Meningkatkan Pendapatan dan Mengakumulasi Kekayaan

Kejadian selebritas tiktok memarahi siswa magang kemudian membuka mata netizen bahwa ia memiliki gaya hidup yang mempertontonkan kemewahan alias flexing.

Masa kini, flexing merupakan jalan pintas untuk mendapat popularitas atau untuk memperluas pergaulan. Dengan memperlihatkan kekayaan dan kemewahan, orang tersebut berusaha menunjukkan bahwa ia adalah pribadi yang bonafid yang memiliki standar hidup tinggi dimana uang bukan menjadi masalah. 

Hal ini dapat menjadi pertanda bahwa kekayaan bisa menjadi patokan standar hidup seseorang. 

Pada sisi yang lebih kelam, kekayaan bisa menjadi alat akumulasi pendapatan yang diterima tidak semestinya, seperti terlihat pada ilustrasi berikut.

Gambar 1. Harta yang paling Berharga adalah yang tidak Dilaporkan

Ilustrasi ini muncul seiring dengan pengungkapan kasus yang melibatkan pejabat publik, yang ternyata berdasarkan penyelidikan, banyak aset mereka yang tidak dilaporkan kepada negara. 
 
Kondisi ini memunculkan pertanyaan bagaimana sebenarnya peran kekayaan sebagai alat ukur kesejahteraan di masyarakat? Lebih lanjut, bagaimana kondisi distribusi kekayaan di Indonesia? 

Kekayaan sebagai Alat Ukur Kesejahteraan 

Dalam ilmu ekonomi, pengukuran kekayaan individu atau rumah tangga bisa menjadi alternatif pengukuran kesejahteraan selain menggunakan pengukuran pendapatan atau pengeluaran.

Pengukuran kekayaan individu atau rumah tangga berarti kita membandingkan seberapa banyak kekayaan yang dimiliki oleh mereka seperti nilai properti, kendaraan, perhiasan, ternak, ladang, tabungan, dan sebagainya. 

Semakin tinggi tingkat kekayaan berarti standar hidup semakin tinggi. Karena orang-orang dengan pendapatan tinggi biasanya punya kekayaan tinggi. Amat jarang orang yang punya tingkat kekayaan tinggi namun punya pendapatan rendah meski hal tersebut bisa terjadi, seperti pensiunan atau orang yang mendapat undian atau warisan.  

Bila dibandingkan dengan pengukuran pendapatan atau pengeluaran, pengukuran kesejahteraan dari aspek kekayaan memiliki beberapa kelebihan.

Pertama, kekayaan bisa diwariskan. Orang tua yang kaya biasanya akan memiliki anak-anak yang kaya juga.

Kedua, kekayaan berfungsi sebagai pelindung nilai untuk mengatasi fluktuasi pendapatan. Saat pendapatan seseorang sedang rendah atau nol, misalnya karena krisis ekonomi atau kehilangan pekerjaan, ia bisa  mengkonversikan kekayaan (baca: dijual, digadaikan) menjadi uang tunai yang digunakan untuk membiayai pengeluaran.

Ketiga, kekayaan memberi manfaat guna bagi pemiliknya. Berbagai jenis aset tertentu seperti properti, kendaraan, atau barang seni memiliki fungsi ganda yakni memberikan fungsi manfaat atau kenikmatan bagi pemiliknya. 

Distribusi Kekayaan di Indonesia

Distribusi kekayaan di Indonesia pada tahun 2022 menunjukkan Indonesia dalam posisi ketimpangan yang parah, diukur dari nilai Gini Rasio (Gambar 2).
  
Gini Rasio memiliki nilai antara 0 dan 1 dimana semakin mendekati 1 berarti kondisi ketimpangan semakin parah dan semakin mendekati 0 menunjukkan distribusi yang semakin merata.

Gambar 2. Distribusi Kekayaan Negara-negara di ASEAN, 2022

Pada tahun 2022, Indonesia memiliki Gini Rasio distribusi kekayaan sebesar 0,782. Angka ini lebih tinggi dari Thailand (0,771) dan Myanmar (0,68). Angka Gini Rasio Indonesia lebih rendah daripada Brunei (0,897), Laos (0,883), dan Filipina (0,873). Nilai Gini Rasio Indonesia kurang lebih sama dengan Kamboja (0,782) dan Singapura (0,788).
 
Pengamatan antar kelas memberi cerita lebih dalam daripada Gini Rasio. 

