Nilai Tambah Jasa Perparkiran

Penciptaan nilai tambah (value added) atas suatu komoditas yang ditawarkan, baik barang dan jasa diperlukan untuk mencapai kepuasan konsumen yang lebih tinggi, mencapai pangsa pasar lebih luas, dan meningkatkan loyalitas konsumen.

Jika tukang parkir adalah pihak produsen, maka sudah sejauh mana ia memberi nilai tambah bagi layanannya?

Sampai saat ini, semakin banyak keluhan masyarakat atas profesi tukang parkir.

Berbagai Keluhan

Tukang parkir seperti hantu, tidak ada saat pengendara datang namun tiba-tiba muncul saat pengendara mau pergi. 

Tukang parkir juga dikeluhan tidak memberi layanan semestinya seperti tidak memberikan karcis, menarik tarif di atas peraturan, atau tidak membantu merapikan kendaraan serta membantu pengendara. 

Lebih jauh lagi, kekecewaan pelanggan seperti terungkap berikut:

Kenapa semua tempat sekarang ada tukang parkirnya. 

Kenapa berhenti sebentar saja kena parkir. 

Kenapa duduk di jok motor menunggu teman berbelanja juga kena parkir.

Bahkan satu artikel di mojok.co mengeluhkan parkir juga bisa mematikan usaha kecil.

Sumber: mojok.co

Fenomena ini menjadi realita bangsa yang harus dicari solusinya. 

Bagaimana bisa menjadi negara maju jika mengurus perparkiran saja belum beres.

Menelisik Keruwetan Jasa Parkir 

Tarif parkir diperlukan untuk mengontrol permintaan dan penawaran atas ruang parkir umum. 

Ruang parkir umum adalah area publik, ditandai dengan tidak adanya hak kepemilikan atas ruang parkir tersebut. 

Yang ada adalah hak penggunaan untuk jangka waktu tertentu. Hal ini ditandai dengan bukti sewa (berupa karcis parkir) atau bukti parkir berlangganan.

Karena sifatnya sebagai barang publik, maka seseorang harus berkompetisi untuk mendapatkannya.

Seseorang yang mendapatkan ruang parkir tersebut akan mengalami better off (peningkatan kesejahteraan/manfaat). Sementara orang lain yang tidak mendapatkan ruang pakir akan mengalami kondisi worse off

Penetapan tarif parkir juga akan menjadi disinsentif bagi pengendara. Ia akan membandingkan seberapa besar benefit (keuntungan) yang bisa didapat karena mendapat layanan, misalnya dari belanja, atau mengurus sesuatu, dibandingkan dengan cost (biaya) berupa tarif parkir yang harus ia bayar. 

Sampai saat ia merasa benefit yang didapat lebih kecil daripada cost yang harus dikeluarkan, maka ia tidak akan parkir di situ lagi. 

Ini yang menjelaskan kenapa parkir di depan penjual dengan karakteristik komoditas yang memiliki banyak substitusi dan berharga murah (misalnya pedagang eceran, warung nasi, atau tempat fotokopi) akan menjadi counterproductive.

Namun saat benefit yang didapat lebih tinggi dari cost, pengendara akan tetap berusaha parkir di tempat tersebut.

Untuk mengatasi kelebihan permintaan dan pemerataan akses barang publik tersebut pengelola (pemerintah dan swasta) juga dapat menetapkan tarif parkir mahal dan tarif progresif.

Tarif mahal membuat orang berpikir dua kali untuk membawa kendaraan dan parkir di tempat tersebut. Sementara tarif parkir progresif membuat pengguna tidak berlama-lama parkir di tempat itu. 

Berarti, ada dua hal yang harus dibedakan:

Pertama, sewa atas ruang parkir. 

Kedua, jasa atas bantuan bagi pengendara di atas. Petugas parkir diperlukan untuk mengatur arus kendaraan, membantu pengendara parkir di ruang yang tersedia, serta membantu mengawasi keamanan.

Sewa atas ruang parkir biasanya juga meliputi jasa atas bantuan tersebut. 

Berarti saat sudah bayar sewa, maka tidak perlu lagi bayar jasa. 

Pemisahan ini banyak ditemui di parkiran off street seperti pusat perbelanjaan, gedung perkantoran, dan apartemen. Pengendara yang memasuki area tersebut, langsung dikenai tarif parkir, dipungut oleh petugas khusus. Sementara petugas lain memberi jasa atas layanan membantu pengendara.

