Pernikahan Dini dan Keputusan Penting dalam Hidupnya
Publikasi Pemerintah Kabupaten Ponorogo (14/01/2023) menampilkan 191 dispensasi nikah selama tahun 2022 di kabupaten ini. Angka ini lebih rendah dari tahun 2021 yang mencapai 266 dispensasi. Dispensasi kawin berarti pemohon meminta dispensasi karena usianya belum mencapai 19 tahun sebagai syarat legal menikah.
Mereka yang mengajukan dispensasi berarti juga menikah dini. Pernikahan dini adalah akad nikah yang dilangsungkan pada usia di bawah kesesuaian aturan yang berlaku. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.
Angka dispensasi nikah di Kabupaten Ponorogo ini jauh lebih rendah dibanding kabupaten/kota lain di Jawa Timur.
Pada tahun 2022, angka permohonan dispensasi perkawinan anak di Provinsi Jawa Timur merupakan yang tertinggi se-Indonesia, yaitu sebanyak 15.337 kasus atau 29,4 % kasus nasional, dengan 10 besar pengadilan agama dengan permohonan dispensasi terbanyak sebagai berikut:
1. Kabupaten Malang: 1.434
2. Kabupaten Jember: 1.357
3. Kabupaten Probolinggo: 1.136
4. Kabupaten Banyuwangi: 877
5. Kabupaten Lumajang: 856
6. Kabupaten Bondowoso: 718
7. Kabupaten Pasuruan: 708
8. Kabupaten Kediri: 569
9. Kabupaten Bojonegoro: 532
10. Kabupaten Tuban: 516
Beberapa pihak meyakini fenomena ini seperti gunung es yang berarti tingkat kejadian sebenarnya bisa jadi jauh lebih tinggi dari catatan pemerintah.
Berbagai studi menunjukkan pernikahan dini meningkatkan berbagai risiko bagi orang tersebut, baik dalam hal kesehatan fisik, mental, maupun pada aspek ketidaksiapan finansial yang semuanya bisa berujung pada cerai/pisah dan berpindahnya beban tanggungan ke orang tua yang menikahkan dini anaknya.
Dengan adanya berbagai risiko tersebut, kenapa masih ada orang tua yang tetap mengijinkan anaknya menikah dini?
Setiap jawaban akan bergantung pada perspektif atau sudut pandang orang tua tersebut. Jika mereka memberi penghargaan (nilai) yang tinggi akan si anak, mereka akan berusaha mendorong terciptanya kondisi anak yang lebih baik dengan generasi sebelumnya, ditandai dengan upaya agar si anak memiliki nilai tinggi peningkatan kompetensi diri (melalui pendidikan, merantau ke kota lain, atau tinggal dan bekerja di luar negeri) termasuk juga adalah menghindarkan si anak agar tidak menikah dini.
Hal ini juga bergantung pada persepsi orang tua terhadap tingkat pengembalian (return) si anak. Saat anak diharapkan mengambil alih urusan mencari nafkah atau mendorong si anak agar dapat membiayai adik-adiknya, bisa jadi si anak akan didorong agar segera mandiri dan keluar dari rumah, terutama melalui pernikahan dini.
Sebaliknya, jika orang tua memberi nilai tinggi pada si anak, mereka akan mendorong agar si anak terus menerus masuk dalam upaya peningkatan kompetensi diri dan mencegah terlibat dalam pernikahan dini.
Implikasinya, jika semua orang tua memberi nilai tinggi pada si anak, tingkat pernikahan dini akan semakin rendah. Semua orang memiliki kematangan untuk menikah. Dan yang paling penting, semua orang telah mengalami peningkatan kompetensi diri sebelum menikah.
Akan terjadi penurunan tingkat pertumbuhan penduduk, pelonggaran kompetisi untuk mendapatkan kerja, melunaknya persaingan untuk mendapatkan properti, atau berkurangnya persaingan untuk mendapatkan akses pendidikan, pangan, dan kesehatan.
Dalam skala lebih luas, saat angka pernikahan dini semakin berkurang. semua pihak akan better off atau menikmati kondisi yang lebih baik dari kondisi sebelumnya.
Childless Parents
Keputusan peningkatan kompetensi diri berarti juga peluang bagi orang tua untuk memilih tidak punya anak.
Bagi pasangan tipe ini, tidak punya anak bisa berarti peluang karir yang lebih tinggi, kenaikan status sosial ekonomi, atau mobilitas tenaga kerja lebih tinggi. Juga lebih mudah dan fleksibel untuk berpindah antar kota/negara atau bekerja di daerah pedalaman atau daerah konflik.
Capaian atau reward akan lebih tinggi daripada pasangan lain yang punya anak, apalagi punya anak banyak.
Tentu saja akan ada banyak pertentangan. Mereka yang kontra akan mendasari argumen mereka dengan hakikat penciptaan manusia, adat, norma, sampai logika kebutuhan pewarisan.
