Tingkat Pendidikan yang Lebih Tinggi Berarti juga Lebih Sejahtera (?)
Ilustrasi Pendidikan. Sumber: Université de Tours
Untuk kalian yang masih di bangku sekolah, ga sih kebayang apa sih gunanya bersekolah. Bukankah bersekolah berarti mengorbankan waktu yang seharusnya bisa untuk kerja dan mendapat uang? Terlebih, ada komentar pendidikan yang tinggi juga belum tentu menjamin kesejahteraan.
Artikel ini membahas manfaat bersekolah yang tinggi, dilihat dari sisi ekonomi.
Hasil yang didapat dari tingkat pendidikan yang dimiliki seseorang dapat dilihat dari besarnya upah yang diterima. Tentu setiap orang berbeda-beda. Ada orang yang berpendidikan tinggi namun mendapat upah rendah. Namun ada yang orang yang berpendidikan tidak tinggi namun mendapat upah tinggi. Namun secara umum, semakin tinggi pendidikan akan memberikan upah yang lebih besar.

Ilustrasi Pekerja. Sumber: workingwise.nz
Rata-rata Upah Pekerja di Indonesia
Badan Pusat Statistik mengeluarkan publikasi yang menyajikan rata-rata upah pekerja per bulan di Indonesia berdasarkan tingkat pendidikan dan jenis lapangan kerja utama. Publikasi untuk bulan Agustus 2019 bisa dilihat di sini.
Berdasarkan tingkat pendidikan, pekerja yang tidak / belum sekolah menerima upah rata-rata sebesar Rp. 1.333.719 per bulan. Kemudian pekerja yang tidak/tamat SD mendapat Rp.1.644.744 per bulan, pekerja tamatan SD mendapat Rp.1.868.571, pekerja lulusan SMP mendapat Rp.2.122.430.
Kemudian pekerja lulusan SMA mendapat rata-rata upah Rp.2.843.722, pekerja lulusan SMK mendapat Rp.2.871.216. Sementara pekerja lulusan diploma mendapat Rp.3.754.766 dan lulusan universitas mendapat Rp.4.583.759.
Dari data di atas, terlihat bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan akan memberikan upah yang lebih tinggi bagi pekerja.
Beda Lapangan Pekerjaan berarti juga Beda Tingkat Upah
Variasi upah juga akan terjadi pada jenis lapangan pekerjaan. Beberapa jenis pekerjaan akan memberikan upah yang lebih tinggi daripada lapangan pekerjaan yang lain. BPS mengklasifikasikan lapangan pekerjaan di Indonesia menjadi 17 kategori, yakni:
1. Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
2. Pertambangan dan Penggalian
3. Industri Pengolahan
4. Pengadaan Listrik dan Gas
5. Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Daur Ulang
6. Konstruksi
7. Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi, Perawatan Mobil dan Motor
8. Transportasi dan Pergudangan
9. Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum
10. Informasi dan Komunikasi
11 Jasa Keuangan dan Asuransi
12. Real Estat
13. Jasa Perusahaan
14. Administrasi Pemerintahan, Pertahanan, dan Jaminan Sosial Wajib
15. Jasa Pendidikan
16. Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial
17. Jasa Lainnya
Setiap lapangan pekerjaan memberikan upah rata-rata yang berbeda. Contohnya sektor pertanian, kehutanan, dan perkebunan memiliki rata-rata upah Rp.2.031.206. Sementara sektor pertambangan dan penggalian memiliki rata-rata upah Rp.4.774.880.
Perbedaan ini disebabkan oleh karakteristik lapangan kerja, yakni lapangan kerja yang membutuhkan keterampilan dan teknologi memberi upah yang lebih tinggi daripada sektor yang membutuhkan keterampilan atau teknologi yang lebih sederhana.
