Buy Now Pay Later atas Barang Kena Cukai



Bagi sebagian orang, buy now pay later (BNPL) memudahkan untuk membeli barang yang diinginkan karena dapat menunda pembayaran atas barang-barang yang dikonsumsi sekarang, bisa dalam 30 hari, tiga bulan, enam bulan, sampai 12 bulan. 

BNPL banyak ditemui di platform belanja online seperti Shopee Paylater, GopayLater, dan Kredivo. 

BNPL juga mencakup pembelian komoditas dengan rentang yang luas, mulai kebutuhan pangan, fashion, otomotif, sampai perkakas rumah tangga.

Tren BNPL di Indonesia

Dikutip dari CBNC Indonesia, transaksi buy now pay later (BNPL) di seluruh dunia pada 2021 mencapai US$ 120 miliar atau Rp 1.748,28 triliun (dengan kurs Rp 14.569). Nilai ini meroket 263,64% dibandingkan 2020 (GlobalData)

Sementara BNPL Survey yang dilakukan Research and Market mencatat nilai transaksi BNPL di Indonesia pada 2021 diperkirakan mencapai US$ 1,54 miliar pada akhir 2021 (Rp 22,39 triliun). Angka itu melonjak 72,8% dibandingkan 2020.

Masa depan bisnis BNPL di tanah air diperkirakan cerah, dengan proyeksi pertumbuhan rata-rata 29,2% per tahun sepanjang 2021-2028. Pada 2028, nilai BNPL diperkirakan mencapai US$ 9,22 miliar (Rp 134,35 triliun).

Pesatnya pertumbuhan BNPL di Indonesia ini disebabkan oleh rendahnya penetrasi kredit perbankan, rendahnya penggunaan kartu kredit, serta semakin meningkatnya penggunaan telepon selular dan transaksi belanja online.

Jika BNPL bisa menunda pembayaran, apa bedanya dengan kartu kredit? 

BNPL dan kartu kredit memiliki fungsi yang sama, yakni menunda pembayaran, namun kartu kredit memiliki proses dan ketentuan yang lebih ketat dibanding BNPL untuk dapat memilikinya.

Pada umumnya, kartu kredit mensyaratkan seseorang memiliki kemampuan finansial cukup (baik untuk membayar hutang-hutangnya atau untuk membiayai pengeluaran sehari-hari), ditandai dengan bukti penghasilan, dokumen pajak, serta referensi dari pihak ketiga. Termasuk juga pengecekan profil yang bersangkutan terkait kredit di perbankan.

Bagi banyak orang yang tidak memenuhi syarat kartu kredit di atas, BNPL adalah solusi karena memiliki persyaratan yang lebih ringan.

BNPL juga memiliki beberapa biaya yang nilainya relatif lebih kecil dibanding kartu kredit seperti biaya langganan dan bunga karena keterlambatan pembayaran.

Barang-barang yang Dikontrol Konsumsinya

Kemudahan pembelian barang-barang melalui BNPL ini kemudian menimbulkan pertanyaan apakah BNPL juga dapat digunakan untuk membeli barang-barang yang konsumsinya dikontrol pemerintah seperti minuman keras dan rokok?

Implikasi BNPL versus kartu kredit ini juga membawa ke kenyataan mengapa orang yang memiliki kemampuan finansial lebih rendah, ditandai dengan ketidakmampuan mereka mendapatkan kartu kredit, justru diberi kemudahan menunda pembayaran atas pembelian barang-barang justru lebih banyak memberi manfaat negatif baik bagi diri sendiri maupun orang lain?

Dari sisi konsumen, konsumsi atas minuman keras dan rokok dapat menimbulkan efek kecanduan sehingga pembelian melalui BNPL berpotensi menjadi perangkap finansial saat mereka tidak mampu melunasi kewajiban BNPL-nya.

Potensi gagal bayar ini juga muncul karena BNPL justru digunakan untuk membeli minuman keras dan rokok yang notabene merupakan barang konsumtif dimana idealnya, jenis barang tersebut hendaknya menggunakan pembayaran langsung dan bukannya pembayaran ditunda.

