Rokok dan Garis Kemiskinan


Publikasi BPS merilis jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2021 sebesar 9,71% turun dari 10,14% di Maret 2021. Bila dilihat dari jumlahnya, jumlah penduduk miskin Indonesia pada September 2021 adalah 26,50 juta orang, lebih rendah dari jumlah penduduk miskin di Maret 2021 sebesar 27,54 juta jiwa dan September 2020 sebesar 27,55 juta jiwa. 

Bila dilihat dari tempat tinggalnya, jumlah penduduk miskin perkotaan pada September 2021 adalah 11,86 juta jiwa (atau mencapai 7,60%), lebih rendah dibanding kondisi Maret 2021 yang mencapai 12,18 juta jiwa (7,89%). 

Sementara di perdesaan, pada September 2021, jumlah penduduk miskin mencapai 14,64 juta jiwa (atau sebesar 12,53%), lebih rendah dibanding Pada Maret 2021 sebesar 15,37 juta jiwa (13,10%)

Penentuan kondisi miskin atau tidak miskin adalah dengan menggunakan Garis Kemiskinan, yakni batas pengeluaran minimum agar seseorang dianggap tidak miskin. Jika ia memiliki pengeluaran lebih rendah dibanding Garis Kemiskinan tersebut, maka ia dikategorikan miskin.

Garis Kemiskinan di perkotaan biasanya lebih tinggi daripada di perdesaan. 

Pada September 2021, Garis Kemiskinan di perkotaan adalah  Rp.502.730 per kapita per bulan dengan Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp.363.836 dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar Rp.138.894. 

Sementara di perdesaan, Garis Kemiskinan di bulan September 2021 sebesar Rp.464.474 per kapita per bulan dengan Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp.355.299 dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar Rp.109.175. (Tabel 1).

Tabel 1. Garis Kemiskinan dan Perkembangannya Menurut Daerah, September 2020–September 2021

Tabel 1 menunjukkan Garis Kemiskinan secara nasional pada September 2021 tercatat sebesar Rp486.168 per kapita per bulan dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp360.007 (74,05%) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar Rp126.161 (25,95%) 

Pada September 2021, secara rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,50 orang anggota rumah tangga. Dengan demikian, besarnya Garis Kemiskinan per rumah tangga miskin secara rata-rata adalah sebesar Rp2.187.756,- per bulan. 

Penyebab Kemiskinan

Kondisi miskin disebabkan oleh multifaktor yang saling berinteraksi. Dikutip dari Chronic Poverty Research Centre (2004), Bird (2019), dan Sumarto dan De Silva (2013), berbagai penyebab kemiskinan adalah:

Pertama, rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi sehingga memberi sedikit peluang bagi masyarakat untuk meningkatkan pendapatan dan mengakumulasikan aset.

Kedua, sikap sosial yang cenderung mengucilkan dan menolak penggabungan orang-orang yang tersisihkan sehingga mereka akan mengalami diskriminasi dan stigma yang memaksa mereka untuk terus menerus terlibat dalam aktivitas ekonomi yang membuat mereka tetap miskin (contohnya, upah rendah, lingkungan kerja tidak aman, penguasaan aset rendah, akses terbatas ke jaminan kesehatan dan perlindungan keselamatan kerja, serta ketergantungan pada patron atau tuan).

Ketiga, kondisi berkekurangan (deprivation) terutama pada masa bayi, balita, dan anak-anak, seperti kekurangan nutrisi, sakit yang tidak segera dicarikan penyembuhannya, dan keterbatasan akses pada pendidikan, yang dapat menyebabkan rendahnya kualitas sumber daya manusia yang tidak dapat diperbaiki lagi (irreversible).

Keempat, kondisi geografis yang tidak menguntungkan seperti ditandai dengan kondisi yang terisolir, potensi ekonomi yang rendah, situasi politis yang tidak menguntungkan, serta kondisi geografis yang memiliki keterkaitan rendah dengan daerah lain.

Lebih lanjut, BPS merilis komoditas yang berkontribusi pada Garis Kemiskinan di Indonesia (Tabel 2)

Tabel 2. Daftar Komoditi yang Memberi Sumbangan Besar terhadap Garis Kemiskinan beserta Kontribusinya (%), September 2021

Tabel 2 menunjukkan komoditas makanan berkontribusi lebih besar dibanding komoditas bukan makanan pada penentuan Garis Kemiskinan di Indonesia, baik di perkotaan maupun perdesaan. Hal ini bermakna pendapatan masyarakat yang berada di bawah Garis Kemiskinan lebih banyak dihabiskan untuk membeli makanan daripada komoditas bukan makanan.

