Viral, Gaji 20 Juta Ngaku Rakyat Kecil dan Butuh Bansos
Jagat maya dihebohkan dengan curhatan penggunanya. Seorang netizen kesulitan membayar kebutuhannya karena gajinya berkurang akibat pandemi COVID-19.
Berikut isi lengkapnya:
“Sedikit curhat, saya seorang karyawan swasta dijakarta, gaji saya 20 juta/bulan, tapi setelah covid 19 ini saya hanya digaji separo hanya sekitar 10 juta/bulan, saya mohon bantuan dari pemerintah untuk makan anak istri karena sisa gaji segitu tidak cukup, karena saya ada cicilan mobil 4,5 juta/bulan ditambah saya ada KPR sekitar 5 juta/bulan, jadi sebulan saya hanya sisa 500 ribu, kalo cicilan saya tidak saya bayarkan bisa-bisa rumah dan mobil disita, itu gak cukup untuk susu anak saya, mohon pemerintah perhatikan kami Rakyat Kecil yang sampai saat ini belum dapat bantuan sosial (Bansos), terima kasih,”
Curhatan ini sontak memunculkan berbagai komentar dari netizen lain. Tapi saya tidak akan membahasnya lebih jauh, melainkan mencoba menarik beberapa pelajaran dari kasus di atas.
Pertama, pandemi COVID-19 bisa menyerang siapa saja secara sadis dari sisi finansial. Bahkan yang bergaji Rp.20 juta per bulan, yang masuk ke dalam golongan kelas menengah Indonesia, saja bisa kelimpungan. Apalagi yang bergaji di bawah itu.
Dalam masa pandemi, akan ada pelambatan dari sisi produksi dan konsumsi. Ruang gerak masyarakat dibatasi dan banyak sektor usaha yang tutup. Contohnya sekolah dan kampus yang tutup berarti tidak ada pendapatan bagi pedagang perlengkapan sekolah, rental komputer, tempat foto kopi, industri kuliner, atau jasa antar jemput. Masyarakat mengalami penurunan pendapatan. Mereka cenderung menahan diri untuk belanja dan lebih memprioritaskan barang kebutuhan pokok. Tidak banyak barang yang dibeli berarti tidak banyak permintaan bagi produsen dan pedagang. Tidak banyak permintaan berarti pemasukan yang semakin mengecil.
Akibatnya, produsen dan pedagang mengurangi atau bahkan menghentikan operasional mereka, menyebabkan semakin banyak pegawai yang dirumahkan. Mereka yang masih tetap bekerjapun akan mengalami penurunan pendapatan, karena tidak banyak penjualan yang terjadi. Seperti contohnya di keluhan netizen di atas.
Kedua, pendapatan tinggi namun jika tidak diimbangi dengan pengelolaan finansial yang baik akan membuat kesulitan finansial terutama di saat krisis. Idealnya, hutang tidak melebih 30% dari pendapatan. Namun melihat contoh gaji Rp.20 juta di atas, kredit mobil Rp.4,5 juta ditambah KPR Rp.5 juta saja sudah hampir mencapai setengah dari pendapatan. Biasanya, semakin tinggi pendapatan maka proporsi untuk pengeluaran semakin kecil, meski secara nominal semakin besar.
Seharusnya penurunan proporsi dari pengeluaran ini dialihkan untuk tabungan atau investasi. Sehingga semakin tinggi pendapatan maka proporsi untuk ditabung atau investasi semakin besar.
Ketiga, perhitungan gaji atau pendapatan saja tidak cukup untuk menunjukkan kemampuan finansial seseorang. Kemampuan finansial berarti juga kemampuan mempertahankan standar hidup, termasuk membayar hutang-hutangnya, saat pendapatan menurun atau bahkan nol. Maka, semakin tinggi pendapatan seseorang berarti juga seharusnya semakin banyak simpanan, investasi, termasuk juga aset, yang bisa digunakan untuk bertahan di kala krisis.
Dalam jangka pendek, misalnya satu tahun, keluarga bisa mengambil simpanan (tabungan atau deposito) mereka. Dalam jangka menengah, yakni satu-tiga tahun, pencairan aset atau investasi menjadi hal terbaik. Namun di sini mereka harus berhadapan dengan melemahnya pasar. Masa depan sektoral yang suram berarti tekanan bagi saham-saham tertentu, membuat pasar saham mengalami penurunan kinerja. Demikian halnya dengan aset di sektor riil seperti properti; tidak banyak orang yang membeli properti baru berarti penjual berpotensi mengalami kesulitan dalam menjual properti mereka, sehingga menurunkan harga untuk menarik minat pembeli. Sama halnya dengan aset berupa barang bergerak (seperti kendaraan, mesin produksi, perabotan) atau barang koleksi (seperti lukisan, patung, atau benda seni lain) yang juga mengalami potensi penurunan harga. Termasuk juga logam mulia dimana meski harga logam mulia dan perhiasan cenderung stabil, sebagian pedagang akan berhenti menambah stok (membeli dari masyarakat) karena tidak banyak masyarakat yang membeli logam mulia atau perhiasan di saat krisis.
Ketiga pelajaran di atas perlu menjadi pembelajaran bagi kita agar tidak terjebak di lubang yang sama.
(Thomas Soseco)