Kenaikan konsumsi, karena kemudahan pembayaran ini, juga dapat menjadi perangkap bagi mereka yang tidak bisa melepaskan diri dari kecanduan atas barang-barang yang dibatasi konsumsinya tersebut. 

Dari sisi pemerintah, BNPL atas tipe komoditas tersebut sama buruknya dengan memberikan bantuan langsung tunai yang oleh penerima langsung dibelanjakan untuk minuman keras atau rokok.

Cukai

Pengendalian atas barang-barang yang perlu dikendalikan konsumsinya dapat dilakukan melalui pengenaan cukai.

Cukai didefinisikan sebagai pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-undang Cukai.

Menurut Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, berbagai jenis Barang Kena Cukai adalah:   

1. Etil alkohol atau etanol, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya,

2. Minuman yang mengandung etil alkohol dalam kadar berapa pun, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya, termasuk konsentrat yang mengandung etil alkohol,

3. Hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan digunakan atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya,

4. Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau selain yang disebut sigaret, cerutu, rokok daun, dan tembakau iris yang dibuat secara lain sesuai dengan perkembangan teknologi dan selera konsumen, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.

Maka pengenaan cukai berarti juga negara mengakui bahwa konsumsi atas barang-barang tersebut perlu dikendalikan karena memberi keuntungan yang nilainya lebih kecil dari kerugian yang ditimbulkan namun karena satu dan lain hal barang-barang tersebut tidak bisa dianggap terlarang (ilegal). 

Sehingga adanya penerimaan negara dari cukai seperti dua sisi mata uang yakni adanya pemasukan negara (namun lebih ke arah nuansa negatif) dan  indikasi adanya konsumsi atas barang-barang tersebut.

Khusus untuk Cukai Hasil Tembakau, pada periode 2015-2020, penerimaan negara dari Cukai Hasil Tembakau mengalami kenaikan dari Rp.144.64 triliun di tahun 2015 menjadi Rp.176,31 triliun di tahun 2020.  

Kenaikan penerimaan negara dari Cukai Hasil Tembakau ini juga miris mengingat Badan Pusat Statistik mencatat rokok adalah kontributor terbesar kedua kemiskinan di Indonesia, setelah beras. Di perkotaan, komoditas beras dan rokok berkontribusi sebesar 19,69% dan 11,30% garis kemiskinan perkotaan. Sementara di perdesaan, kedua komoditas ini berkontribusi sebesar 23,79% dan 10,78%. 

Penutup

Pemerintah harus mampu mengontrol peredaran barang-barang yang perlu dikontrol konsumsinya seperti minuman keras dan rokok tadi untuk melindungi orang miskin, marginal, dan yang tidak mampu mengakses kredit perbankan yang mudah dieksploitasi produsen dan pedagang, terutama dengan kemudahan pembayaran atas pembelian barang-barang tersebut seperti melalui buy now pay later (BNPL). 

Perlu juga regulasi penggunaan BNPL untuk melindungi perusahaan pembiayaan BNPL dari risiko gagal bayarkarena konsumen memiliki kapasitas finansial lebih rendah dibanding mereka yang dapat mengakses kredit perbankandan melindungi konsumen agar tidak ada pihak yang mengambil keuntungan dari kesengsaraan orang lain. 

Referensi

https://www.cnbcindonesia.com/market/20220611141545-17-346219/bisnis-pay-later-terancam-tsunami-bunga-tinggi

https://www.stuff.co.nz/business/129274297/inside-the-fight-to-get-a-booze-ban-for-buy-now-pay-later

Popular posts from this blog

Skewness dan Kurtosis

Piramida Distribusi Kekayaan Masyarakat Indonesia

KKN di Desa Penari

Palma Ratio Indonesia

Daya Beli Masyarakat, in this Economy: Dunia Usaha dan Perspektif Ekonomi Makro

Generasi Hutang: Literasi Keuangan dan Kekayaan Rumah Tangga

Berapa Rata-Rata Kekayaan Rumah Tangga di Indonesia?