Beras dan rokok merupakan dua kontributor terbesar Garis Kemiskinan di Indonesia. Di perkotaan, kedua komoditas ini berkontribusi sebesar 19,69% dan 11,30% sementara di perdesaan, kedua komoditas ini berkontribusi sebesar 23,79% dan 10,78%. 

Pertanyaan-pertanyaan Mengenai Rokok

Pengendalian konsumsi rokok sendiri dilakukan secara langsung (pembatasan atau pelarangan penjualan dan konsumsi rokok) maupun tidak langsung (pengenaan cukai). Cukai sendiri didefinisikan sebagai pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat dan karakteristik tertentu, yaitu: konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.


Penerimaan cukai yang terus mengalami kenaikan pada periode 2015-2020 menunjukkan konsumsi rokok, yang notabene adalah salah satu kontributor terbesar kemiskinan, yang relatif masih belum dapat dikendalikan. 

Oleh karena itu, upaya lebih komprehensif untuk menurunkan konsumsi rokok—yang sekaligus akan dapat meningkatkan masyarakat keluar dari kemiskinan—secara lebih spesifik untuk menjawab beberapa pertanyaan berikut:

Pertama, kenapa konsumsi rokok jauh lebih tinggi daripada konsumsi komoditas pangan telur, daging, atau bahkan tahu dan tempe? Jika beras, telur, dan daging adalah sumber kebutuhan karbohidrat, protein, dan lemak bagi tubuh manusia, maka manfaat rokok bagi tubuh manusia sehingga ia mampu menjadi kontributor terbesar kedua setelah beras pada penentuan Garis Kemiskinan di Indonesia? Jika Garis Kemiskinan meningkat, apakah konsumsi rokok akan tetap , semakin rendah, atau semakin tinggi?

Kedua, jika rokok tidak memberi manfaat bagi tubuh—kerugian lebih besar daripada manfaat—maka, kenapa merokok? Bagaimana persepsi masyarakat yang berbeda kelas—miskin, menengah, kaya—terhadap rokok dibentuk oleh keputusan diri sendiri, pengetahuan, serta pengaruh lingkungan sehingga menyebabkan munculnya konsumsi rokok?

Ketiga, saat pandemi dimana perekonomian melemah, dunia bisnis semakin lesu, dan pendapatan keluarga cenderung stagnan atau malah menurun, bagaimana pola konsumsi rokok—apakah tetap tinggi, semakin menurun, atau malah semakin meningkat? Bagaimana konsumsi rokok dapat 'memakan' konsumsi komoditas lain (kenaikan konsumsi rokok akan mengurangi konsumsi komoditas tertentu)? 

Keempat, jika pengeluaran konsumsi masyarakat yang berada di bawah Garis Kemiskinan didominasi pengeluaran untuk makanan—dengan rokok menempati urutan pengeluaran terbesar kedua—bagaimana pola pengeluaran kelompok masyarakat yang lebih kaya? Apakah konsumsi rokok di masyarakat yang lebih kaya sama besar dengan masyarakat yang lebih miskin? Apakah 'nilai' rokok akan sama di masyarakat yang berbeda kelas? 

Referensi:
Badan Pusat Statistik. 2022. Profil Kemiskinan di Indonesia September 2021 (tautan)
Bird, K. 2019. Addressing spatial poverty traps. Overseas Development Institute, Chronic Poverty Advisory Network: London, UK.
Chronic Poverty Research Centre 2004. Chronic Poverty Report 2004 - 05. Manchester: CPRC, University of Manchester.
Sumarto, S. & De Silva, I. 2014. Beyond the Headcount: Examining the Dynamics and Patterns of Multidimensional Poverty in Indonesia.


Popular posts from this blog

Skewness dan Kurtosis

Piramida Distribusi Kekayaan Masyarakat Indonesia

KKN di Desa Penari

Palma Ratio Indonesia

Daya Beli Masyarakat, in this Economy: Dunia Usaha dan Perspektif Ekonomi Makro

Generasi Hutang: Literasi Keuangan dan Kekayaan Rumah Tangga

Berapa Rata-Rata Kekayaan Rumah Tangga di Indonesia?