Perlu Mengontrol Pertambahan Jumlah Penduduk

Pulau Jawa, pulau terpadat di Indonesia, dengan luas 129 ribu km2 adalah tempat tinggal bagi lebih 150 juta orang atau lebih dari 50% penduduk Indonesia.

Namun tidak semua wilayah di pulau ini bisa ditinggali, seperti dataran tinggi dengan kontur curam, puncak-puncak gunung, serta wilayah air seperti sungai dan danau. 

Peta topografi Pulau Jawa menunjukkan dataran rendah, yakni dengan ketinggian tidak lebih dari 200 meter di atas permukaan laut, mendominasi bagian utara Pulau Jawa. Sementara dataran tinggi, yakni yang memiliki ketinggian lebih dari 600 meter di atas permukaan laut, pada umumnya berada di bagian tengah dan selatan Pulau Jawa (Gambar 1).

Gambar 1Peta Topografi Pulau Jawa
Sumber: https://en-gb.topographic-map.com/maps/ijwi/Java/

Konsentrasi pemukiman dan aktivitas ekonomi juga dapat dilihat dari pantauan citra satelit yang menampilkan night light data, dimana area yang terang menunjukkan aktivitas manusia lebih banyak (baik untuk pemukiman atau aktivitas ekonomi) dibanding daerah-daerah yang lebih gelap (Gambar 2).

Gambar 2. Pulau Jawa di Waktu Malam.  Source: https://earth.google.com/

Gambar 2 menunjukkan konsentrasi pemukiman dan aktivitas ekonomi di pantai utara Pulau Jawa. Sebagian konsentrasi juga terdapat di sekitar Yogyakarta di bagian selatan Pulau Jawa. Sementara sebagian besar pemukiman dan aktivitas ekonomi di wilayah pegungan terletak di kota-kota yang berada di lembah pegunungan, seperti Bandung dan Malang.  

Penggunaan night light data juga dapat dengan mudah menunjukkan adanya dua pusat aktivitas dan perekonomian di Pulau Jawa yakni Jakarta (di bagian barat Jawa) dan Surabaya (di bagian timur). Pemukiman dan aktivitas ekonomi di kedua kutub ini kemudian menyebar ke daerah-daerah sekitarnya (yang juga tergolong dataran rendah) hingga membentuk Jakarta Greater Area atau Jabodetabek (akronim dari Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi) dan Surabaya Greater Area atau Gerbangkertosusila (akronim dari Gresik-Bangkalan-Mojokerto-Surabaya-Sidoarjo-Lamongan).

Konsentrasi pemukiman dan aktivitas ekonomi di dataran rendah disebabkan karena pembangunan infrastruktur di wilayah ini akan menghadapi hambatan alam yang lebih minim seperti yang sering ditemui di dataran tinggi seperti kontur yang curam, tebing, serta sungai-sungai yang dalam yang berpotensi membawa biaya mahal untuk mengelolanya sehingga layak huni.

Penyebab lain adalah risiko bencana alam di dataran rendah lebih rendah dibanding infrastruktur yang dibangun di dataran tinggi seperti tanah longsor karena tebing yang runtuh, rumah ambrol karena berada di tepian sungai yang curam, atau infrastruktur rusak karena pergerakan tanah yang berada di lereng perbukitan.   

Implikasi 
Pemukiman dan aktivitas ekonomi yang terfokus di dataran rendah membawa konsekuensi kepadatan penduduk dan membawa berbagai dampak bagi pembangunan kota dan pulau secara keseluruhan.

Pertama, pembangunan infrastruktur di wilayah dataran tinggi menjadi mahal dan tidak ekonomis, yang berimplikasi pada keterbatasan perluasan kota, dimana kota-kota di dataran tinggi menghadapi kendala alamiah bentang alam yang tidak mudah diatasi. Akibatnya, harga properti menjadi mahal tidak sebanding dengan fasilitas yang dapat dinikmati dalam jangkauan yang sama seperti bila dibandingkan dengan properti di dataran rendah.  

Kedua, adalah perkembangan hunian dan aktivitas ekonomi yang ekspansif akan "menghabiskan" lahan di dataran rendah yang kemudian mendorong perkembangan pemukiman dan aktivitas ekonomi ke wilayah-wilayah yang lebih rawan bencana alam seperti pinggiran sungai, lereng pegunungan, dan rawa-rawa di tepi laut. Hal ini akan meningkatkan risiko bencana yang harus dihadapi masyarakat. 

