Hanke’s Annual Misery Index (HAMI)

Sumber: Forbes


Pengukuran kesejahteraan penduduk dari sisi non-moneter seperti misery atau tingkat kesengsaraan dapat menjadi alternatif pengukuran dari sisi lain selain pengukuran dari sisi moneter seperti pendapatan per kapita.

Kondisi penderitaan atau kesengsaraan atau kondisi tidak puas atas hidup saat ini tidak hanya menimpa orang-orang yang tanpa pekerjaan dan tanpa penghasilan namun juga bisa melanda orang-orang yang aktif bekerja. 

Pekerja tetap beraktivitas dan mendapat upah namun tagihan dan cicilan tetap banyak. Pekerja mendapat upah namun sulit menabung dan berinvestasi karena harga-harga selalu naik. Pekerja tetap bekerja di lingkungan kerja yang toxic dan tidak supportif karena ia tahu bila ia resign maka akan sulit mencari kerja. Akhirnya, ia tidak bisa menikmati hidup, tidak bisa jalan-jalan, tidak bisa healing, karena memang tidak banyak uang yang bisa disimpan.

Dalam bahasa Inggris, hal ini disebut misery. Cambridge Dictionary mendefinisikan misery sebagai great unhappiness: someone who is often very unhappy and is always complaining about things. 

Kita bisa membandingkan kondisi kesengsaraan antara negara sehingga bisa diketahui negara-negara yang paling sengsara. Lebih penting lagi, pengukuran yang konsisten antar negara membuat kita bisa tahu kontributor untuk kondisi melarat tersebut sehingga bisa segera dicari solusinya.

HAMI

Hanke’s Annual Misery Index (HAMI) mengukur misery atau kesengsaraan penduduk di sebuah negara. Indeks ini merupakan penjumlahan dari angka pengangguran (dikalikan dua), inflasi, dan tingkat suku bunga pinjaman, dikurangi persentase perubahan dalam PDB per kapita. 

Semakin tinggi angka indeks menunjukkan kondisi yang semakin buruk atau miserable atau sengsara. 

Indeks ini dikembangkan oleh Arthur Okun tahun 1960-an yang kala itu menjabat sebagai penasihat ekonomi Amerika Serikat. Mulanya, indeks ini dikembangkan untuk kepentingan Amerika untuk melihat kinerja rata-rata penduduk Amerika dalam hal ekonomi. Indeks ini terdiri dari penjumlahan angka inflasi dan tingkat pengangguran. 

Indeks ini kemudian dimodifikasi oleh Robert Barro, professor Harvard, pada tahun 1999 dengan memasukkan aspek pendapatan dari obligasi negara 30 tahun dan gap real dari PDB riil. 

Terakhir, pada tahun 2000-an Steve H. Hanke memodifikasi indeks ini dengan mengganti komponen output gap dengan persentase perubahan dalam PDB per kapita dan mengganti komponen obligasi negara 30 tahun dengan tingkat suku bunga pinjaman. Logikanya adalah semakin tinggi tingkat suku bunga pinjaman maka semakin banyak pinjaman yang harus dibayar oleh debitur, yang berarti semakin melarat debitur tersebut bila dibandingkan saat tingkat suku bunga pinjaman lebih rendah. 

Pada tahun 2022, Hanke mengubah lagi komponen angka indeks ini dengan menambah angka penimbang bagi komponen pengangguran. Hal ini berdasarkan argumentasi Andrew Oswald yang menyatakan misery index tidak hanya sesederhana penjumlahan berbagai elemen namun pengangguran harus mendapat weight lebih besar. Dengan demikian, HAMI memasukkan komponen angka pengangguran dikali dua. 

Pada tahun 2022, HAMI meliputi 157 negara. 



Skorn HAMI lebih tinggi berarti penduduk di negara tersebut lebih sengsara dibanding negara lain dengan skor lebih rendah. 

Indonesia berasa di posisi 108 di HAMI 2022 dengan skor 21,727. 

Skor Indonesia sebesar 21,727 ini lebih buruk dibanding beberapa negara tetangga sebagai berikut: 

- Filipina (Posisi 119, skor 19,552) 

- Singapura (Posisi 136, skor 15,986)

- Vietnam (Posisi 139 , skor 14,839)

- Thailand (Posisi 150, skor 10,219)

- Malaysia (Posisi 153, skor 9,075)

Malaysia juga termasuk ke dalam lima besar negara paling anti sengsara dengan Swiss sebagai pemuncak. Posisi lima besar adalah: 

- Swiss (Posisi 157, skor 8,518)

- Kuwait (Posisi, 156 skor 8,6)

- Irlandia (Posisi 155, skor 8,602)

- Jepang (Posisi 154 skor 9,071)

- Malaysia (Posisi 153, skor 9,075). 