Kita bisa membagi kelas-kelas di masyarakat berdasarkan kekayaan yang mereka miliki. Bersumber pada data di atas, kita bisa membagi penduduk dewasa di sebuah negara ke dalam empat kelas berikut:

Kelompok terkaya, yakni mereka yang memiliki kekayaan lebih dari $1 juta.
Kelompok kaya, yaitu mereka yang memiliki kekayaan $100.000-$1 juta.
Kelompok cukup kaya atau menengah, yaitu mereka yang memiliki kekayaan antara $10.000-$100.000.
Kelompok tidak kaya atau miskin, yakni mereka yang memiliki kekayaan di bawah $10.000.

Ini semua adalah perhitungan individu dewasa. Jadi, sebuah keluarga dengan suami, istri, dan anak yang masih balita membutuhkan akumulasi kekayaan sebesar setidaknya $2 juta atau setara dengan Rp.30 miliar (karena ada dua individu dewasa di rumah tangga tersebut) untuk dapat masuk sebagai kelompok terkaya.  

Gambar 2 menunjukkan dari struktur kepemilikan kekayaan, hanya 0,1% penduduk dewasa Indonesia yang masuk ke dalam kelompok terkaya, yaitu yang memiliki kekayaan lebih dari $1 juta. Sementara mereka yang tidak kaya (di bawah $10.000) dan cukup kaya ($10.000-$100.000) memiliki proporsi paling banyak.

Situasi ini berkebalikan dengan Singapura dengan Gini Rasio tidak jauh berbeda (0,788). Kelompok terkaya (lebih dari $1juta) di Singapura mencapai 6,1% penduduk dewasa. Kemudian mereka yang kaya ($100.000-$1juta) dan cukup kaya ($10.000-$100.000) merupakan proporsi paling besar.

Kondisi lebih ekstrem lagi terjadi di Kamboja dimana dengan Gini Rasio 0,783, kekayaan di negeri ini terkonsentrasi di kelas yang tidak kaya (di bawah $10.000) dengan kontribusi paling besar mencapai 90,2%. Sementara mereka yang cukup kaya ($10.000-$100.000) dan kaya ($100.000-$1juta) memiliki proporsi yang jauh lebih kecil, yakni 9,1% dan 0,7%. Bahkan tercatat tidak ada atau sangat kecil proporsi penduduk dewasa yang sangat kaya (lebih dari $1juta). 

Pendapatan per kapita Singapura dan Kamboja memiliki perbedaan yang sangat jauh. Pada tahun 2022, pendapatan per kapita Singapura adalah $82.807 dan Kamboja adalah $1.786. Sementara pendapatan per kapita Indonesia adalah $4.788.

Implikasi atas hal ini adalah upaya untuk mencapai tingkat pendapatan per kapita tinggi harus diimbangi dengan upaya untuk mengakumulasi kekayaan dan mendistribusikan kekayaan secara merata, ditandai dengan semakin kecilnya proporsi masyarakat yang paling miskin, semakin munculnya kelas menengah, serta semakin banyaknya mereka yang tergolong sangat kaya. 

Bagaimana dengan Indonesia? 

Masih ada sekitar 66,8% penduduk dewasa di Indonesia yang memiliki kekayaan kurang dari $10.000 atau setara dengan Rp.150 juta.

Sebuah keluarga dengan suami, istri, dan anak yang masih balita akan tergolong tidak kaya jika akumulasi kekayaan mereka kurang dari $20.000 atau sekitar Rp.300 juta (karena hanya ada dua individu dewasa di rumah tangga tersebut).  

Maka, upaya meningkatkan pendapatan masyarakat harus juga diimbangi dengan upaya mengakumulasi kekayaan. 

Saat ada banyak orang yang sudah mencapai tingkat kekayaan tinggi, maka tidak akan ada lagi yang akan pamer kekayaan alias flexing. Karena buat apa pamer kekayaan karena semua orang juga sudah kaya. 

Referensi:
https://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.PCAP.CD?locations=KH
https://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.PCAP.CD?locations=SG
https://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.PCAP.CD?locations=ID

Popular posts from this blog

Skewness dan Kurtosis

Siapa yang Menikmati Kenaikan Pendapatan Terbesar di Musim Mudik?

KKN di Desa Penari

IFLS: Mencari Variabel

Piramida Distribusi Kekayaan Masyarakat Indonesia

Perkembangan Rata-rata Bulanan Kurs Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat

Panduan Penulisan Tugas Akhir