Big Data dalam Upaya Mengentaskan Kemiskinan

Upaya untuk mengentaskan kemiskinan perlu informasi mengenai who, where, dan how poor they are (siapa, tinggal dimana, dan seberapa miskin mereka). Data orang miskin yang tidak akurat bisa jadi menyebabkan pemberian intervensi yang tidak efektif (kurang atau berlebih dari yang seharusnya), salah kebijakan, atau bahkan salah sasaran.

Maka perlu pengelolaan big data yang rapi dan kokoh.

Penyebab Kemiskinan

Determinan kemiskinan itu multifaktor namun bisa dikerucutkan menjadi dua faktor utama, yakni dari aspek ekonomi dan sosial. 

Dari aspek ekonomi, seseorang menjadi miskin karena ketiadaan atau keterbatasan peluang-peluang ekonomi bagi mereka. Hal ini yang menjelaskan kenapa daerah-daerah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi rendah memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi. 

Dari sisi sosial, kemiskinan disebabkan oleh penghalang atau barrier yang diciptakan oleh orang-orang yang tidak miskin terhadap orang-orang yang berada kelas sosioekonomi lebih rendah dari mereka sehingga orang-orang yang berada di kelas sosioekonomi lebih rendah tersebut tidak mudah untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Penghalang tersebut bisa dalam hal penerapan persyaratan-persyaratan yang belum tentu bisa dengan mudah dipenuhi oleh orang-orang yang miskin. Contohnya, persyaratan kualifikasi pendidikan minimal yang harus dipenuhi saat melamar kerja, padahal lowongan kerja yang dimaksud dapat dengan mudah diisi oleh orang-orang yang memiliki kualifikasi pendidikan lebih rendah.   

Hal tersebut akan menjadi penyaring atau filter sehingga hanya orang-orang yang bisa memenuhi persyaratan yang dibutuhkan, yang notabene bukan orang miskin bisa masuk dan ambil bagian dalam kegiatan ekonomi.

Ini belum termasuk hambatan karena antipati terhadap keberagaman di masyarakat, dimana seseorang dapat memilih untuk eksklusif dan hanya menerima pertemanan atau menjalin hubungan kerja dengan mereka yang memiliki profil non-sosioekonomi yang sama, misalnya kesamaan suku, agama, dan ras.

Dua determinan utama di atas kemudian memaksa orang-orang miskin terus memiliki pendapatan rendah sehingga mendorong mereka untuk membeli produk berkualitas rendah dan memiliki kualitas hidup rendah.   

Jangka Pendek dan Jangka Panjang

Kita bisa memilah kebijakan pengentasan kemiskinan berdasarkan perspektif waktu yakni jangka pendek dan jangka panjang.

Kebijakan pengentasan kemiskinan dalam jangka pendek bermanfaat untuk secara seketika mendorong kenaikan pendapatan seseorang agar berada minimal sama dengan garis kemiskinan. Jenis bantuan seperti ini bermanfaat bagi seseorang atau rumah tangga yang mengalami penurunan pendapatan secara tiba-tiba. Contohnya adalah bantuan langsung tunai kompensasi subsidi bahan bakar minyak, bantuan biaya pendidikan, atau bantuan biaya hidup saat pandemi.  

Untuk jangka panjang, pemerintah perlu menerapkan kebijakan agar masyarakat memiliki kemampuan sendiri untuk meningkatkan standar hidupnya. Selain itu, kebijakan jangka panjang diperlukan agar sumber daya pemerintah, baik dana, waktu, dan sumber daya manusia, tidak habis hanya untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan pengentasan kemiskinan yang berorientasi jangka pendek.

Kebijakan pengentasan kemiskian dalam jangka panjang dapat diarahkan untuk peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

Contohnya, kemiskinan dipengaruhi oleh gender dimana wanita sebagai kepala rumah tangga lebih berisiko miskin daripada rumah tangga dengan laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Hal ini disebabkan rumah tangga dengan wanita sebagai kepala rumah tangga memiliki peluang kerja lebih terbatas serta jumlah pencari nafkah utama dalam keluarga lebih sedikit. 

Maka, perlu mencegah terbentuknya rumah tangga dengan wanita sebagai kepala rumah tangga dengan cara mencegah atau meminimalisir risiko perceraian/pisah. 

Untuk dapat mencapai hal ini, perlu ditelusuri data tentang faktor-faktor penyebab cerai/pisah, pada usia berapa pasangan tersebut cerai/pisah, atau bahkan pada usia berapa pasangan tersebut menikah.

Data-data tersebut diperlukan agar kita bisa mengintervensi orang-orang yang masuk kriteria tersebut. 

Misalnya, jika faktor terbesar perceraian/pisah adalah faktor ekonomi maka perlu intervensi untuk memastikan setiap pasangan yang akan menikah memiliki kestabilan finansial. Atau mendorong pasangan memiliki kestabilan emosional agar mereka mampu lebih bijak menghadapi goncangan finansial. 

Contoh kebijakan jangka panjang lain berkaitan dengan mitigasi bencana alam. Karena bencana bisa menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat berupa kerugian materil atau korban jiwa, maka diperlukan upaya pencegahan terjadinya bencana terutama atas jenis-jenis bencana yang seharusnya bisa dihindari seperti banjir dan tanah longsor. 

