Siparti 3-S dan Triple Helix di Kabupaten Lumajang

Seiring dengan otonomi daerah, maka tiap daerah dituntut untuk memiliki inisiatif membangun daerahnya sendiri. Maka, pembangunan harus didasarkan pada sumber daya yang tersedia di tempat tersebut (locally available) dengan mendayagunakan sumber daya yang ada (local resources).

Dalam melaksanakan pembangunan ekonomi daerah, terdapat dua strategi yang dapat ditempuh, yakni Siparti 3-S dan triple helix.

Siparti 3-S adalah tindakan sinergis tiga sumber daya utama dalam membentuk suatu institusi yang dapat mengorganisir dan mengatur diri mereka sendiri dalam konteks memperkuat keunggulan lokal (Witjaksono, 2014). Ketiga sumber daya tersebut adalah sumber daya manusia, sumber daya sosial dan budaya, serta sumbe daya alam.

Ketiga aspek tersebut akan saling berinteraksi yang pada akhirnya dapat diarahkan untuk memperkuat keunggulan daerah.


Gambar 1. Siparti 3-S dalam Memperkuat Keunggulan Lokal. Sumber Witjaksono (2014)

Sementara itu konsep triple helix merupakan strategi bagi perguruan tinggi, industry, dan pemerintah untuk bekerja bersama dan mempromosikan inovasi dalam kontribusinya ke pertumbuhan ekonomi (Witjaksono, 2014).


Gambar 2. Sinergi Pemerintah-Universitas-Industri dalam Triple Helix. Sumber Witjaksono (2014)

Kedua strategi tersebut merupakan gagasan utama yang ditawarkan oleh Tim Peneliti Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang dalam kegiatan penelitian di Desa Kedungrejo, Kecamatan Rowokangkung, Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur.

Desa ini berjarak sekitar 15 km dari pusat kota Lumajang, menuju ke arah Kabupaten Jember. Desa ini merupakan penghasil hasil pertanian, dengan komoditas utama padi, jagung, singkong, kentang, kacang, dan kedelai, termasuk juga produk buah dan sayur seperti papaya, jeruk keprok, nangka, pisang, rambutan, dan alpukat.

Ada juga peternak ikan, biasanya lele, gurami, nila, dan mujair. Pada umumnya petani hanya membesarkan ikan saja; membeli bibit, membesarkan, kemudian menjualnya.

Terdapat dua masalah utama di kalangan petani berkaitan dengan hasil pertaniannya.

Pertama, mereka tidak memiliki jalur pemasaran hasil-hasil pertaniannya.

Secara lokasi desa ini strategis, tidak jauh dari jalan utama antar kabupaten, serta kondisi jalan baik. Namun demikian, para petani justru menunggu datangya pedagang untuk membeli hasil panen mereka.

Kedua, petani biasanya menjual produk berupa hasil panen langsung.

Mereka tidak mampu melakukan pengolahan untuk menaikkan harga jual. Sementara itu, ada juga temuan dari peternak ikan menunjukkan masalah klasik keterbatasan modal. Hasil penjualan dari panen biasanya langsung dibelanjakan untuk membeli bibit, dan seterusnya. Selain itu, adanya ketergantungan pada pakan ikan membuat para peternak selalu tergantung soal pasokan dan harga pada pabrik.

Setelah melakukan FGD dan identifikasi masalah, tim menemukan tiga hambatan terbesar dalam peningkatan ekonomi masyarakat di Desa Kedungrejo.

Pertama, informasi yang tidak simetris (asymmetric information).

Kebanyakan petani tidak mampu mengakses informasi pasar, membuat mereka cenderung pasrah menerima harga-harga yang ditawarkan pedagang.

Kedua, disparitas besar antar warga/ petani di desa tersebut. Para petani yang kaya lebih mampu menghadapi fluktuasi musim, ancaman penyakit, waktu tunggu panen, serta naik-turunnya harga hasil pertanian. Sementara mereka yang lebih miskin lebih rentan secara finansial.

Ketiga, lemahnya manajemen hasil pertanian.

Pertanian dipandang sebagai warisan leluhur, termasuk di dalamnya adalah cara menanam, perawatan, cara pengolahan, termasuk manajemen upah dan tenaga kerja. Dampaknya, petani sulit meningkatkan pendapatan mereka sendiri.

Dalam kaitanya dengan strategi Siparti 3-S, terdapat tiga modal dasar untuk pembangunan yang telah dimiliki oleh Desa Kedungrejo.

Pertama, sumber daya manusia.

Banyaknya jumlah anak muda diharapkan mampu membawa perubahan, termasuk kedekatan mereka dengan teknologi diharapkan berguna untuk mengatasi informasi yang asimetris.

Kedua, dari perspektif sumber daya alam desa ini sangat subur.

Ketiga, dari aspek sosial dan budaya, masyarakat desa ini memiliki modal sosial yang kuat.

Dalam keterkaitannya dengan Triple Helix, beberapa temuan adalah:

Pertama, keterbatasan warga mengatasi kondisi alam, seperti tidak menentunya aliran air di musim hukan dan kemarau.

Kedua, pemerintah lokal juga memiliki andil dalam peningkatan kesejahteraan warganya.

Ketiga, adanya sinergi beberapa industri atau tempat usaha di Desa Kedungrejo.


== Update 1 Juli 2017 ==

Hasil penelitian ini dipublikasikan di International Journal of Economics and Financial Issues dan dapat diunduh di sini.

(Thomas Soseco)


Popular posts from this blog

Skewness dan Kurtosis

Innovation-Driven Economic Development for Inclusive Well-being: Assessing Household Resilience to Economic Shocks

IFLS: Mencari Variabel

"The Role of Microeconomics and Macroeconomics in Development"

Piramida Distribusi Kekayaan Masyarakat Indonesia

Pelayanan Publik Gratis atau Berbayar?

KKN di Desa Penari