Reverse Robin Hood Subsidi Kendaraan Listrik

Gelaran G20 di bulan November 2022 di Bali juga menjadi ajang show pabrikan otomotif untuk lebih memperkenalkan kendaraan listriknya untuk pasar Indonesia. 

Penjualan kendaraan listrik di Indonesia masih berjalan landai, terutama disebabkan oleh permintaan masyarakat yang rendah, harga jual yang masih relatif tinggi, terbatasnya infrastruktur yang menunjang kendaraan listrik, serta kebijakan pemerintah yang belum sepenuhnya mendukung perkembangan industri kendaraan listrik.

Di berbagai negara, penggunaan kendaraan listrik sudah mencapai tren yang semakin meningkat. Pada tahun 2020, Finlandia merupakan negara dengan jumlah kendaraan listrik per kapita paling tinggi sedunia, mencapai 81 kendaraan untuk setiap 1.000 penduduk. Kemudian disusul Islandia (36,8 kendaraan), Swedia (20,6), dan Belanda (10,7) (Canary Media, 2022).

Untuk dapat lebih mendorong penggunaan kendaraan listrik, saat ini pemerintah sedang menggodok model insentif untuk kendaraan listrik. 

Reverse Robin Hood 
Upaya pemerintah Indonesia untuk memberikan subsidi kendaraan listrik harus diarahkan agar tidak menjadi reverse Robin Hood. Berkebalikan dengan Robin Hood yang mengambil dari orang-orang kaya kemudian memberikannya ke orang miskin, reverse Robin Hood merupakan istilah dimana seseorang mengambil dari orang-orang miskin dan kemudian memberikannya ke orang-orang kaya.     


Reverse Robin Hood atas subsidi kendaraan listrik berarti pemerintah mengambil dari orang yang lebih miskin yang tidak punya pilihan untuk tetap menggunakan kendaraan berbahan bakar fosil dan memberikannya kepada masyarakat yang lebih mampu yang memiliki daya beli lebih tinggi untuk membeli kendaraan listrik. 

Subsidi untuk Mengatasi Ketidakadilan 
Idealnya, subsidi kendaraan listrik hendaknya bersifat revenue-neutral policy. Aktivitas yang lebih ramah lingkungan seharusnya mendapat insentif dengan dana yang bersumber dari disinsetif dari aktivitas yang tidak ramah lingkungan. 

Maka, subsidi atas kendaraan listrik seharusnya dibayar oleh pengguna kendaraan berbahan bakar fosil terutama penghasil emisi tinggi. 

Namun, tidak semua kelompok masyarakat siap meninggalkan kendaraan berbahan bakar fosil sekarang. 

Contohnya adalah pemilik kendaraan umum seperti angkutan kota, taksi, dan ojek yang belum tentu memiliki kemampuan finansial untuk mengganti kendaraannya dengan kendaraan listrik atau rumahnya memiliki cukup daya untuk men-charge kendaraan. 

Contoh lain adalah pemilik truk logistik yang masih akan tetap membutuhkan kendaraan berbahan bakar fosil karena sampai saat ini, belum ada kendaraan listrik yang memiliki tipe, torsi, dan tenaga sesuai kebutuhan mereka.

Atau contoh lain adalah para petani di perdesaan yang masih akan tetap bertahan dengan kendaraan berbahan bakar fosil karena jauh dari jangkauan listrik atau teraliri listrik namun tidak menyala selama 24 jam.

Apalagi kendaraan listrik juga memiliki harga yang relatif lebih tinggi daripada kendaraan berbahan bakar fosil. 

Maka, adanya subsidi kendaraan listrik dimana pemerintah fokus meringankan beban mereka yang sebetulnya mampu membeli kendaraan listrik akan berpotensi memperburuk ketidakadilan di masyarakat.

Masyarakat yang pertama kali dan paling besar menikmati subsidi (dan sekaligus penghematan karena kendaraan listrik) adalah orang-orang mampu yang tinggal di perkotaan. 

Subsidi di atas justru menambah beban mereka yang lebih miskin, yang tidak mampu membeli kendaraan listrik, atau tinggal di lingkungan yang tidak mendukung kelancaran operasional kendaraan listrik. Tambahan lagi, bergantung pada bahan bakar fosil berarti juga harus berhadapan dengan kecenderungan harga minyak yang semakin meningkat. 

Greenwashing
Promosi akan kendaraan yang lebih ramah lingkungan, ditambah adanya rencana subsidi pemerintah, akan membuat lebih banyak perusahaan yang memanfaatkan isu lingkungan untuk mempromosikan produk mereka. Akan ada lebih banyak produk dengan label ramah lingkungan dan dengan jangkauan dan variasi yang lebih luas.

Pemerintah dan masyarakat perlu waspada terhadap fenomena greenwashing.

Greenwashing adalah fenomena perusahaan yang mempromosikan dirinya sebagai perusahaan yang ramah lingkungan dan menggunakan bahan bakar yang bersih (clean energy) atau setidaknya mengurangi penggunaan bahan bakar fosil padahal nyatanya ia tidak lepas dari perilaku polutif dan terus mendorong terjadinya perubahan iklim. 

Istilah greenwashing diciptakan oleh ahli lingkungan Jay Westerveld dalam esai tahun 1986 tentang praktik industri perhotelan yang menempatkan pemberitahuan di kamar tidur untuk mendorong tamu menggunakan kembali handuk untuk "menyelamatkan lingkungan". 

Ia mencatat upaya ini lebih berorientasi untuk menghemat biaya binatu dan bukannya membuat hotel bisa mengurangi pemborosan energi karena bisa mengurangi pencucian yang berlebihan.  

Westerveld menyimpulkan bahwa bagi perusahaan, seringkali tujuan sebenarnya adalah meningkatkan keuntungan dan bukannya orientasi ramah lingkungan, atau disebut sebagai greenwashing.

Maka, upaya untuk lebih ramah lingkungan seharusnya tidak terkontaminasi oleh upaya korporasi untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dengan dalih label ramah lingkungan.

Penutup
Upaya pemerintah untuk lebih ramah lingkungan melalui pemberian subsidi kendaraan listrik perlu dikendalikan dengan lebih hati-hati. Hal ini penting agar subsidi justru tidak memperburuk ketidakadilan serta mendorong perilaku greenwashing

Referensi:
https://www.canarymedia.com/articles/electric-vehicles/chart-these-countries-have-the-most-electric-vehicles-per-capita
https://greenwash.com/
https://oto.detik.com/berita/d-6434653/luhut-beli-motor-listrik-tahun-depan-dapat-subsidi-rp-65-juta

Popular posts from this blog

Skewness dan Kurtosis

Piramida Distribusi Kekayaan Masyarakat Indonesia

KKN di Desa Penari

Palma Ratio Indonesia

Daya Beli Masyarakat, in this Economy: Dunia Usaha dan Perspektif Ekonomi Makro

Generasi Hutang: Literasi Keuangan dan Kekayaan Rumah Tangga

Berapa Rata-Rata Kekayaan Rumah Tangga di Indonesia?