Angka Tidak Sekolah dan Persepsi Masyarakat

Sumber: careeraddict

Kenaikan jumlah siswa yang tidak melanjutkan pendidikan karena alasan pandemi merupakan hal yang tidak terelakkan. Pembelajaran daring (online) karena pandemi memunculkan masalah keterbatasan infrastruktur pendidikan serta kurang efektifnya pembelajaran.

Dampaknya, sebagian siswa lebih memilih untuk bekerja, membantu orang tua, atau bahkan menikah. 

Secara formal, mereka disebut sebagai Anak Tidak Sekolah (ATS). 

Pemerintah mendefinisikan ATS sebagai anak usia 7-18 tahun yang tidak bersekolah, putus sekolah tanpa menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu, ataupun putus sekolah tanpa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (Bappenas, 2020)

Implikasinya, mereka memiliki keterampilan dan ilmu yang lebih terbatas dibanding mereka yang tetap bersekolah. 

Lebih miris lagi, kecil kemungkinan bagi mereka untuk kembali bersekolah.

Lalu, saat mereka memiliki keterampilan yang lebih rendah, bagaimana peluang mereka untuk memenangkan kompetisi dunia kerja, baik di dalam dan luar negeri?

Not a Brain Drain, its a Brain Loan

Bagi sebuah negara, orientasi memenangkan kompetisi di pasar tenaga kerja internasional adalah menciptakan tenaga kerja yang disegani di pasar tenaga kerja luar negeri.

Hal ini diindikasikan sebagai semakin banyaknya penduduk negara tersebut yang pergi merantau untuk bekerja di luar negeri. Tentu saja, yang perlu dikirim adalah tenaga kerja ahli dan terampil yang tidak dapat mudah digeser oleh mesin atau tenaga kerja lain yang memiliki keterampilan lebih tinggi. 

Dari sisi ekonomi, banyaknya penduduk suatu negara yang bekerja di luar negeri juga dapat meningkatkan kiriman uang (remmittance) yang dapat dipergunakan bagi si penerima untuk meningkatkan standar hidupnya atau untuk ditabung.  

Selain itu, pengalaman tinggal di luar negeri juga berarti pengalaman yang berbeda yang tidak akan bisa didapatkan di negara asal. 

Beberapa pihak menyatakan hal ini adalah brain drain. Negara tersebut kehilangan orang-orang terbaiknya karena mereka memilih tinggal di luar negeri.

Namun, sejatinya ini adalah brain loan. Negara tersebut sedang meminjamkan warganya untuk tinggal di luar negeri agar mereka mendapat kesempatan untuk meningkatkan keterampilan (upskilling) tanpa perlu negara tersebut bersusah payah memberi proses upskilling.

Hingga pada suatu titik, mereka akan kembali ke negara asal. 

Mereka akan mentransfer kekayaan dan mengkonversikan mata uang asingnya, Mereka juga akan membawa pengalaman dan berkontribusi bagi dunia usaha atau sektor publik di negara asalnya.

Bahkan saat mereka tidak kembali, mereka akan tetap menjadi bagian dari diaspora dan jaringan bisnis serta duta bangsa dalam hal pariwisata, ekonomi, atau politik.

Maka, setiap kelompok masyarakat perlu didorong dan dipersiapkan untuk mampu melangkah lebih jauh.

Bahkan, bisa jadi ATS dapat berkarir dan berkarya di luar negeri jika diberi intervensi yang tepat.

Intervensi yang tepat memerlukan informasi tentang bagaimana profil ATS tersebut.

Profil

Tidak mudah mengetahui profil ATS. Semakin dini mereka meninggalkan bangku sekolah, semakin besar kemungkinan orang tua/ keluarga menutup rapat informasi tentang keberadaan mereka.

Alasannya adalah kontrol orang tua/ keluarga yang sangat kuat (sehingga independensi si anak masih kecil) sehingga orang tua memiliki argumen kuat untuk menyetop pendidikan si anak dan menyimpan rapat-rapat informasi tentang keberadaan si anak.

Namun saat si anak semakin besar, maka ia lebih berpeluang untuk "ditemukan" karena ia merasa lebih butuh untuk mendapat pendidikan, di samping independensi yang semakin besar.

Beberapa informasi terkait ATS penting untuk diketahui.  

Pertama, terkait demografi seperti usia, jenis kelamin, jenjang pendidikan terakhir, dan tempat tinggal.

Kedua, terkait pekerjaan/aktivitas sekarang seperti jenis pekerjaan (apakah menjadi pegawai atau membuka usaha sendiri), atau secara sukarela menganggur seperti menjadi ibu rumah tangga, serta penghasilan mereka.

Ketiga, terkait aspek keuangan keluarga yakni informasi tentang jumlah tanggungan (anak, orang tua, atau keluarga besar) yang harus dibiayai. 

Keempat, terkait keterampilan, seperti apakah mereka memiliki keterampilan siap pakai seperti kemampuan berbahasa asing, komputer, atau dunia digital. 

Saat profil ATS diketahui, kita bisa mengambil intervensi kebijakan yang tepat sehingga mereka bisa meningkatkan kualitasnya melalui upskilling keterampilan dan menjadi bagian integral di masyarakat.

Perbedaan Persepsi

Akan ada perbedaan persepsi masyarakat terhadap ATS. Sebagian masyarakat akan memandang penting pendidikan sehingga berusaha kuat agar tidak ada anak putus sekolah. Di sisi lain, ada kelompok yang dengan mudahnya membolehkan anak untuk berhenti sekolah karena berbagai alasan. 

Perbedaan persepsi tersebut akan bergantung pada berbagai hal seperti lokasi dimana mereka tinggal, kemudahan mencari pekerjaan, jenis pekerjaan dominan, atau tingkat pengetahuan masyarakat itu sendiri.

Pada daerah-daerah dimana banyak tersedia lapangan pekerjaan (seperti maraknya industri dan perdagangan), siswa putus sekolah bukan dipandang sebagai masalah besar karena mereka dianggap dapat dengan mudah mendapatkan pekerjaan.

Begitu juga dengan perbedaan lokasi, dimana masyarakat yang tinggal di lokasi-lokasi yang dekat dengan kemudahan akses informasi akan memberi nilai tinggi akan pentingnya pendidikan. 

Penutup

Masyarakat yang memandang rendah pentingnya pendidikan cenderung akan melanggengkan budaya putus sekolah. 

Padahal hal ini bisa jadi menurunkan kualitas masyarakat itu sendiri dimana ATS, yang notabene memiliki keterbatasan keterampilan, kesenjangan usia, atau kesenjangan status sosio-ekonomi tidak mampu memberi kontribusi optimal seperti kelompok masyarakat lain yang mengenyam pendidikan lebih tinggi.

Maka, tantangannya adalah bagaimana meningkatkan persepsi masyarakat akan pentingnya pendidikan sehingga meminimalisir risiko putus sekolah dan sekaligus mendorong masyarakat untuk memberi ruang bagi upskilling keterampilan ATS agar mereka dapat lebih berkontribusi bagi masyarakat. 


Popular posts from this blog

Skewness dan Kurtosis

Piramida Distribusi Kekayaan Masyarakat Indonesia

KKN di Desa Penari

Palma Ratio Indonesia

Daya Beli Masyarakat, in this Economy: Dunia Usaha dan Perspektif Ekonomi Makro

Generasi Hutang: Literasi Keuangan dan Kekayaan Rumah Tangga

Berapa Rata-Rata Kekayaan Rumah Tangga di Indonesia?