Pekerja Migran dan Pengangguran
Publikasi Jawapos (tautan) mengenai kepulangan Pekerja Migran Indonesia (PMI) atau migrant workers yang dikuatirkan menjadi beban tambahan pengangguran baru menjadi tanda tanya besar bagi negeri ini mengapa mereka yang telah bekerja sekian lama di luar negeri justru seolah-olah dikuatirkan menjadi beban pemerintah saat mereka pulang nanti.
Pekerja Migran Indonesia sendiri didefinisikan sebagai setiap warga negara Indonesia yang akan, sedang, atau telah melakukan pekerjaan dengan menerima upah di luar wilayah Republik Indonesia.
Kepulangan mereka yang justru dikuatirkan menambah tingkat pengangguran merupakan hal yang miris karena seharusnya mereka yang bekerja atau berkarir di luar negeri seharusnya dianggap sebagai brain drain alias kaburnya warga negara untuk bekerja di luar negeri. Di sini, penggunaan kata "kabur" merujuk ke suatu hal yang konotatif, yang berarti juga hal yang tidak terduga.
Hal ini juga berarti orientasi pengiriman PMI selama ini adalah mendorong warga Indonesia untuk bekerja di luar negeri yang diharapkan mengurangi beban negara dalam bentuk pengurangan angka pengangguran, serta bisa menyumbang devisa negara melalui pengiriman uang antar negara (remittance) atau dana yang dibawa saat kepulangan.
Jika orientasinya seperti ini, itu sama artinya dengan mengharapkan mereka untuk terus menerus tinggal di luar negeri.
Namun demikian, sejauh apakah mereka mampu bersaing atau mendapat penghidupan serta status sosial ekonomi yang layak di negeri orang karena seharusnya tinggal dalam waktu lama di luar negeri juga membuka peluang bagi mereka untuk menjadi permanent resident atau bahkan citizen/ warga negara di negeri tujuan karena pada umumnya, salah satu syarat untuk menjadi permanent resident atau citizen adalah durasi tinggal di negara tersebut.
Dengan menjadi resident, seorang warga asing bisa lebih leluasa tinggal dan bekerja di suatu negara tujuan, bahkan memiliki hak-hak yang hampir sama seperti warga negara di negara tersebut.
Beberapa di antaranya adalah kesempatan membawa serta keluarga (pasangan, anak) atau menjadi sponsor kerja untuk teman/kerabat yang ingin juga tinggal dan bekerja di luar negeri. Aspek lainnya adalah kesempatan lebih besar dalam hal mendapat layanan kesehatan, pendidikan, memiliki properti, serta kesetaraan dalam politik dan pemerintahan.
Data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menunjukkan sekitar 6.000 orang berangkat ke luar negeri setiap bulan untuk menjadi PMI. Namun, sebagian besar dari mereka bekerja di sektor informal (sekitar 70%) sementara hanya 30% bekerja di sektor formal (Gambar 1).
Idealnya, hingga saatnya para pekerja migran Indonesia kembali pulang (jika mereka ingin pulang), negara seharusnya bersenang hati karena adanya brain gain (kembali masuknya sumber daya manusia yang selama ini ada di luar negeri) sehingga bisa mendayagunakan pengalaman dan keahlian mereka untuk kemajuan bangsa. Dan bukannya terlalu mengkuatirkan mereka akan menjadi pengangguran baru.
Maka, seharusnya Indonesia mengirim warganya ke luar negeri bukan sekedar untuk menyumbang devisa atau mengatasi pengangguran di dalam negeri melainkan juga untuk menunjukkan bahwa bangsa Indonesia mampu memiliki kualitas sumber daya manusia mumpuni untuk bersaing di dunia internasional.
 
 
 
 
 