Di sisi lain, pada parkir on street, petugas parkir adalah orang yang memungut sewa ruang parkir dan sekaligus memberi layanan bagi pengendara. 

Di sinilah menjadi pangkal keruwetan masalah perpakiran.

Negara Maju

Negara maju juga memiliki konsep sewa lahan parkir, baik on street maupun off street

Namun yang absen di sini adalah petugas parkir. 

Ada setidaknya tiga penyebab kenapa tidak ada petugas parkir. Atau kalaupun ada, dengan kehadiran yang sangat minim. 

Pertama, mekanisasi pembayaran, berupa mesin dan pembayaran nontunai. Hal ini menghilangkan kebutuhan akan tenaga manusia.

Kedua, upah tenaga kerja tinggi sehingga efisiensi kinerja perusahaan tercapai dengan cara menekan biaya-biaya termasuk meminimalisir jumlah pekerja. 

Ketiga, penegakan hukum yang adil. Meski ada potensi kecurangan saat ada orang tidak bayar parkir, atau parkir melebihi jam yang ditentukan, namun penegakan hukum (dengan ancaman denda yang bisa berpuluh kali lipat dari tarif parkir) akan membuat pengguna akan berusaha tertib.

Pengaturan Pakir di Indonesia, mulai dari mana?

Pengaturan parkir di Indonesia diperlukan untuk mendukung Indonesia menjadi negara maju. 

Kita bisa memperbaikinya dimulai dari aspek yang pertama yakni legalisasi lahan parkir. 

Hal ini penting agar jelas kemana uang sewa tersebut akan mengalir. 

Maka, pihak terkait perlu menyisir kawasan yang dijadikan lahan parkir namun tarif parkir tidak pernah masuk ke kantong pemerintah. 

Dengan uang parkir yang tercatat jelas, pengelola bisa memberikan nilai tambah. Seperti garis dan marka yang jelas, area parkir rapi dan bersih, atau lampu yang terang dan dalam pengawasan kamera keamanan.  

Kedua, pemisahan jelas antara sewa dan jasa layanan parkir. 

Maka, saat pengelola menggratiskan sewa lahan parkir bagi penggunanya, pengendara sejatinya tidak perlu membayar biaya parkir kepada orang yang memberikan bantuan bagi pengendara. Kalaupun bayar, seharusnya berupa tips. 

Kedua, memimalisir persentuhan petugas parkir dengan pengguna. Maka teknologi dan upaya mekanisasi menjadi penting dan tidak terelakkan.

Fokus perlu diarahkan untuk pengelolaan parkir on street dimana petugas parkir pemberi layanan bagi pengendara adalah juga sebagai pemungut tarif parkir. 

Potensi kebocoran menjadi sangat besar. Termasuk juga potensi kelalaian saat petugas hanya memungut tarif tanpa memberi layanan.  

Ketiga, secara lebih luas, perlu upaya pemerintah agar membuat warganya tidak hanya bisa menjadi tukang parkir. 

Logika yang perlu dibentuk adalah: kenapa harus menjadi tukang parkir sementara masih banyak lapangan pekerjaan terbuka luas? Atau jangan-jangan lapangan pekerjaan sempit. Atau jangan-jangan masyarakat harus bersaing sengit untuk mendapat pekerjaan. 

Maka, mengontrol laju pertambahan penduduk menjadi hal penting. Maka menunda usia menikah dan membatasi kelahiran menjadi penting karena sebanyak apapun lapangan pekerjaan namun saat jumlah penduduk menjadi sangat banyak dan tidak terkontrol, maka mereka harus bersaing ketat untuk mencari pekerjaan.

Di sisi lain, saat orang yang sudah memiliki pekerjaan (baca: menjadi tukang parkir), mereka akan sekuat tenaga mempertahankan posisi mereka agar tidak tergeser oleh pihak lain tanpa ada upaya untuk memberikan nilai tambah bagi profesi yang dijalani. 

Penutup

Jasa perparkiran juga seharusnya dapat diarahkan untuk mendukung pembentukan nilai tambah. 

Hal ini untuk mencapai kepuasan konsumen akan barang publik yang lebih tinggi dan mendukung kemajuan Indonesia.

Popular posts from this blog

Skewness dan Kurtosis

Bodoh (?)

Siapa yang Menikmati Kenaikan Pendapatan Terbesar di Musim Mudik?

Piramida Distribusi Kekayaan Masyarakat Indonesia

IFLS: Mencari Variabel

KKN di Desa Penari

Peta Kemiskinan Kabupaten Malang