Demografi dan Keterjangkauan Harga BBM
PT Pertamina (Persero) kembali menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) nonsubsidi jenis Pertamax Turbo, Pertamina Dex, dan Dexlite pada Minggu, 10 Juli 2022.
Mengutip laman resmi Pertamina, Pertamax Turbo dijual paling mahal Rp.16.900. Harga Pertamina Dex menjadi paling mahal Rp17.200 per liter sementara harga Dexlite menjadi paling mahal Rp15.700 per liter. Pertamina tampaknya masih menahan kenaikan harga BBM subsidi seperti Pertalite dan Biosolar
Kenaikan harga BBM dipicu oleh kenaikan harga minyak dunia yang semakin liar terutama sejak Krisis Rusia dan Ukraina di awal tahun 2022. Kenaikan harga BBM ini, yang juga diselipi isu menipisnya kuota subsidi BBM mendorong pemerintah melakukan penertiban akan subsidi BBM melalui registrasi penerima subsidi sehingga hanya masyarakat yang sudah terdaftar yang boleh membeli BBM bersubsidi.
Uji coba registrasi penerima subsidi ini dilakukan sejak 1 Juli 2022 di beberapa kabupaten/kota seperti Kota Padang, Kota Padang Panjang, Kab. Tanah Datar, Kota Bukit Tinggi, Kab. Agam, Kota Sukabumi, Kota Bandung, Kab. Ciamis, Kota Tasikmalaya, Kota Yogyakarta, Kota Surakarta, Kota Denpasar, Kota Banjarmasin, dan Kota Manado.
Harga BBM di Indonesia Terjangkau?
Dengan semakin mahalnya harga BBM di Indonesia, muncul pertanyaan apakah harga BBM di Indonesia tergolong terjangkau atau tidak.
Kita bisa melihat seberapa terjangkau harga BBM di suatu negara dengan cara membandingkan harga BBM tersebut dengan rata-rata pendapatan yang diterima masyarakat. Kondisi keterjangkauan (affordability) ini diukur dari biaya yang diperlukan untuk membeli 80 liter BBM sebagai persentase dari pendapatan bulanan (yang diukur dari patokan World Bank). Semakin rendah persentasenya, maka BBM dikatakan semakin terjangkau.
Gambar 1 dan 2 menunjukkan keterjangkauan (affordability) harga BBM bensin dan solar tiap negara, dengan warna yang semakin gelap menunjukkan harga BBM yang semakin terjangkau.

Gambar 1. Keterjangkauan Harga BBM Bensin

Gambar 2. Keterjangkauan Harga BBM Solar
Gambar 1 dan 2 menunjukkan harga BBM di negara-negara Eropa, Amerika Utara, Australia, dan Selandia Baru relatif lebih terjangkau dibanding negara-negara lain. Harga BBM yang paling tidak terjangkau ada di Burundi, dimana masyarakat harus mengeluarkan biaya 576% (bensin) or 563.9% (solar) dari rata-rata pendapatan bulanan untuk mengisi 80 liter tanki BBM.
Bila dilihat dari aspek keterjangkauan, pada Februari 2021, masyarakat Indonesia harus mengalokasikan 20.8% dari rata-rata pendapatan bulanan mereka untuk membeli bensin dan 22.5% dari rata-rata pendapatan bulanan untuk membeli solar.
Maka, untuk menjaga agar keterjangkauan tersebut tetap rendah perlu setidaknya intervensi pemerintah dalam dua hal yakni menjaga harga BBM tetap rendah atau menaikkan pendapatan masyarakat. Keduanya memiliki orientasi jangka waktu yang berbeda dimana menjaga harga BBM tetap rendah adalah kebijakan dalam jangka pendek sementara upaya meningkatkan pendapatan masyarakat adalah orientasi kebijakan jangka panjang.
Kebijakan-kebijakan yang memiliki jangka waktu lebih panjang biasanya memiliki lebih banyak variabel eksternal yang mempengaruhinya dibanding kebijakan dengan orientasi waktu lebih pendek.
Contohnya, kebijakan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat bisa dipengaruhi oleh kondisi internal masyarakat seperti tingkat pendidikan, produktivitas, dan kesehatan. Bisa juga dipengaruhi oleh faktor eksternal masyarakat seperti kondisi perekonomian negara atau daerah, kondisi politik, dan iklim investasi.
Selain itu, upaya meningkatkan pendapatan masyarakat juga bisa dipengaruhi oleh faktor alamiah (endowment) yang ada di negara tersebut seperti jumlah penduduk, ketersediaan sumber daya alam, dan kondisi geografis.
Demografi
Salah satu contoh faktor alamiah yang dapat mempengaruhi pendapatan masyarakat adalah jumlah penduduk.
