Sepeda Motor (Tidak) Layak diberi Subsidi BBM

Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi jenis Pertalite dan Solar tidak akan terelakkan lagi menyusul semakin konflik Rusia dan Ukraina yang semakin berlarut yang menyebabkan kenaikan harga minyak dunia. Konsekuensinya, anggaran untuk subsidi BBM Indonesia membengkak, jauh melebihi asumsi subsidi BBM di APBN. 

Hal ini juga merupakan konsekuensi dari pemberian subsidi BBM dimana saat subsidi membengkak karena faktor eksternal, seperti kenaikan harga minyak dunia, maka pemerintah perlu mengontrol pengeluaran untuk subsidi dengan cara mengurangi subsidi agar tidak membebani keuangan negara, 

Kenaikan harga BBM di Indonesia juga akan membawa konsekuensi kenaikan harga-harga barang atau inflasi. Adanya inflasi akan melemahkan daya beli masyarakat sehingga tidak banyak dorongan bagi produsen untuk berproduksi. 

Tidak adanya insentif ini membuat melemahnya permintaan akan tenaga kerja sehingga akan ada potensi tenaga kerja yang tidak terserap pasar. 

Tenaga kerja yang menganggur, daya beli konsumen melemah, produksi melambat, kemudian akan memperlambat laju perekonomian.

Salah Sasaran

Pemerintah tidak perlu memberikan subsidi dengan cara mengontrol harga komoditas tertentu. Dengan ini, pemerintah juga bisa meminimalisir subsidi yang salah sasaran.

Selama ini, subsidi atas harga BBM juga disinyalir tidak tepat sasaran. Subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh kelas menengah atas. 


Warga menunjukkan aplikasi MyPertamina saat mengisi bahan bakar pertalite di SPBU Pertamina Abdul Muis, Jakarta, Rabu (29/6/2022). Sumber: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja. Tautan: antaranews


Bahkan penertiban subsidi BBM seperti melalui pendaftaran penerima subsidi di aplikasi MyPertamina juga tidak jelas sasaran. Tidak jelas apakah pemilik kendaraan bermotor tersebut adalah orang-orang yang benar-benar miskin yang membutuhkan subsidi. Karena orang-orang yang benar-benar miskin juga belum tentu punya kendaraan bermotor.

Penertiban Subyek Subsidi

Penertiban subjek subisidi masih menjadi tugas berat bagi pemerintah. 

Subsidi hendaknya diberikan kepada yang berhak, langsung menuju subyeknya. Bukan melalui obyek kepemilikan. 

Contohnya, jika pemerintah ingin subsidi BBM hanya diberikan kepada masyarakat miskin yang notabene ditandai dengan kepemilikan kendaraan roda dua, batas-batas kepemilikan ini juga kabur. 

Apakah kendaraan roda dua hanya dimiliki oleh masyarakat miskin, atau juga dimiliki masyarakat di kelas di atasnya seperti pedagang, pemilik toko, pegawai bank, atau bahkan ASN dan TNI/Polri. Atau apakah kendaraan roda dua yang dipakai anak sekolah dan mahasiswa untuk mobilitas hariannya juga perlu diberi subsidi?

Kendaraan roda dua adalah hal yang umum ditemui di kelas menengah di Indonesia menurut temuan Schlogl & Sumner (2014). Penelitian mereka juga menemukan, dengan menggunakan data Survei Demografi dan Kesehatan (DHS), 1994-2012, tahun 2000-an merupakan kebangkitan kelas pemilik roda dua yang sebagian besar tinggal dalam kondisi perumahan yang baik dan memiliki pendidikan menengah ke atas. Kelompok ini terdistribusi secara merata antara daerah pedesaan dan perkotaan dan mewakili sekitar 60% dari populasi Indonesia. 

Penelitian Schlogl & Sumner (2014) juga menunjukkan kelas menengah ini berbeda secara nyata dengan kelas atas (yang ditandai dengan kepemilikan kendaraan roda empat) dan kelompok masyarakat miskin (yang tidak memiliki kendaraan pribadi) yang sebagian besar tinggal di pedesaan dan memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah.

Maka, jika pemerintah memberikan subsidi berdasarkan jenis kendaraan (contohnya kendaraan roda dua), maka itu sama artinya dengan pemerintah banyak memberi subsidi kepada masyarakat kelas menengah dan bukannya kelas bawah. 

Orientasi Daya Beli

Orientasi pemerintah atas pemberian subsidi kepada masyarakat seharusnya bukan lagi untuk mengontrol harga-harga barang yang perlu disubsidi melainkan untuk meningkatkan daya beli masyarakat.

Hal ini karena setiap orang harus memiliki cukup pendapatan untuk memampukan mereka hidup layak, dengan batas pendapatan minimum sebagai patokan yang harus dicapai oleh setiap individu. 

Saat individu tersebut memiliki pendapatan lebih rendah dari batas pendapatan minimum berarti ia dikatakan tidak mampu hidup layak. Sebaliknya, semakin jauh pendapatan individu tersebut di atas batas minimum berarti semakin tinggi kemampuannya untuk hidup lebih layak.  

Maka, saat pemerintah tahu ada sekelompok masyarakat memiliki pendapatan sama dengan atau di bawah pendapatan minimum maka saat itulah pemerintah bekerja untuk men-top up pendapatan mereka agar berada di atas minimum.

Penutup

Tugas pemerintah adalah memberi bantuan bagi kelompok masyarakat yang membutuhkan, dengan yakni mereka yang memiliki profil tertentu, bukan berdasarkan kepemilikan barang tertentu.

Referensi

Schlogl, L., & Sumner, A. (2014). How middle class are the ‘emerging middle’or ‘scooter class’ in Indonesia? A household asset approach to social stratification (No. 201407). Department of Economics, Padjadjaran University.

Popular posts from this blog

Skewness dan Kurtosis

Economic Complexity Index: Indonesia

Innovation-Driven Economic Development for Inclusive Well-being: Assessing Household Resilience to Economic Shocks

Dua Sisi #KaburAjaDulu

Robustness Check

Piramida Distribusi Kekayaan Masyarakat Indonesia

Publikasi Ilmiah bagi Mahasiswa: Urgensi, Tantangan, dan Solusi