Hak untuk Memiliki Anak: Ditujukan kepada Siapa?




Beberapa waktu lalu seorang selebriti di media sosial membuat heboh dengan pernyataan tidak ingin punya anak. Sontak, media sosial heboh dengan pro dan kontra, terutama menyoroti masalah hak wanita dan kodrat. 

Lebih dari itu, Majelis Ulama Indonesia juga turut berkomentar yang pada intinya menyatakan wanita ideal adalah yang punya anak; bahkan mereka menganjurkan untuk punya anak, dengan mengambil contoh berbagai negara maju yang kekurangan penduduk (Ketua MUI soal Fenomena Pilih Tak Miliki Anak: Itu Hak, tapi Salahi Kodrat (detik.com)).

Setiap orang memiliki hak untuk memilih untuk punya atau tidak punya anak. Namun hendaknya juga melihat pada dua hal utama, yakni sesuai konteks yang terjadi saat ini dan masa depan, dan melihat posisi kelas sosial ekonomi individu yang bersangkutan. 

Pertama, setiap orang harus melihat dalam konteks kekinian dan masa yang akan datang. Situasi pandemi COVID-19 kini membuat apakah keputusan punya anak merupakan keputusan yang normal dan dapat diterima, mengingat tantangan anak (dan orang tua) di masa pandemi COVID-19 jelas berbeda dengan masa sebelum pandemi. 

Masa pandemi berarti interaksi antar individu yang semakin berkurang (untuk menghindari penyebaran virus) dan mobilitas antar daerah yang lebih terbatas. Dampaknya adalah setiap individu akan cenderung merasa lebih kesepian dan kebebasan yang semakin berkurang. 

Bagaimana setiap keluarga harus menyikapi kondisi ini, terutama berkaitan dengan keputusan punya anak, dan berkaitan dengan tumbuh kembang si anak kelak? 

Apakah setiap orang dapat dengan sigap mempersiapkan diri dan keluarganya untuk menghadapi pandemi COVID-19 ini, termasuk pandemi-pandemi lain di masa depan?

Kedua, pernyataan yang pro terhadap keputusan memiliki anak juga harus jelas ditujukan kepada siapa. Apakah kepada masyarakat kelas atas yang tetap bisa mempertahankan standar hidup tinggi meski sedang pandemi? Atau ditujukan kepada masyarakat kelas menengah yang masih tetap berjuang untuk bisa work from home atau school from home? Atau ditujukan kepada masyarakat kelas bawah yang tetap harus keluar mencari nafkah meski sedang pandemi?

Hal ini penting karena tiap kelompok masyarakat di atas akan memberi respon yang berbeda terhadap keputusan punya anak. 

Jika menurut Becker (1973) keputusan untuk menikah adalah didasari keinginan untuk mencapai tingkat kepuasan yang lebih tinggi (better off) dibanding mereka yang tidak menikah dengan kehadiran anak yang merupakan sumber terbesar kebahagiaan tersebut, maka mana yang memberi dampak lebih besar bagi penambahan kebahagiaan tersebut: kuantitas atau kualitas anak?

Respon terhadap pilihan kuantitas atau kualitas anak akan berbeda untuk setiap kelas di masyarakat. Respon ini bergantung pada seberapa besar kepuasan orang tua untuk bisa memberi "warisan" untuk si anak. Kata "warisan" tersebut merujuk pada hal-hal yang melekat secara fisik pada si anak, seperti kecerdasan, etnis/ras, tinggi badan, termasuk juga warisan yang berupa material seperti harta kekayaan, tingkat pendidikan, dan suasana rumah yang nyaman.

Semakin tinggi keyakinan orang tua bisa memberi "warisan" maka tingkat kepuasan orang tua akan semakin tinggi, sehingga membuat penekanan pada kualitas anak akan semakin besar.

Kualitas Penduduk atau Kuantitas Penduduk?

Bagi negara, mana yang lebih dibutuhkan: kualitas penduduk atau kuantitas penduduk? 

Hal ini penting karena selaku pengambil kebijakan, negara harus mampu menaikkan tingkat kepuasan seluruh rakyatnya. Tingkat kepuasan ini yang kemudian diberi nilai atau indikator yang lebih obyektif untuk memudahkan pengamatan atau perbandingan antar individu/ kelompok, antar daerah, dan antar waktu. 

Salah satu indikator ekonomi yang banyak digunakan untuk mengukur tingkat kemakmuran masyarakat adalah pendapatan per kapita. Pada tahun 2021, Indonesia memiliki pendapatan per kapita $4.256 dan termasuk dalam kelas berpendapatan menengah-bawah (lower-middle income). Namun karena pengukuran tersebut berasal dari nilai rata-rata (yakni jumlah seluruh produksi dibagi dengan jumlah penduduk), masih belum jelas kelompok masyarakat mana yang menikmati bagian terbesar dari pendatan ekonomi tersebut. 

Pemahaman yang berlaku adalah, karena perhitungan pendapatan per kapita berasal dari perhitungan rata-rata, maka kelompok masyarakat ataslah yang akan berkontribusi terbesar bagi perekonomian, kemudian disusul oleh kelas menengah, dan yang terakhir adalah kelas bawah. 

Logikanya adalah semakin tinggi akses terhadap modal, teknologi, jaringan, atau keterampilan, yang pada umumnya dimiliki oleh masyarakat kelas atas, akan membuat kontribusi mereka pada aktivitas ekonomi lebih tinggi daripada kelompok masyarakat lain yang memiliki modal, teknologi, jaringan, atau keterampilan yang lebih rendah, yang biasanya dimiliki oleh kelompok masyarakat yang lebih rendah.

Jika kontribusi tersebut berbanding lurus dengan pendapatan yang diterima, maka semakin besar akses yang dimiliki sekelompok masyarakat terhadap modal, teknologi, atau keterampilan tadi akan membuat semakin besar pendapatan yang akan diterimanya.

Pendapatan tadi dapat merupakan proksi untuk "warisan"; dimana semakin banyak pendapatan maka semakin tinggi kemampuan orang tua untuk memberi tingkat pendidikan lebih baik, makanan lebih bernutrisi, atau lingkungan rumah yang lebih baik, dengan mengasumsikan hal-hal lain adalah konstan. 

Maka, bagaimana jumlah anak yang sebaiknya dimiliki oleh masyarakat yang masuk kategori tidak mampu memberi "warisan", apakah lebih banyak, sama, atau lebih sedikit dibanding mereka yang mampu memberi "warisan"? 

Penutup

Keputusan untuk berkeluarga, memiliki anak, atau tidak memiliki anak adalah keputusan individu dan merupakan kesepakatan dengan pasangan. 

Namun negara juga seharusnya bisa memaksa seseorang untuk pengambilan keputusan tersebut, berdasarkan pada konteks dan profil kemampuan seseorang untuk memberi "warisan".


(Thomas Soseco) 

Popular posts from this blog

Skewness dan Kurtosis

Piramida Distribusi Kekayaan Masyarakat Indonesia

Palma Ratio Indonesia

KKN di Desa Penari

Daya Beli Masyarakat, in this Economy: Dunia Usaha dan Perspektif Ekonomi Makro

Berapa Rata-Rata Kekayaan Rumah Tangga di Indonesia?

Robustness Check