Bencana dan Keterbatasan Informasi

Jembatan Ambrol di Kota Malang. Sumber: BPBD Kota malang
Dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta pada tahun 2021, Indonesia mampu mengontrol pertambahan jumlah penduduk, ditandai dengan pertambahan jumlah penduduk Indonesia yang terus melambat dari tahun ke tahun. Pada periode 1971-1980, pertambahan jumlah penduduk Indonesia mencapai 2.31%. Kemudian menurun pada periode 1980-1990 yang mencapai 1.98%, 1990-2000 mencapai 1.49%, 2000-2010 mencapai 1.49%, dan 2010 - 2019 mencapai 1.31%.
Namun jumlah penduduk tersebut tidak terdistribusi secara merata dengan sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa.
Pulau Jawa dengan hanya luas 6% dari total wilayah Indonesia, Pulau Jawa adalah rumah bagi lebih dari 150 juta penduduk Indonesia, atau lebih dari 50% dari total populasi Indonesia (Gambar 1).
Dampaknya, kepadatan penduduk Jawa sangat tinggi. Jakarta punya kepadatan penduduk 15.900 jiwa per km persegi. Provinsi Jawa Barat memiliki kepadatan penduduk 1.394 jiwa per km persegi dan Banten 1.338 jiwa per km persegi
Kepadatan penduduk ini, ditambah dengan jumlah penduduk yang selalu bertambah membawa tekanan pada lingkungan dalam bentik alih fungsi lahan untuk pemukiman, tempat usaha, dan fasilitas umum.
Tidak hanya itu, pertambahan jumlah penduduk akan membawa masalah-masalah lingkungan seperti polusi udara karena kemacetan dan industri, pencemaran air dari limbah rumah tangga dan industri, masalah sampah yang tidak terurai, dan esksploitasi air tanah berlebih.
Kepadatan penduduk juga mendorong pembangunan pemukiman di kawasan-kawasan yang rentan bencana seperti pinggiran sungai, tebing, dan lereng bukit.
Dampaknya semakin banyak rumah yang berada di kawasan rentan banjir dan rentan tanah longsor, seperti dilihat di video 1 dimana sebuah bangunan yang dibangun di tepian kali yang roboh dan terbawa arus sungai.
Video 1. Rumah Terbawa Arus
Kejadian di video 1 tersebut menunjukkan debit air yang besar terus menggerus pinggiran sungai, sehingga memperlemah pondasi bangunan hingga akhirnya membuat bangunan tersebut hanyut terbawa arus sungai.
Kekuatan aliran air juga mampu meruntuhkan pondasi jembatan, seperti terlihat di video 2 dimana ada sebuah jembatan yang putus karena pondasi tergerus debit air yang besar.
Video 2. Jembatan Ambrol
Berdirinya bangunan-bangunan di lokasi rawan bencana disebabakan oleh dua hal penting, yakni desakan pada masyarakat untuk mencari berbagai alternatif hunian dan usaha meski mereka sadar bahwa lokasi yang dipilih akan membawa risiko yang besar.
Penyebab lainnya adalah ketidaktahuan masyarakat untuk memilih satu lokasi yang akhirnya membuat mereka memilih satu keputusan tanpa tahu risiko yang dihadapi.
Untuk dapat mengatasi kedua penyebab keputusan di atas, perlu penyebarluasan informasi secara terus menerus. Bagi kelompok pertama, penyebarluasan informasi berguna untuk memberi berbagai pilihan bagi masyarakat sehingga mereka bisa mengambil pilihan yang terbaik bagi mereka.
Sementara bagi kelompok kedua, penyebarluasan informas dapat mengurangi tingkat ketidaktahuan mereka sehingga mereka dapat memiliki lebih banyak data, pertimbangan, dan informasi dalam pengambilan keputusan.
Melek Literasi
Keterbatasan informasi dapat membuat seseorang mengambil keputusan yang tidak optimal, ditandai dengan hasil yang tidak maksimal, biaya yang tinggi, atau risiko yang besar.
Maka, masyarakat yang mampu mengakses informasi dapat mengambil keputusan terbaik, yang ditandai dengan manfaat yang besar serta dengan biaya-biaya dan risiko yang rendah.
Kita bisa membandingkan kondisi seberapa melek masyarakat di suatu negara terhadap informasi dari survei World's Most Literate Nations (WMLN) yang diselenggarakan Central Connecticut State University pada tahun 2016.
Dikutip dari WMLN, "The World’s Most Literate Nations (WMLN) ranks nations on—not their populace’s ability to read but rather—their populace’s literate behaviors and their supporting resources"
Survei ini bukan mengukur kemampuan masyarakat untuk membaca, namun kebiasaan untuk mencari informasi (melek literasi) dan ketersediaan sumber daya untuk mendukung kebiasaan tersebut.