Menariknya, posisi Indonesia masih lebih baik dari beberapa negara lain yang bahkan memiliki tingkat pendapatan per kapita lebih tinggi dari Indonesia seperti Selandia Baru (Posisi 104 skor 22,441), Italia (Posisi 92 skor 26,451), Spanyol (Posisi 90 skor 28,16), dan Swedia (Posisi 88 skor 29,198). 

Pengangguran

Aspek pengangguran, baik pengangguran terbuka (open unemployment), setengah pengangguran (underemployment), dan pengangguran terselubung (disguised unemployment), merupakan kontributor utama kesengsaraan di Indonesia. 

Pengangguran terbuka berarti seseorang tidak memiliki pekerjaan dalam kurun waktu tertentu. Setengah pengangguran berati ia bekerja di bawah jam kerja normal Sementara pengangguran terselubung berarti ia bekerja pada bidang yang tidak sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Untuk kondisi setengah pengangguran dan pengangguran terselubung, orang tersebut akan memiliki produktivitas kerja dan penghasilan rendah.

Pengangguran terbuka membuat seseorang akan terus menggerus tabungan atau menjual asetnya untuk bertahan hidup. 

Setengah pengangguran dan pengangguran terselubung berarti upah rendah yang membuat ia akan mendapat upah rendah, atau mendapat upah yang tidak sebanding jam kerja yang panjang dan risiko pekerjaan yang tinggi.

Kedua kondisi ini membuat situasi serba susah. Orang yang tidak punya pekerjaan akan desperate untuk mendapat pekerjaan; mau bekerja meski dibayar dengan upah lebih rendah sementara mereka yang sudah punya pekerjaan akan tetap terus bertahan karena ia tahu resign dan mencari pekerjaan baru juga bukan upaya mudah.

Kurangi Pressure 

Pemerintah harus mengurangi tekanan di dunia tenaga kerja agar permintaan (supply) tidak melebihi permintaan (demand) sehingga dapat mengatasi masalah pengangguran. Beberapa cara bisa dilakukan baik dari sisi penawaran maupun permintaan. 

Secara garis besar, intervensi dari sisi penawaran perlu peningkatan kualitas sumber daya manusia. Hal ini bisa dicapai dengan:

Pertama, mengontrol pertambahan populasi agar pertambahan jumlah penduduk bisa diantisipasi oleh lapangan kerja yang tersedia.

Kedua, mencegah agar anak muda tidak terlalu cepat masuk ke dunia tenaga kerja. Hal ini bisa dilakukan melalui memperpanjang usia sekolah dan mencegah pernikahan terlalu muda. 

Ketiga, membuat lebih banyak orang yang mampu meninggalkan dunia tenaga kerja secara sukarela seperti cuti berbayar, cuti melahirkan, atau cuti karena kecelakaan kerja, baik untuk pekerja sektor formal maupun informal.  

Keempat, mendorong pengiriman tenaga kerja ke luar negeri, tidak hanya pekerja kontrak musiman namun juga memperbesar peluang orang Indonesia untuk bermigrasi secara permanen di negara asing. 

Kelima, mengurangi ketimpangan akses ke dunia tenaga kerja, seperti dalam hal informasi, pengetahuan, jaringan, serta modal. Hanya orang-orang memiliki hal tersebut yang berpeluang masuk ke dunia tenaga kerja formal sementara mereka yang tidak memiliki berbagai aspek tersebut akan sulit bersaing dan akhirnya masuk ke sektor informal atau malah menganggur.

Dari sisi permintaan, perlu penguatan struktur ekonomi bangsa agar semakin banyak perusahaan dalam negeri yang bisa berkiprah di sektor formal. Sektor formal ini penting untuk mengimbangi pihak asing yang datang berinvestasi di Indonesia, yang juga sama-sama berbentuk badan hukum formal. 

Kedua, membuat produsen dalam negeri semakin memiliki daya saing untuk mampu memperluas pasar tidak hanya menjadi "jago kandang" namun juga ke luar negeri. 

Penutup

Penggunaan HAMI bukan berarti menihilkan peran ekonomi dalam perhitungan kesejahteraan di sebuah negara. Hal yang lebih penting adalah membuat sebuah negara lebih kaya secara ekonomi dan lebih tidak sengsara.  


Referensi:

https://www.nationalreview.com/2023/05/hankes-2022-misery-index/

https://www.forbes.com/sites/stevehanke/2018/02/28/hankes-annual-misery-index-the-worlds-saddest-and-happiest-countries/?sh=4009e7f46657


Popular posts from this blog

Skewness dan Kurtosis

Piramida Distribusi Kekayaan Masyarakat Indonesia

KKN di Desa Penari

Palma Ratio Indonesia

Daya Beli Masyarakat, in this Economy: Dunia Usaha dan Perspektif Ekonomi Makro

Generasi Hutang: Literasi Keuangan dan Kekayaan Rumah Tangga

Berapa Rata-Rata Kekayaan Rumah Tangga di Indonesia?