"Bukan ga mau healing. Tapi isi dompet yang ga mungkin"


Orang Indonesia ternyata kurang piknik. Data UNWTO menunjukkan rata-rata orang Indonesia piknik hanya 2,6 kali per tahun. Jumlah tersebut dinilai jauh dari negara-negara seperti Malaysia, China, dan Jepang. Adapun Malaysia tercatat berpergian 10,3 kali dalam setahun, China 5,7 kali, dan Jepang 4,7 kali setahun.

Karena nilai di atas adalah nilai rata-rata, maka akan ada kelompok masyarakat yang piknik lebih dari 2,6 kali per tahun. Juga ada kelompok lain yang piknik kurang dari 2,6 kali per tahun.
 
Dengan asumsi distribusi normal, jika dibuat kurvanya, populasi yang mampu piknik jauh di atas rata-rata 2,6 kali per tahun akan berada di sebelah kiri jauh kurva. Kemudian sebagian besar populasi yang mampu piknik di kisaran angka rata-rata 2,6 kali pertahun akan berada di area tengah kurva. Sementara kelompok yang memiliki frekuensi piknik jauh lebih rendah dari nilai rata-rata akan berada di area kanan jauh kurva. 
Area di sebelah kiri jauh kurva bisa kita katakan sebagai "kepala", sementara area di sebelah kanan jauh kurva dikatakan sebagai "ekor". 

Penentuan ini penting agar kita bisa menentukan intervensi yang paling sesuai untuk setiap kelompok masyarakat sesuai dengan karakteristiknya.

Bagi para pengambil kebijakan, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana cara mendorong masyarakat agar lebih banyak piknik lagi. Hal ini penting karena kegiatan wisata dapat berdampak positif bagi masyarakat di daerah tujuan, meningkatkan kondisi kesehatan mental pelaku perjalanan wisata, serta dapat meringankan sementara beban lingkungan di daerah asal. 

Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut, perlu ditelusuri penyebab seseorang menjadi fakir piknik.

Fakir Piknik

Temuan Expedia menunjukkan beberapa alasan tidak pergi berlibur. Sebagian besar karena alasan finansial (43%). Alasan lain adalah ingin mengakumulasi hari libur (33%) dan alasan pekerjaan (22%).


Untuk dapat mengatasi masalah finansial penyebab seseorang tidak bisa berwisata, maka beberapa hal dapat dilakukan.

Pertama, harus fokus pada "ekor" distribusi populasi, yakni mereka yang memiliki frekuensi piknik jauh lebih rendah dari 2,6 kali per tahun atau bahkan nol alias tidak pernah piknik. 
   
Karena peluang berwisata berhubungan lurus dengan tingkat pendapatan maka upaya peningkatan pendapatan terutama bagi mereka yang kelas terbawah sangat penting.

Kedua, meminimalisir pengeluaran terutama untuk hal-hal yang sejatinya bisa ditekan. Hal ini berlaku pada, misalnya, kelompok masyarakat yang membutuhkan gaya hidup untuk mengimbangi kenaikan pendapatan mereka namun perubahan gaya hidup tersebut membutuhkan konsekuensi penambahan pengeluaran yang mahal.

Contohnya adalah di kelas menengah Indonesia dimana tingkat pendapatan yang lebih tinggi mendorong mereka untuk berganti moda transportasi ke kepemilikan kendaraan pribadi yang malangnya justru mendorong pengeluaran yang mahal karena ongkos kemacetan, biaya parkir, dan biaya bahan bakar.

Saat ada pengeluaran yang bisa dihemat maka ada potensi lebih banyak dana yang bisa dialokasikan untuk wisata. 
 
Ketiga, mendorong kenaikan frekuensi wisata dengan cara mendorong kemudahan seseorang untuk piknik di dalam negeri. Hal ini terutama untuk menjaring mereka yang berada di "kepala" distribusi populasi, yakni mereka yang punya uang banyak dan siap membelanjakan uangnya untuk wisata. 

Kondisi alam Indonesia yang berupa kepulauan membawa tantangan tersendiri dalam hal aksesibilitas antar pulau yang mahal dan sulit. Jangan sampai berwisata ke luar negeri lebih mudah dan murah daripada berwisata dari satu pulau ke pulau lain di Indonesia.

Maka, upaya untuk meningkatkan aksesibilitas agar lebih terjangkau penting agar dapat memperlancar distribusi barang dan jasa termasuk perpindahan orang untuk berwisata.

Jangan sampai keindahan alam Indonesia hanya bisa dinikmati oleh mereka yang memiliki uang banyak karena sulitnya aksesibilitas dan mahalnya biaya transportasi untuk mengunjungi tempat wisata.

Penutup

Upaya meningkatkan pendapatan keluarga atau individu adalah upaya pertama untuk memampukan seseorang berwisata. Sehingga jangan lagi ada pendapat: Bukan ga mau healing. Tapi isi dompet yang ga mungkin.

Popular posts from this blog

Skewness dan Kurtosis

Piramida Distribusi Kekayaan Masyarakat Indonesia

KKN di Desa Penari

Palma Ratio Indonesia

Daya Beli Masyarakat, in this Economy: Dunia Usaha dan Perspektif Ekonomi Makro

Generasi Hutang: Literasi Keuangan dan Kekayaan Rumah Tangga

Berapa Rata-Rata Kekayaan Rumah Tangga di Indonesia?