Survei ini meranking negara-negara berdasarkan lima indikator yakni jumlah perpustakaan (libraries), penetrasi koran (newspapers), masukan sektor pendidikan (education inputs), luaran sektor pendidikan (education outputs), dan ketersediaan komputer (computer availability).
Indeks multidimensi ini menyajikan perspektif yang berbeda mengenai tingkat kemajuan suatu negara, tidak hanya berdasarkan kemajuan ekonomi dan sosial politik.
Indonesia berada di posisi kedua bontot dari 61 negara yang disurvei. Posisi Indonesia masih lebih baik dari Botswana (Tabel 1).
Tabel 1. The World’s Most Literate Nations
Sepuluh negara dengan masyakarat yang melek literasi (most literate countries) adalah Finlandia, Norwegia, Isandia, Denmark, Swedia, Swiss, Amerika Serikat, Jerman, Latvia, dan Belanda.
Sementara lima negara terbaik untuk investasi di bidang pendidikan (educational investment) adalah: Brazil, Israel, Meksiko, Belgia, dan Argentina.
Lima negara terbaik berdasarkan hasil skor tes (test scores) adalah Singapura, Finlandia, Korea Selatan, Jepang, dan China (Tiongkok).
Sementara lima negara terbaik dalam hal ketersediaan perpustakaan (libraries) adalah Estonia, Latvia, Norwegia, Islandia, dan Polandia.
Lima negara terbaik dalam hal penetrasi koran (newspapers) adalah Finlandia, Norwegia, Jerman, Swiss, dan Republik Ceko.
Sementara lima negara terbaik dalam hal ketersediaan komputer di rumah tangga (households with computers) adalah Belanda, Islandia, Denmark, Luksemburg, dan Norwegia.
Akses Informasi dan Terjangkau
Upaya untuk melek literasi membutuhkan ketersediaan informasi, kemampuan untuk mengakses informasi, serta keterjangkauan untuk mengakses informasi tersebut.
Ketersediaan informasi disediakan oleh sumber-sumber eksternal di luar individu, seperti penyediaan informasi melalui media cetak, elektronik, dan internet.
Sementara kemampuan untuk mengakses informasi dan keterjangkauan mengakses informasi tersebut berada pada tiap individu; maka perbedaan kondisi dan karaktersitik tiap individu yang membedakan kemampuan untuk mengakses informasi dan keterjangkauan untuk mengakses informasi tersebut.
Perbedaan kondisi dan karaktersitik tiap individu ditentukan oleh kemampuan untuk terus menyerap hal baru (yang ditentukan oleh tingkat kesehatan, persevarence/ketekunan, resilience/kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit), kondisi lingkungan, kelas sosial ekonomi, termasuk di dalamnya adalah biaya-biaya baik biaya langsung maupun biaya peluang (opportunity cost) untuk mengakses informasi.
Kondisi ekonomi penting karena negara-negara yang paling melek literasi adalah mereka yang memiliki pendapatan per kapita tinggi, seperti seperti Finlandia yang memiliki pendapatan per kapita pada tahun 2020 sebesar USD48.745, Norwegia ($67.329), Islandia ($59.270), Denmark ($61.063), dan Swedia ($52.274) (Tabel 1).
Sementara negara-negara yang berada di posisi bawah melek literasi rata-rata memiliki pendapatan per kapita rendah, seperti Botswana yang pada tahun 2020 memiliki pendapatan per kapita $6.711 Indonesia ($3.869), Thailand ($7.189), Maroko ($3.009), dan Kolumbia ($5.333).
Dugaan awal, ketersediaan informasi menyebabkan kenaikan kondisi ekonomi (diukur dari pendapatan per kapita), kemudian membuat akses terhadap informasi menjadi semakin terjangkau (ditandai dengan biaya-biaya terkait mengakses informasi menjadi semakin rendah dan biaya peluang yang semakin kecil) sehingga kondisi masyarakat akan mengalami kenaikan taraf hidup.
Maka, peluang untuk penyediaan informasi yang komprehensif dan berbiaya rendah masih terbuka untuk Indonesia. Ini untuk membantu masyarakat mengambil keputusan terbaik, menghindarkan mereka dari lokasi-lokasi rawan bencana, serta mengurangi risiko yang dihadapi.
Referensi:
https://www.ccsu.edu/wmln/
https://www.bps.go.id/statictable/2009/02/20/1268/rata-rata-laju-pertumbuhan-penduduk-menurut-provinsi-1971---2019.html
https://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.PCAP.CD