Contactless Payment

Menggunakan Produk Lokal dan Pembayaran Nirkontak, Membantu Bangsa di Kala Pandemi

Pada saat pandemi COVID-19, pembayaran nirkontak (contactless payment) menjadi solusi terbaik untuk meminimalisir kontak antar individu saat melakukan transaksi pembayaran di kasir. Pembayaran dengan kartu debit/kredit dengan RFID, kartu prabayar yang di-tap, atau dengan memindai QR-code dari ponsel berarti pelanggan tidak perlu memegang mesin EDC untuk menggesek atau memasukkan kartu serta tidak perlu menyentuh keypad untuk memasukkan PIN.

Pembayaran tunai dan non tunai dengan mesin EDC jelas bukan pilihan bijak karena virus dapat bertahan di uang kertas dan uang logam, serta peralatan penunjang seperti mesin ATM, mesin kasir, dan mesin EDC.  World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa Virus Corona bisa bertahan sampai 72 jam di permukaan plastik dan stainless steel, 4 jam di permukaan tembaga, dan 24 jam di permukaan kardus atau karton.

Kombinasi antara pembayaran nirkontak dengan semangat untuk mendukung sektor ekonomi lokal merupakan langkah ideal untuk mendukung perekonomian di kala krisis. 

Studi Kasus New Zealand

Kombinasi pembayaran nirkontak dan mendukung ekonomi lokal juga digencarkan di Selandia Baru, terutama saat periode lockdown selama empat minggu sejak 25 Maret 2020, dan kemudian dilanjutkan dengan level 3 kewaspadaan COVID-19 selama dua minggu mulai 28 April 2020.

Pada saat lockdown masyarakat masih tetap bisa keluar rumah untuk belanja kebutuhan sehari-hari. Kewaspadaan tingkat tinggi saat berbelanja harus diterapkan, seperti memberi jarak antar pelanggan setidaknya 2 meter, membatasi jumlah orang yang boleh ada di dalam toko dalam satu waktu bersamaan, mengurangi durasi pelanggan di dalam toko, serta mengurangi kontak dengan permukaan apapun.

Saat ada dua toko dengan luas dan variasi barang yang relatif sama, dan satu toko dimiliki oleh pedagang lokal dan yang lain adalah toko berjejaring nasional, maka toko yang dimiliki pedagang lokal itu biasanya menjual barang lebih murah daripada toko yang satunya.

Pada saat lockdown, kedua toko tersebut tetap buka. Prosedur kehati-hatian tentu diterapkan saat belanja di kedua toko tersebut. Orientasi utama adalah mengurangi kontak dengan berbagai jenis permukaan. Namun, kendala terbesar justru muncul di toko yang dimiliki oleh pedagang lokal: harus memencet keypad untuk memasukkan PIN pada saat pembayaran. Tidak ada fasilitas pembayaran nirkontak di toko ini seperti halnya di toko sebelah.

Ternyata keengganan toko-toko kecil untuk menyediakan fasilitas pembayaran nirkontak juga menjadi perbincangan pada saat lockdown, dan terus berlanjut saat Selandia Baru memasuki status kewaspadaan COVID-19 level 3.

Pada kondisi level 3, masyarakat masih tetap dianjurkan berdiam di rumah namun restriksi perjalanan semakin diperlonggar. Sebagian besar tempat usaha sudah boleh buka, dengan syarat utama tidak boleh ada kontak langsung dengan pelanggan.

Tempat-tempat usaha yang membutuhkan tatap muka atau kontak langsung dengan pelanggan akan tetap tutup, seperti salon, perawatan kecantikan, dan penjualan barang. Sementara bidang konstruksi, perkebunan, dan pertambangan sudah boleh beroperasi karena tidak membutuhkan kontak langsung dengan pelanggan. Tempat usaha yang mengundang kerumunan massa juga tetap tutup, seperti bioskop dan gedung pertunjukan.

Bagi rumah makan/restoran, tidak ada pelanggan yang boleh makan di tempat. Penjualan hanya boleh dengan delivery, drive-through, atau click and collect. Pembayaran sudah harus diselesaikan dengan metode online atau bayar di tempat dengan metode pembayaran nirkontak.

Jacinda Ardern urges New Zealanders to eat restaurants from places doing their own delivery next week.
Jacinda Ardern, Prime Minister of New Zealand

Dua Isu yang Berkembang

Ada dua isu yang saat ini berkembang di Selandia Baru. Pertama, dorongan untuk menggunakan produk lokal. Pesan ini disampaikan oleh Perdana Menteri Jacinda Ardern dalam konferensi persnya hari Rabu, 22 April 2020. Salah satu pesan yang disampaikan adalah mendorong warga untuk berbelanja di rumah makan/restoran lokal yang tidak memiliki layanan pesan antar (delivery) sendiri serta menghindari menggunakan layanan pesan antar dari pihak ketiga seperti Uber Eats.

Hal ini didasari bahwa larangan pelanggan untuk memasuki area restoran membuat layanan pesan antar akan semakin diminati. Namun kebanyakan rumah makan/restoran kecil biasanya tidak memiliki armada pesan antar sendiri atau bekerja sama dengan layanan pesan antar pihak ketiga.

