Childfree, DINK, dan Standar Hidup
Publikasi UNFP (2025) mengangkat isu penting tentang fertilitas. Secara lebih spesifik, tertulis millions of people around the world are unable to have the number of children they want – whether they want more, fewer, or none at all.
Hal ini berarti ada kekuatan besar yang mempengaruhi keputusan pasangan untuk memiliki anak, tidak memiliki anak, atau mengatur berapa jumlah anak yang diinginkan.
Kondisi ekonomi menjadi isu utama karena banyak pasangan yang mulai sadar bahwa memiliki anak bukan sekedar mampu memberi makan saja namun berimplikasi pada penyediaan biaya pendidikan, rumah yang layak, sampai pada kesanggupan untuk mengajak piknik.
Bahkan DINK (dual income, no kids) menjadi pilihan gaya hidup.
Argumen banyak anak banyak rejeki juga menjadi tidak relevan untuk kasus ini.
Satu hal yang menarik, mengutip BKKBN pada berita Kompas (03/07), pasangan yang memilih childree lebih banyak ditemukan di Jawa daripada di Luar Jawa. Hal ini secara implisit menunjukkan tekanan ekonomi bagi pasangan di Jawa lebih tinggi daripada di Luar Jawa atau mengindikasikan upaya untuk mencapai standar hidup tinggi di Jawa lebih butuh perjuangan daripada di Luar Jawa.
Penentuan standar hidup dapat menggunakan indikator moneter untuk memudahkan perhitungan.
Semakin tinggi pendapatan seseorang maka orang tersebut dianggap memiliki standar hidup lebih tinggi daripada orang lain yang memiliki standar hidup lebih rendah.
Maka, berapa pendapatan yang dibutuhkan seseorang agar ia dapat dimasukkan ke dalam kelompok rata-rata?
Pendapatan Per Kapita
Perbandingan pendapatan per kapita antar negara menunjukkan Indonesia berada di lapis bawah dibanding negara-negara lain di Asia Tenggara.
Data Bank Dunia menunjukkan pada tahun 2024, Indonesia memiliki pendapatan per kapita USD 4.925 per tahun. Jauh lebih rendah dibanding Thailand (USD7,345), Malaysia (USD11.867), apalagi Singapura (USD90.674).
Jika dikonversi menjadi Rupiah, pendapatan per kapita Indonesia ekuivalen Rp.78.800.000 (kurs USD1=Rp.16.000). Jika dibuat dalam perhitungan per bulan, maka didapat angka Rp.6.566.000 per bulan.
Berarti untuk dapat dikelompokkan ke dalam kelas rata-rata, seseorang harus memiliki pendapatan per kapita Rp.6.566.000 per bulan.
Jika ia memiliki pendapatan di bawah nominal di atas maka ia dikategorikan sebagai di bawah rata-rata. Sebaliknya, jika ia memiliki pendapatan di atas nilai tersebut, maka ia digolongkan sebagai di atas rata-rata.
Penyesuaian perhitungan diperlukan untuk ruang lingkup rumah tangga.
Perhitungan yang paling mudah adalah dengan mengalikan nominal pendapatan per kapita dengan jumlah anggota keluarga.
Maka, untuk dapat membuat satu keluarga dengan tiga anggota keluarga (misalnya ayah, ibu, dan anak) dikelompokkan menjadi dalam kelompok pendapatan rata-rata, keluarga tersebut harus punya pendapatan minimal Rp.6.566.000 x 3 = Rp.19.698.000 per bulan.
Alternatif perhitungan lain adalah berdasarkan pendapatan dibagi ekuivalen jumlah anggota keluarga. Hal ini karena anggota keluarga dapat berbagi fasilitas yang ada di keluarga tersebut sehingga peningkatan kebutuhan setiap anggota keluarga tidak serta merta membutuhkan peningkatan pendapatan yang linear untuk setiap anggota keluarga.
Karena setiap anggota keluarga adalah entitas yang utuh, mereka bisa berbagi kenaikan konsumsi barang dan jasa yang dibeli.
Pendapatan yang dibutuhkan untuk rumah tangga tersebut adalah pendapatan per kapita dikalikan dengan jumlah anggota keluarga kuadrat 0,5.
Di sini terlihat, peningkatan jumlah anggota keluarga dari satu menjadi dua orang tidak serta merta membutuhkan pendapatan dua kali lipat. Atau keluarga dengan empat anggota keluarga tidak membutuhkan pendapatan dua kali lipat dari keluarga lain dengan dua anggota keluarga.
Namun perlu diwaspadai bahwa penambahan jumlah anggota keluarga (misalnya dengan kehadiran anak) tidak serta merta mendorong peningkatan pendapatan rumah tangga tersebut.
Jikapun pendapatan keluarga tersebut meningkat, perlu ditelusuri juga seberapa besar peningkatan tersebut dan apakah peningkatan pendapatan tersebut tetap mampu menjaga rumah tangga tersebut agar tidak turun kelas (misalnya dari rumah tangga di atas kelompok rata-rata menjadi rumah tangga di bawah kelompok nilai rata-rata).
Kondisi lebih ekstrim lagi adalah keluarga yang berada di bawah nilai rata-rata. Penambahan jumlah anggota keluarga belum tentu secara otomatis mendorong keluarga tersebut memiliki pendapatan di atas nilai rata-rata. Justru yang terjadi bisa jadi mendorong keluarga tersebut tetap berada di bawah nilai rata-rata.
Penutup
Orientasi rumah tangga hendaknya pada peningkatan kualitas hidup. Hal ini dapat dicapai melalui membatasi pertambahan jumlah anggota keluarga karena pertambahan jumlah anggota keluarga tidak serta merta akan meningkatkan standar hidup.
Maka, argumen banyak anak banyak rejeki tadi hendaknya dapat lebih dispesifikkan tertuju ke kelompok yang mana: apakah yang berada di atas rata-rata standar hidup atau di bawah nilai rata-rata standar hidup? Ataukah tertuju kepada populasi di daerah-daerah dengan tekanan ekonom tinggi atau daerah-daerah dengan tekanan ekonomi rendah? (TS)
![]() |
Referensi:
https://www.unfpa.org/swp2025
https://nasional.kompas.com/read/2025/07/03/16104021/bkkbn-sebut-pasangan-pilih-childfree-karena-alasan-ekonomi-bukan-tak-ingin