Berbagai upaya untuk meminimalisir risiko kerugian dari kedua jenis bencana tersebut adalah dengan penataan hunian dan lingkungan. Malangnya, orang-orang yang tidak mampu secara finansial justru bertempat tinggal di wilayah rawan bencana, seperti bantaran sungai dan lereng tebing, karena ketidakmampuan mereka untuk mencari hunian di lokasi bebas bencana.

Profil Penerima Bantuan

Penggunaan big data bisa membantu pengambil kebijakan untuk melihat profil masyarakat yang paling membutuhkan bantuan, yang membutuhkan intervensi baik dalam jangka pendek dan jangka panjang.

Beberapa profil yang diperlukan adalah data demografi (seperti usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir, jumlah anggota keluarga), data sosioekonomi (lapangan pekerjaan, jenis dan kepemilikan hunian, akses air bersih), dan data spasial (lokasi tempat tinggal, aksesibilitas, risiko bencana alam).

Setiap komponen dalam profil tersebut memiliki nilai tertentu yang menunjukkan seberapa besar risiko kemiskinan yang dihadapi orang tersebut .

Misalnya, lansia usia di atas 60 tahun memiliki risiko kemiskinan lebih tinggi dibanding orang usia produktif (25-59 tahun). Kemudian, wanita memiliki risiko miskin lebih tinggi dibanding pria. Atau, orang-orang dengan tingkat pendidikan terakhir adalah sekolah dasar/tidak bersekolah memiliki risiko lebih tinggi dibanding mereka yang berpendidikan menengah. 

Bila semua komponen tersebut dikombinasikan, maka kita akan mendapatkan informasi profil untuk berbagai kelompok masyarakat berdasarkan risiko kemiskinan yang dihadapinya.  

Kita bisa mengerucutkan berbagai macam profil tersebut ke dalam kelompok-kelompok. Dan masing-masing kelompok dapat dispesifikasi menjadi beberapa sub-kelompok.

Misalnya, kita bisa membuat kelompok pertama risiko tertinggi kemiskinan terbagi dua, yakni sub-kelompok A (lansia, jenis kelamin wanita, dan memiliki pendidikan sekolah dasar/tidak sekolah) dan sub-kelompok B (lansia, laki-laki, pendidikan sekolah dasar/tidak sekolah). Kemudian kelompok kedua yakni memiliki risiko kemiskinan lebih rendah, yang juga terbagi menjadi dua sub-kelompok. Sub-kelompok A (lansia, wanita, pendidikan menengah) dan sub-kelompok B (lansia, laki-laki, pendidikan menengah). 

Gradasi intervensi dapat berbeda-beda antar kelompok, atau antar sub-kelompok di kelompok yang sama.

Manfaat kedua dari pengelompokan tersebut adalah saat seseorang mengalami perubahan profil maka ia bisa berpindah kelompok/sub-kelompok risiko, yang juga dapat berimplikasi pada besar kecilnya bantuan yang diterima. 

Contohnya, kelompok pertama yakni usia produktif (25-59 tahun), pendidikan sekolah dasar, dan jumlah anggota keluarga besar memiliki risiko kemiskinan lebih besar daripada kelompok kedua, yakni usia produktif, pendidikan sekolah dasar/tidak sekolah, dan jumlah anggota keluarga kecil. Maka, saat sesorang mengalami pengurangan jumlah anggota keluarga (karena anak dewasa, menikah, dan keluar rumah) maka ia dapat berganti kelompok dari kelompok pertama menjadi kelompok kedua, dengan profil lain tetap. Implikasinya, kita dapat menilai ia akan menghadapi risiko kemiskinan yang lebih rendah dari sebelumnya.

Manfaat ketiga dari pengelompokan tersebut adalah pemberian bantuan berdasarkan obyek tertentu tidak perlu dilakukan secara berurutan dari kelompok risiko tertinggi ke terendah namun bisa berdasarkan spesifikasi tertentu yang dimiliki kelompok/sub-kelompok.

Contohnya, layanan transportasi umum gratis di perkotaan ditujukan untuk kelompok-kelompok risiko kemiskinan tinggi di perkotaan. Padahal, kelompok-kelompok ini bisa jadi memiliki risiko kemiskinan yang lebih rendah daripada mereka yang tinggal di perdesaan.

Contoh lain adalah pemberian bantuan untuk menghadapi inflasi, bisa diarahkan untuk masyarakat usia produktif yang langsung terdampak kenaikan harga-harga, yang notabene bisa jadi memiliki risiko kemiskinan lebih rendah daripada kelompok lansia. 

Penutup

Big data kemiskinan merupakan pekerjaan besar bagi pemerintah untuk menjamin akurasi penerima bantuan. Saat data penerima tersusun rapi dan akurat, implementasi kebijakan pengentasan kemiskinan dapat dilakukan secara lebih efektif dan efisien.


Popular posts from this blog

Skewness dan Kurtosis

Piramida Distribusi Kekayaan Masyarakat Indonesia

KKN di Desa Penari

Palma Ratio Indonesia

Daya Beli Masyarakat, in this Economy: Dunia Usaha dan Perspektif Ekonomi Makro

Generasi Hutang: Literasi Keuangan dan Kekayaan Rumah Tangga

Berapa Rata-Rata Kekayaan Rumah Tangga di Indonesia?