Ketiga, kepadatan penduduk berimplikasi degradasi lingkungan yang semakin cepat. Contohnya, fasilitas pengolahan sampah yang tidak mampu menampung seluruh volume sampah yang dihasilkan masyarakat apalagi ditambah dengan rendahnya kesadaran pengurangan dan pemilahan sampah dan resistensi masyarakat sekitar karena akumulasi masalah yang dihasilkan tempat pengolahan sampah tersebut (Gambar 3). 

Gambar 3. Tumpukan sampah di salah satu depo di Kota Yogyakarta karena TPA Piyungan ditutup, Senin (9/5/2022) (ANTARA/Eka AR)
 
Keempat, kepadatan penduduk membawa implikasi meningkatkan persaingan (seperti dalam hal mencari pekerjaan, tempat tinggal, pendidikan, tempat rekreasi), dan pada berikutnya, dimana yang lemah tidak terlindungi, akan memperparah ketimpangan. Ketimpangan yang semakin parah akan membawa berbagai masalah sosial seperti meningkatnya perasaan tidak aman, meningkatnya kriminalitas, rendahnya sikap menghargai orang lain, serta menghambat integrasi sosial.  

Kita Bisa Mengatasi
Kita bisa mengatasi, atau setidaknya mengontrol, perkembangan kota yang masif sehingga menjadi terjangkau (affordable), layak huni (habitable), serta dengan kesenjangan yang rendah. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah:

Pertama, perlu pengendalian jumlah penduduk melalui upaya menaikkan batas usia perkawinan, menunda pernikahan melalui orientasi pentingnya pendidikan dan karir, serta pelaksanaan Keluarga Berencana (KB) untuk menciptakan keluarga kecil yang sejahtera. Hal ini untuk mengatasi pertambahan jumlah penduduk yang masif yang berpotensi mendorong konversi lahan hijau menjadi pemukiman dan infrastruktur. 

Menjaga keberadaan lahan hijau menjadi penting karena lahan hijau memiliki fungsi counter-feedback degradasi lingkungan. Pada tahun 1976, Jakarta, dengan populasi Jakarta masih 6 juta jiwa, memiliki lahan hijau (vegetasi) yang dilambangkan dengan warna merah yang berlimpah mengelilingi area perkotaan yang berada di pusat dan pinggiran pantai Jakarta, ditandai dengan warna hijau muda (Gambar 4). 

Gambar 4. Perkembangan Jakarta, 1976-2004. Sumber: https://earthobservatory.nasa.gov/

Gambar 4 menunjukkan perkembangan kota menyebar jauh ke timur pada tahun 1989, dimana populasi meningkat menjadi 9 juta jiwa, ditunjukkan oleh area berwarna hijau ke timur yang semakin marak. Kemudian pada tahun 2004, dimana populasi mencapai 13 juta jiwa, ekspansi perkotaan ke arah barat juga terjadi ditandai dengan hampir seluruh area berwarna hijau, yang mengindikasikan pembangunan perkotaan, dengan sedikit area merah (vegetasi) yang tersisa.

Gambar 5. Vertical Farming. Sumber: plenty

Kedua, perlu teknologi untuk mengatasi keterbatasan lahan sementara kebutuhan akan hunian atau aktivitas ekonomi semakin meningkat seperti dengan pembangunan ke arah atas (vertikal). Pembangunan hunian secara vertikal dapat mengatasi kebutuhan pemukiman di perkotaan dengan lahan terbatas sehingga masyarakat tetap dapat memiliki tempat hunian yang terjangkau yang berada tidak jauh dari tempat aktivitas mereka. Contoh lain adalah vertical farming dimana bercocok tanam tetap dapat dilakukan di lahan yang terbatas (Gambar 5). 

Penutup
Upaya mengontrol kepadatan penduduk adalah tantangan bagi kita untuk dapat mewujudkan kualitas hidup yang lebih baik, lingkungan sosial yang lebih terjaga, serta dengan kondisi lingkungan yang tetap terpelihara.


Popular posts from this blog

Skewness dan Kurtosis

Piramida Distribusi Kekayaan Masyarakat Indonesia

Palma Ratio Indonesia

KKN di Desa Penari

Daya Beli Masyarakat, in this Economy: Dunia Usaha dan Perspektif Ekonomi Makro

Berapa Rata-Rata Kekayaan Rumah Tangga di Indonesia?

Robustness Check