Karena perhitungan pendapatan per kapita—untuk membandingkan pendapatan antar negara atau antar waktu—berdasarkan pembagian pendapatan nasional dibagi jumlah penduduk, maka negara dengan jumlah penduduk lebih sedikit—meski punya pendapatan nasional lebih rendah—dapat mencapai tingkat pendapatan per kapita lebih tinggi dibanding negara lain dengan tingkat pendapatan nasional yang sama namun dengan jumlah penduduk lebih banyak.
Publikasi Bank Dunia menunjukkan penduduk dunia akan mencapai 8 miliar orang pada 15 November 2022. Jumlah penduduk dunia diperkirakan mencapai sekitar 8,5 miliar pada tahun 2030, 9,7 miliar pada tahun 2050 dan 10,4 miliar pada tahun 2100.
Pertumbuhan penduduk ini sebagian disebabkan oleh penurunan tingkat kematian, sebagaimana tercermin dari peningkatan usia harapan hidup saat lahir dimana secara global, harapan hidup mencapai 72,8 tahun pada 2019 dan meningkat hampir 9 tahun sejak tahun 1990. Usia harapan hidup diperkirakan akan mencapai 77,2 tahun secara global pada tahun 2050.
Bank Dunia juga memprediksi India akan menggeser China sebagai negara dengan populasi terbesar di dunia pada tahun 2023.
Gambar 3. Penduduk China dan India, 1950-2100
Pada 2022, India memiliki populasi 1,412 miliar jiwa. Angka ini masih lebih rendah dibanding China yang memiliki populasi sebanyak 1,426 miliar. Namun pada tahun 2050 populasi India diperkirakan mencapai 1,6 miliar. Angka ini lebih tinggi dibanding proyeksi populasi di China yang hanya mencapai 1,3 miliar.
Demografi Indonesia
Indonesia mengalami perlambatan laju pertambahan penduduk sejak tahun 1970-an seiring dengan pelaksanaan program Keluarga Berencana.
Pada tahun 2022, Indonesia memiliki populasi 275.50 juta. Meski demikian, populasi Indonesia diperkirakan akan terus bertambah hingga mencapai 300 juta pada tahun 2035 dan mencapai puncaknya pada tahun 2060 yang mencapai 319.42 juta.
Gambar 4. Pertumbuhan Penduduk Indonesia, 1950-2100
Gambar 5. Penduduk Indonesia, 1950-2100
Indonesia harus mampu meningkatkan tingkat kesejahteraan rakyatnya karena jika tanpa ada perbaikan kondisi ekonomi, beban demografi di masa depan akan semakin besar. Hal ini dapat dilihat di Gambar 6 dimana tren penurunan jumlah penduduk setelah tahun 2050 ditandai dengan semakin menurunnya jumlah penduduk produktif (25-64 tahun) dan meningkatnya jumlah penduduk di luar usia produktif (0-14, 15-24, dan 65+).
Hal ini membawa implikasi akan semakin besar beban penduduk usia non-produktif yang harus ditanggung oleh penduduk usia produktif.
Gambar 6. Penduduk Indonesia berdasarkan Kelompok Usia, 1950-2100
Maka, sudah seharusnya Indonesia berfokus pada kebijakan jangka panjang untuk memampukan setiap penduduk Indonesia memiliki kemampuan mumpuni yang mendukung mereka untuk mendapatkan pendapatan tinggi agar mampu membeli (affordable) kebutuhan.
Fokus pembangunan harus pada peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan. Kemudian pada pembangunan infrastruktur yang mendukung fokus pembangunan manusia tersebut dan yang mendukung perekonomian. Perbaikan iklim investasi juga penting untuk mendorong kompetisi yang dapat memunculkan inovasi. Juga penting untuk mendorong masyarakat atau perusahaan dalam negeri untuk ekspansi dan berkompetisi di luar negeri.
Hal-hal tersebut perlu dilakukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga mereka memiliki daya beli untuk membeli barang-barang.
Karena seberapa pun rendahnya harga barang tapi jika penduduknya tidak mampu membeli (unaffordable) maka akan menjadi bencana. Sebaliknya, seberapapun tingginya harga barang tapi jika masyarakatnya mampu membeli (affordable) maka bukan menjadi masalah besar.
Referensi:
https://www.pertamina.com/id/news-room/announcement/daftar-harga-bbk-tmt-10-juli-2022-Zona-3
https://vividmaps.com/global-fuel-index/
https://www.globalpetrolprices.com/articles/85/
https://www.un.org/development/desa/pd/sites/www.un.org.development.desa.pd/files/wpp2022_summary_of_results.pdf
https://population.un.org/wpp/Graphs/DemographicProfiles/Line/360