Kampung Tematik di Malang dan Budaya Jalan Kaki
Kampung Heritage Kajoetangan. Sumber foto: dakatour
Kampung Heritage Kajoetangan menjadi kampung tematik terbaru yang ada di Malang, melengkapi beberapa kampung tematik yang sudah ada seperti Kampung Warna-warni, Kampung Tridi, dan Glintung Go Green.
Kehadiran berbagai kampung tematik juga melengkapi beberapa koridor wisata heritage (heritage trail) yang sudah ada seperti koridor Ijen, Kayutangan, Celaket, Pecinan, dan Kanjuruhan. Empat koridor pertama dipenuhi oleh situs (benda, jalur, dan sejarah) era Belanda dan sebelumnya, sementara koridor Kanjuruhan merupakan wisata peninggalan era Kerajaan Kanjuruhan.
Namun, berbagai kampung tematik dan koridor wisata tersebut tidak sepenuhnya tersambung satu sama lain. Berbagai koridor wisata hanya melintasi jalan-jalan besar dan tidak melintasi kampung tematik. Perlu belok lebih dalam untuk dapat menyusuri kampung tematik. Demikian juga dengan lokasi kampung tematik yang cenderung terpisah satu sama lain dan dipisahkan oleh koridor wisata atau jalan umum.
Kondisi ini membuat tidak adanya aliran alamiah pengunjung untuk melintasi koridor wisata atau berbagai kampung tematik tersebut. Warga lokal juga belum tentu memanfaatkan potensi kampung tematik dan koridor wisata untuk lebih mengenal kota mereka sendiri karena belum tentu sejalan dengan kebutuhan mobilitas mereka.
Budaya Jalan Kaki
Budaya jalan kaki juga belum menjadi kebiasaan bagi masyarakat Indonesia. Penelitian Stanford University pada tahun 2017 menempatkan Indonesia sebagai negara paling malas berjalan kaki, dengan hanya rata-rata 3,513 langkah per hari. Sementara Hong Kong berada di posisi puncak dengan rata-rata 6,880 langkah per hari. Penelitian ini menganalisis 68 juta data yang kemudian menghasilkan rata-rata jumlah langkah adalah 4,961 per hari.
Rendahnya budaya jalan kaki ini juga dipengaruhi oleh penggunaan kendaraan yang masif. Bahkan, Kota Malang berada di posisi keempat sebagai kota termacet di Indonesia berdasarkan publikasi the 2021 Scorecard INRIX, dengan waktu yang terbuang karena kemacetan adalah 29 jam. Sementara kota termacet di Indonesia adalah Surabaya, kemudian disusul Jakarta dan Denpasar.
Tabel 1. Kota-kota Termacet di Indonesia berdasarkan 2021 INRIX Global Traffic Scorecard
Dikutip dari INRIX, metodologi untuk pemeringkatan the 2021 Scorecard adalah "calculates time loss by analyzing peak speed and free-flow speed data for the busiest commuting corridors and sub areas as identified by data density. Employing free-flow data enables a direct comparison between peak periods and serves as the basis for calculating time loss. Total time lost is the difference in travel times experienced during the peak periods compared to free-flow conditions on a per driver basis. In other words, it is the difference between driving during commute hours versus driving at night with little traffic".
Gambar 1. Tangkapan Layar Kondisi Lalu-lintas di Malang, Minggu, 30 Januari 2022
Kemacetan di Malang terutama tampak di pintu gerbang-pintu gerbang kota, seperti di pertigaan PDAM Blimbing di utara kota, pertigaan Dinoyo di bagian barat, pertigaan Kacuk di bagian selatan, serta Jembatan Ranugrati di timur Kota Malang
Sinergi Malang Raya
Wisata satu branding Malang Raya yang diharapkan membuat sinergi dunia pariwisata di Malang Raya (Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu) juga diharapkan dapat mendorong masyarakat lokal dan pengunjung untuk lebih familiar dengan budaya jalan kaki.
Dengan adanya kerjasama antar pemerintah daerah, wisatawan akan dihadapkan dengan berbagai pilihan tempat wisata, meningkatkan kebiasaan jalan kaki, mudah dan murah untuk menjelajah wilayah sekitar dan mengakses berbagai tempat wisata, memperpanjang durasi tinggal, serta berkontribusi bagi perekonomian.
Sementara bagi masyarakat lokal, sarana dan prasana yang berorientasi pada pejalan kaki akan mendorong masyarakat untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, mendorong keterlibatan masyarakat untuk lebih peduli pada lingkungan dan terlibat dalam aspek pelayanan (hospitality) bagi pengunjug, dan pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup warga.
Maka, beberapa hal bisa dilakukan untuk dapat mendorong budaya jalan kaki di Malang Raya. Pertama, perlu lebih banyak tempat wisata yang berbasis aktivitas fisik terutama berjalan kaki termasuk menghubungkan tempat-tempat wisata tersebut dengan kawasan pemukiman dan pusat-pusat ekonomi.
Setiap pemerintah daerah dapat mengembangkan rute jalan (walking track) dengan spesialisasi kekhasan daerahnya masing-masing, seperti Kabupaten Malang dan Kota Batu dengan spesialisasi suasana alam seperti perdesaan, pegunungan, atau pantai sementara Kota Malang dapat mengembangkan walking track perkotaan dan heritage.
Maka, perlu penataan kelengkapan pejalan kaki seperti trotoar, penyeberangan jalan, toilet umum, peta rute, destinasi unggulan, penunjuk arah atau papan informasi, termasuk juga dengan tetap memperhatikan inklusivitas bagi difabel.
Kedua, perlu sinergi ketiga pemerintah daerah dalam hal perkembangan kota dan pengaturan lalu lintas karena pengembangan arah pemukiman dan aktivitas ekonomi biasanya lebih tidak berbasis batas-batas administratif. Pemerintah hendaknya berorientasi pada pelayanan kepada masyarakat dengan berpatokan pada berbagai indikator pencapaian seperti rendahnya waktu yang terbuang karena kemacetan, kualitas lingkungan yang semakin baik, kemudahan mengakses fasilitas umum dan sosial.
Ketiga, untuk dapat mendorong masyarakat mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, perlu juga sinergi dalam hal pengelolaan transportasi umum. Penggunaan bus kota sudah seharusnya dipilih karena mampu memuat lebih banyak penumpang dalam sekali jalan daripada kendaraan kecil.
Juga, perlu ada intervensi pemerintah dalam hal tarif agar tarif transportasi umum semakin terjangkau. Pengenaan tarif murah bisa juga berupa subsidi pada jam-jam tidak sibuk atau diskon tarif untuk kategori usia tertentu di hari-hari tertentu. Ke depannya, perlu juga alternatif transportasi massal berbasis rel agar tidak menganggu fungsi jalan raya.
Penutup
Pengembangan wisata di Kota Malang dan dua wilayah di sekitarnya hendaknya tidak hanya untuk melayani kebutuhan wisatawan melainkan juga harus melayani masyarakat lokal, dengan memberi perhatian lebih besar pada aktivitas fisik seperti berjalan kaki. Dengan meng-upgrade kelengkapan dan fasilitas, maka bisa menarik lebih banyak pengunjung, memperlama masa tinggal, dan meningkatkan standar hidup masyarakat setempat.
Referensi:
https://radarmalang.jawapos.com/malang-raya/23/01/2022/yes-wisata-malang-raya-sudah-sepakat-satu-branding/
https://inrix.com/scorecard/