Masyarakat Harus Sehat

Media Indonesia, 19 November 2012

Tujuan implementasi kartu Jakarta Sehat adalah memberi kemudahan pelayanan kesehatan bagi seluruh warga DKI Jakarta. Dengan adanya kartu ini, penduduk hanya perlu membawanya untuk dapat mengakses layanan kesehatan di DKI Jakarta secara gratis. Kelak, semua penduduk DKI Jakarta akan mempunyai kartu ini untuk dapat mengakses layanan kesehatan di DKI Jakarta.

Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan.

Pertama, dari sisi sistem, kartu Jakarta Sehat adalah mubazir. Basis data yang dipakai adalah data kependudukan yang diselenggarakan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta. Basis data yang digunakan adalah sama dengan data untuk Kartu Tanda Penduduk (KTP). 

Maka, seharusnya KTP DKI Jakarta memiliki fungsi yang sama dengan kartu Jakarta Sehat. Jokowi sendiripun berpesan, warga yang belum menerima kartu Jakarta Sehat dapat menggunakan KTP dan Kartu Keluarga (KK) DKI Jakarta untuk berobat.

Kedua, kartu Jakarta Sehat tidak memiliki fungsi diskriminasi harga—satu harga untuk semua layanan. Padahal, sebuah layanan hendaknya dipilah berdasarkan kelas konsumen yang disasar, apakah berpendapatan rendah, menengah atau tinggi. 

Semakin tinggi penghasilan seseorang, semakin tinggi pangkat dan jabatan, maka ia ingin diperlakukan seperti orang penting. Ia tidak akan mau diperlakukan sama dengan masyarakat yang kondisi ekonominya berada dibawahnya. Ini juga berlaku untuk layanan kesehatan. 

Masyarakat kelas menengah dan atas ibukota rata – rata sudah memiliki asuransi kesehatan sendiri, baik yang diselenggarakan perusahaan asuransi ataupun ditanggung oleh tempat kerja.

Perihal fasilitas dan layanan, tentu berbeda perlakuan antara buruh dan direksi. Direksi, jika tidak terpaksa, tidak akan menggunakan layanan yang standar buruh. 

Maka, jika seperti itu, kartu Jakarta Sehat hendaknya berganti nama saja menjadi kartu Warga Miskin Jakarta Sehat.

Ketiga, kartu Jakarta Sehat seolah merangsang warga Jakarta untuk rajin menggunakan kartu tersebut. Ini artinya sama dengan membolehkan mereka untuk sakit. Jika warga DKI Jakarta “rajin” sakit, berapapun besar anggaran kesehatan tidak akan pernah cukup. 

Kita harus berpegang ke pepatah lama: Mencegah lebih baik daripada mengobati. Pemerintah provinsi harus membuat masyarakat hidup sehat, dan bukan sekedar memudahkan mereka untuk berobat kala sakit. 

Karena sakit membutuhkan banyak biaya. Tak peduli warga miskin atau bukan miskin, kala sakit setidaknya mereka mengeluarkan dua jenis biaya yakni: 

Pertama, biaya kesehatan yang meliputi biaya konsultasi ke dokter, ongkos transportasi ke layanan kesehatan, biaya obat, biaya operasi dan biaya rawat inap. 

Kedua, biaya peluang (opportunity cost) seperti hilangnya peluang mendapatkan penghasilan, hilangnya peluang untuk mendapatkan posisi penting di kantor, hilangnya waktu untuk berkumpul bersama keluarga serta hilangnya peluang untuk berprestasi. 

Maka, apa insentif bagi warga pemegang kartu Jakarta Sehat, jika ia tidak menggunakan kartunya dalam jangka waktu tertentu? Akankah ia akan mendapat bonus atau bantuan sembako atau pengurangan pajak? 

Gunakan prinsip perusahaan asuransi: jika konsumen tidak mengklaim asuransinya dalam jangka waktu tertentu, maka ia berhak mendapat reward atau bonus tertentu. Asuransi kesehatan memang penting, tapi lebih penting lagi jika kita tetap sehat.

Terlepas dari ketiga catatan di atas, kita patut mengapresiasi langkah gubernur dan wakil gubernur baru di Jakarta ini. Sebuah langkah nyata di tengah buramnya sistem layanan kesehatan terintegrasi di negeri ini.

(Thomas Soseco)


Popular posts from this blog

Skewness dan Kurtosis

Piramida Distribusi Kekayaan Masyarakat Indonesia

Palma Ratio Indonesia

KKN di Desa Penari

Daya Beli Masyarakat, in this Economy: Dunia Usaha dan Perspektif Ekonomi Makro

Berapa Rata-Rata Kekayaan Rumah Tangga di Indonesia?

Robustness Check