Dua Tahun Pandemi dan Sanctuary Kita

Sudah dua tahun pandemi Coronavirus yang secara resmi diumumkan oleh World Health Organization (WHO) pada tanggal 11 Maret 2020 telah menginfeksi 443 juta orang dan menyebabkan kematian 5.98 juta orang. 

Pada 31 Desember 2019, WHO kantor China melaporkan kasus pneumonia yang tidak diketahui penyebabnya (unknown etiology/ unknown cause) terdeteksi di Wuhan, Provinsi Hubei, China. 

Coronavirus kemudian menyebar ke seluruh dunia dengan kasus pertama di luar China dikonfirmasi di Thailand pada 13 Januari 2020. Sementara di Indonesia, kasus pertama Coronavirus dikonfirmasi pada tanggal 2 Maret 2020. 

Dunia Digital

Pandemi seolah memaksa kita untuk melakukan penyesuaian secara mendadak, seperti penggunaan teknologi secara masif untuk menggantikan adanya pertemuan atau tatap muka yang berpotensi menyebarluaskan virus.

Pembelajaran menjadi berbasis daring (online). Pertemuan-pertemuan terjadi di dunia maya. Berbagai bentuk pelayanan kependudukan, kesehatan, dan agama menjadi berbasis daring.

Dengan semuanya menjadi berbasis teknologi, apa betul kita benar-benar butuh teknologi dalam keseharian kita selain untuk menyelamatkan kita dalam masa pandemi? 

Sepertinya tidak semua aspek dalam kehidupan bisa memasukkan teknologi. Contohnya perkembangan anak usia dini yang lebih butuh buku, pensil, dan alat permainan fisik daripada sekedar perangkat digital. Termasuk juga dalam pembelajaran untuk anak usia yang lebih besar yang sejatinya lebih membutuhkan interaksi langsung antara pengajar dan peserta didik. 

Karikatur dari Seniman Iran, Mahnaz Yazdani, berikut bisa memberi gambaran anak yang dicuekin karena orang tua sibuk dengan gawai (gadget).


Kerinduan akan tatap muka juga akan tetap ada karena ini memberi makna lebih dalam daripada sekedar menatap layar gawai.

Penggunaan teknologi juga menjadi hal yang tidak sustainable dimana suatu ketika para pengguna akan meninggalkan teknologi untuk beralih ke cara lama. 

Terlebih, penggunaan teknologi juga berpeluang menimbulkan tanda tanya bagi kesehatan mental mereka yang terpaksa harus seketika bermigrasi dan menggunakan teknologi. Belum lagi bagaimana kesehatan mental mereka yang lahir di dunia digital, yang dunia nyata juga belum terlihat jelas, karena hampir semua aspek bisa dilakukan secara digital.

Sanctuary

Mungkin kita perlu sanctuary dimana kita bisa melepas ketergantungan dari teknologi. Sanctuary yang secara harfiah diartikan sebagai tempat suaka atau tempat perlindungan. Cambridge Dictionary mengartikan sanctuary sebagai "protection or a safe place, especially for someone or something being chased or hunted". 

Di sini sanctuary bisa berupa tempat atau momen dimana manusia bisa terbebas dari teknologi. Agar ia bisa kembali menjadi jati diri manusia sebagai kesatuan raga dan jiwa yang membutuhkan interaksi langsung dimana raga dan jiwa tersebut berinteraksi dengan manusia lain.   

Jadi, dimana (atau kapan) sanctuary untuk kita agar bisa bebas dari jerat teknologi?


Referensi: 

https://www.who.int/news/item/27-04-2020-who-timeline---covid-19

https://en.wikipedia.org/wiki/COVID-19_pandemic

https://en.wikipedia.org/wiki/COVID-19_pandemic_in_Indonesia#Lack_of_safety_in_tobacco_industries

https://www.rnz.co.nz/national/programmes/afternoons/audio/2018832481/parenting-in-the-digital-age

Popular posts from this blog

Skewness dan Kurtosis

Economic Complexity Index: Indonesia

Innovation-Driven Economic Development for Inclusive Well-being: Assessing Household Resilience to Economic Shocks

Dua Sisi #KaburAjaDulu

Robustness Check

Piramida Distribusi Kekayaan Masyarakat Indonesia

Publikasi Ilmiah bagi Mahasiswa: Urgensi, Tantangan, dan Solusi