaten Blitar, Jawa Timur.
Desa ini berjarak sekitar satu jam perjalanan ke arah selatan dari Kota Malang. Dari Kota Malang, perjalanan ke selatan menuju arah Kota Blitar. Lewati Kepanjen dan Waduk Lahor. Desa ini terletak tepat di batas Waduk Lahor di wilayah Kabupaten Blitar. Balai desa terletak hanya 300 meter dari jalan utama.
Desa ini berjarak sekitar satu jam perjalanan ke arah selatan dari Kota Malang. Dari Kota Malang, perjalanan ke selatan menuju arah Kota Blitar. Lewati Kepanjen dan Waduk Lahor. Desa ini terletak tepat di batas Waduk Lahor di wilayah Kabupaten Blitar. Balai desa terletak hanya 300 meter dari jalan utama.
Profil ekonomi Desa Olak Alen adalah pertanian dengan
komoditas utama padi dan jagung. Warga yang juga memiliki hewan ternak. Para petani
mendapatkan penghasilan yang berfluktuatif, biasanya 3 sampai 4 kali per tahun.
Untuk menambah penghasilan, sebagian dari mereka berprofesi lain sebagai supir,
pekerja bangunan, dan tukang becak.
Di masa lalu,
gotong royong sangat terasa di desa ini. Tidak hanya di lingkup sosial tapi
juga di ekonomi. Gotong royong diarahkan untuk mengatasi keterbatasan
infrastruktur seperti perbaikan jalan dan irigasi.
Dalam bidang ekonomi, gotong royong ditandai dengan meminta bantuan untuk mengerjakan lahan, dengan ‘upah’ yang sangat kecil atau bahkan tanpa bayaran. Sebagai balasan, kelak si empunya lahan juga akan bersedia membantu warga yang lain yang membutuhkan bantuan tenaga kerja.
Dalam bidang ekonomi, gotong royong ditandai dengan meminta bantuan untuk mengerjakan lahan, dengan ‘upah’ yang sangat kecil atau bahkan tanpa bayaran. Sebagai balasan, kelak si empunya lahan juga akan bersedia membantu warga yang lain yang membutuhkan bantuan tenaga kerja.
Situasi berubah
pasca kriris ekonomi 1997/1998. Pengangguran yang tinggi membuat kebanyakan
orang menjadi lebih berorientasi pada materi. Hampir segala tindakan kini berdasarkan
pada pengupahan.
Kondisi ini juga dipengaruhi dengan adanya mobilisasi keluar. Masyarakat yang merantau ke luar desa biasanya adalah usia produktif. Maka hanya tersisa lebih sedikit pekerja di desa.
Kondisi ketimpangan juga berpengaruh. Keluarga-keluarga kaya biasanya sangat ekspansif dalam memperbesar usaha mereka. Keluarga-keluarga miskin biasanya berujung pada menjual lahan milik mereka, menjadikan mereka sebagai pekerja upahan.
Situasi ini berlanjut pada pola investasi yang mereka miliki. Dengan kemampuan finansial lebih baik, keluarga kaya mampu berinvestasi di tanah, ternak, dan perhiasan, sementara mereka yang tergolong keluarga miskin tidak mampu berbuat banyak.
Sementara itu, transformasi agraria tampaknya hanya mampu dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat saja. Mereka yang tidak mampu beradaptasi justru tidak mendapat keuntungan dari kemjuan ini.
Terlebih lagi, mereka biasanya juga akan menarik diri dari pergaulan sosial karena rasa minder dan justru menjadi faktor pendorong pudarnya gotong royong.
Kondisi ini juga dipengaruhi dengan adanya mobilisasi keluar. Masyarakat yang merantau ke luar desa biasanya adalah usia produktif. Maka hanya tersisa lebih sedikit pekerja di desa.
Kondisi ketimpangan juga berpengaruh. Keluarga-keluarga kaya biasanya sangat ekspansif dalam memperbesar usaha mereka. Keluarga-keluarga miskin biasanya berujung pada menjual lahan milik mereka, menjadikan mereka sebagai pekerja upahan.
Situasi ini berlanjut pada pola investasi yang mereka miliki. Dengan kemampuan finansial lebih baik, keluarga kaya mampu berinvestasi di tanah, ternak, dan perhiasan, sementara mereka yang tergolong keluarga miskin tidak mampu berbuat banyak.
Sementara itu, transformasi agraria tampaknya hanya mampu dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat saja. Mereka yang tidak mampu beradaptasi justru tidak mendapat keuntungan dari kemjuan ini.
Terlebih lagi, mereka biasanya juga akan menarik diri dari pergaulan sosial karena rasa minder dan justru menjadi faktor pendorong pudarnya gotong royong.
== update 20
November 2018 ==
Laporan hasil ini juga dipresentasikan di International Research
Conference on Economics and Business, Malang, 21-22 Oktober 2018. Link
(Thomas Soseco)