Namun satu faktor krusial perlu dipecahkan: pada usia berapa pasangan tersebut berhak mengambil keputusan untuk punya anak atau tidak punya anak, sementara keputusan punya anak adalah irreversible (tidak bisa dikembalikan ke kondisi semula)?
Apakah fair membandingkan keputusan untuk tidak memiliki anak pada pasangan yang sudah di usia 30-an dengan mereka yang masih berada di awal 20-an yang menggebu-gebu untuk punya anak?
Bukankah mereka yang berusia lebih tua dapat diartikan juga lebih dewasa, lebih matang dalam berpikir, memiliki pendidikan lebih tinggi, dan memiliki pengalaman lebih lama dibanding mereka yang berusia lebih muda?
Lebih penting lagi, bagaimana bisa mereka yang tidak memiliki kedewasaan tersebut bisa diharapkan secara matang dan dewasa mengambil keputusan penting dalam hidupnya, termasuk keputusan menikah dan punya anak?
Goldilocks Theory of Marriage
Teori ini menyatakan “Getting married too early is risky, but so is getting married too late. Your late 20s and early 30s are just right.”
Berdasarkan teori ini, usia ideal seseorang untuk menikah, dengan risiko paling rendah untuk cerai/pisah dalam lima tahun pertama pernikahan mereka, adalah 28 sampai 32 tahun. Usia ini dianggap usia yang tidak terlalu muda untuk menikah dan juga tidak terlalu tua.
Secara statistik, individual yang menikah di usia 25 tahun berpeluang 50% lebih rendah untuk cerai/pisah daripada individu lain yang menikah di usia 20 tahun.
Dari sudut pandang kesehatan mental, usia dewasa (maturity) tercapai di usia 25-30 tahun. Implikasinya, keputusan-keputusan penting dalam hidup (termasuk menikah) yang diambil sebelum usia 25 tahun dapat menjadi masalah saat perkembangan otak yang belum sepenuhnya matang.
Pada usia 20-an dan 30-an juga seseorang semakin berkembang dalam pendidikan, karir, dan pekerjaan sehingga urusan "cinta" menjadi "less idealistic".
Saat mencapai usia 30-an, seseorang juga tidak hanya semakin matang dalam urusan pendidikan dan karir namun juga urusan finansial.
Studi National Survey of Family Growth menemukan untuk setiap tambahan satu pernikahan yang terjadi sebelum usia 32 tahun akan menurunkan tingkat cerai/pisah sebesar 11%.
Sebaliknya, saat pernikahan terjadi setelah usia 32 tahun, setiap tambahan satu tahun pernikahan akan meningkatkan peluang cerai/pisah sebesar 5%.
Maka, jika pasangan yang menikah dini memiliki kemampuan yang lebih rendah untuk mengambil keputusan penting (seperti memutuskan punya anak) dibanding pasangan lain yang menikah di usia lebih dewasa, bagaimana kita bisa mengharapkan mereka yang menikah dini memiliki kompetensi lebih tinggi untuk mempertahankan rumah tangga, memberikan pola asuh terbaik bagi si anak, sama seperti mereka yang menikah di usia lebih dewasa?
Ketidakmampuan ini yang kemudian membuat mereka memiliki risiko lebih tinggi untuk cerai/pisah, memiliki anak dengan kompetensi rendah, atau bahkan membuat mereka masuk ke dalam perangkap lingkaran setan kemiskinan.
Maka, penting bagi setiap orang untuk dapat menghidari pernikahan dini dan lebih fokus pada hal-hal yang bisa menunjang kompetensi mereka. Hingga pada saatnya mereka mencapai usia ideal menikah (tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua), mereka telah memiliki cukup pengalaman hidup, pengetahuan, sehingga dapat lebih dewasa dalam mengambil berbagai keputusan hidup termasuk keputusan memiliki anak.
Penutup
Upaya menghindarkan pernikahan dini adalah upaya agar setiap individu memiliki kematangan cukup dalam pengambilan keputusan agar mampu membawa semua orang menjadi better off.
Catatan kaki:
Sebagian materi ini disampaikan pada international seminar “Human Capital and Economic Development” di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Malang pada 16 Maret 2023.
Referensi
https://ponorogo.go.id/2023/01/14/bedah-data-dan-fakta-191-kasus-pernikahan-dini-di-ponorogo-selama-setahun/
https://mnbride.com/expert-wedding-advice/what-right-age-get-married#:~:text=%E2%80%9CThe%20ideal%20age%20to%20get,Maple%20Clinic%20in%20Troy%2C%20Michigan.
https://ifstudies.org/blog/replicating-the-goldilocks-theory-of-marriage-and-divorce/
https://www.jatimhariini.co.id/jawa-timur/pr-8826660188/kasus-pernikahan-dini-di-jatim-2022-malang-tertinggi-lumajang-dan-jember-masuk-5-besar