Khusus Uber Eats sendiri menjadi sorotan karena, selaku pemimpin pasar, mereka menetapkan komisi atas layanan mereka yang lebih tinggi daripada kompetitor lain. Uber Eats menetapkan 30-35% dari nilai pesanan, jauh lebih tinggi daripada kompetitor lokal seperti Deliveryeasy (20%), Menulog (14%), dan Eat Local NZ (5%). Kerisauan ini disampaikan oleh Asosiasi Restoran Selandia Baru (Restaurant Association New Zealand) pada tanggal 22 April 2020 dimana mereka mendesak pemerintah untuk menetapkan batas maksimum komisi yang boleh diterima oleh pihak ketiga penyedia layanan pesan antar.

Dalam masa normal sebelum pandemi, layanan pesan antar adalah nilai tambah bagi pihak restoran sehingga komisi yang tinggi tidak terlalu terasa bagi pedagang. Namun saat di level 3 pandemi, layanan pesan antar akan menjadi tulang punggung penjualan bagi pihak restoran sehingga komisi yang terlalu tinggi akan secara signifikan membebani pedagang dan masyarakat.

Isu kedua adalah penggunaan pembayaran nirkontak. Pada masa pandemi, pengunaan mesin EDC telah disadari dapat meningkatkan risiko penyebaran virus. Namun resistensi penggunaan atas pembayaran nirkontak justru disebabkan oleh pihak yang mendorong penggunaan pembayaran nirkontak tersebut.

Di Selandia Baru, hanya ada sekitar 7% warga yang menggunakan uang tunai untuk pembayaran utama sehari-hari sementara lebih dari 80% warga memillih menggunakan kartu yang diterbitkan bank (The Reserve Bank New Zealand, 2019). Popularitas pembayaran nirkontak, seperti yang ditawarkan oleh Visa payWave, Mastercard PayPass dan Apple Pay, juga diprediksi semakin meningkat karena menawarkan kemudahan dan kepraktisan pagi pengguna.

Popularitas pembayaran nirkontak yang semakin meningkat justru diiringi dengan konsekuensi biaya transaksi yang tinggi bagi pedagang. Kritik ini disampaikan oleh Asosiasi Pedagang Selandia Baru (Retail New Zealand) pertama kali dalam laporan mereka tahun 2015. Saat ini, biaya transaksi rata-rata untuk layanan pembayaran nirkontak adalah 1,1-1,2% untuk setiap transaksi dengan kartu debit dan 1,6% untuk kartu kredit (Retail NZ, 2018). Nilai ini jauh lebih tinggi dibanding negara-negara lain seperti Australia (0,6% untuk kartu debit dan 0,8% untuk kartu kredit) dan Inggris (0,2% dan 0,5%). Angka tersebut juga dikritik karena pedagang besar bisa mendapat tarif murah sementara pedagang kecil harus membayar tarif yang lebih mahal.

Pada saat yang sama, beberapa alternatif pembayaran non tunai masih menetapkan biaya transaksi gratis, seperti EFTPOS atau menggunakan kartu debit dengan cara digesek atau dimasukkan ke dalam mesin EDC. Sehingga tidak heran, kebanyakan pedagang kecil menolak penggunaan pembayaran nirkontak di toko mereka.

Berkaitan dengan pandemi, Asosiasi Pedagang Selandia Baru pada tanggal 18 Maret 2020 mendesak bank-bank penyedia layanan pembayaran nirkontak untuk menurunkan tarif layanan mereka. Hal ini kemudian ditanggapi dengan langkah bank-bank untuk menurunkan atau menggratiskan biaya transaksi atas layanan pembayaran nirkontak bagi pelanggan yang menggunakan kartu debitnya setidaknya untuk beberapa bulan ke depan.

Namun hal ini tidak serta merta membuat para pedagang langsung beralih menyediakan pembayaran nirkontak karena biaya transaksi pembayaran nirkontak dengan kartu kredit masih tetap berjalan, yang nilainya bahkan jauh lebih tinggi dari transaksi dengan kartu debit. Saat pedagang membuka opsi untuk pembayaran nirkontak, maka sejatinya mereka juga membuka peluang bagi pelanggan untuk membayar dengan kartu debit atau kartu kredit. Apalagi di saat krisis, kartu kredit bisa berfungsi sebagai penyelamat untuk menunda pembayaran.

Kedua isu di atas juga harus diantisipasi oleh Indonesia. Orientasi produk lokal, dari sumber-sumber lokal, dan dengan memberdayakan sumber daya lokal menunjukkan semangat gotong royong seperti yang disampaikan Presiden Joko Widodo pada 18 April 2020. Namun penggunaan produk lokal yang tanpa disertai kehati-hatian (seperti kontak langsung dalam hal pembayaran) justru berpotensi memperlama periode pandemi dan menghambat pemulihan ekonomi.

(Thomas Soseco)


Popular posts from this blog

Skewness dan Kurtosis

Piramida Distribusi Kekayaan Masyarakat Indonesia

Palma Ratio Indonesia

KKN di Desa Penari

Daya Beli Masyarakat, in this Economy: Dunia Usaha dan Perspektif Ekonomi Makro

Berapa Rata-Rata Kekayaan Rumah Tangga di Indonesia?

Robustness Check