Di setiap lapangan kerja juga terlihat adanya perbedaan upah berdasarkan tingkat pendidikan pekerjanya. Contohnya,untuk sektor pertanian, kehutanan, dan perkebunan, pekerja yang tidak/belum pernah sekolah di sektor ini mendapat upah rata-rata Rp.1.274.777, pekerja yang tidak/belum tamat SD mendapat upah Rp.1.585.966, pekerja yang tamat SD mendapat upah Rp.1.796334.
Sementara pekerja lulusan SMP mendapat upah Rp.2.016.241, pekerja lulusan SMA mendapat upah Rp.2.471.166, pekerja lulusan SMK mendapat upah Rp.2.525.883. Kemudian, pekerja lulusan diploma mendapat upah Rp.3.822.057 dan pekerja lulusan universitas memiliki upah Rp.5.525.335.
Untuk jenjang pendidikan yang sama, pekerja di sektor pertambangan dan penggalian mendapat rata-rata upah yang lebih tinggi daripada mereka yang bekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan.
Di sektor pertambangan dan penggalian, pekerja yang tidak/belum pernah sekolah mendapat upah rata-rata Rp.1.647.368, pekerja yang tidak/belum tamat SD mendapat upah Rp.2.345.820, pekerja yang tamat SD mendapat upah Rp.2.562.682.
Kemudian pekerja lulusan SMP mendapat upah Rp.3.001.295, pekerja lulusan SMA mendapat upah Rp.4.880.334, pekerja lulusan SMK mendapat upah Rp.5.443.325. Kemudian, pekerja lulusan diploma mendapat upah Rp.7.426.081 dan pekerja lulusan universitas memiliki upah Rp.11.847.762.
Mengukur dari Sisi Upah Saja Tidak Cukup
Pengukuran dari sisi upah saja tidak cukup untuk menunjukkan tinggi rendahnya tingkat kesejahteraan. Ukuran kesejahteraan harus juga melihat bagaimana interaksi antara upah (penerimaan) dengan pengeluaran. Upah yang tinggi namun pengeluaran juga tinggi akan memberikan sisa upah yang tidak banyak. Ditambah dengan kuantitas dan kualitas yang belum tentu juga tinggi.
Contohnya, dua orang pekerja yang sama-sama lulusan SMA. Satu pekerja sudah berkeluarga dengan satu anak dan pekerja lainnya belum berkeluarga. Keduanya sama-sama mendapat upah sesuai dengan data di atas, yakni Rp.2.843.722 per bulan. Hal-hal lain diasumsikan sama.
Dengan upah yang sama, pekerja yang pertama harus memberi makan tiga orang sekaligus namun pekerja yang kedua hanya perlu memberi makan satu orang yaitu dia sendiri. Maka, untuk keluarga pekerja yang pertama, anggaran belanja bulanan yang dimiliki setiap orang adalah Rp.947.907. Sementara bagi pekerja kedua, anggaran belanja bulanan yang dimilikinya adalah utuh sebesar Rp.2.843.722.
Semakin tinggi anggaran per orang berarti juga semakin banyak dan jasa yang dapat dikonsumsi, dan juga semakin berkualitas barang dan jasa yang dikonsumsi oleh orang tersebut. Dengan kata lain, tingkat kesejahteraan semakin tinggi.
Kemudian ada satu komponen lagi yang seharusnya menjadi perhatian, yakni hutang. Hutang bisa muncul untuk membeli barang (sehingga menambah aset), atau untuk kepentingan yang tidak menambah aset.
Maka, interaksi antara penerimaan, pengeluaran, dan hutang akan berhulu pada nilai kekayaan bersih. Secara matematis, nilai kekayaan bersih berarti jumlah seluruh kekayaan (harta) kemudian dikurangi dengan hutang.
Semakin Tinggi Tingkat Pendidikan Maka Kekayaan Bersih Semakin Tinggi
Dengan mengunakan data Indonesian Family Life Survey (IFLS) periode 1993-2014, ditemukan hasil bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga maka semakin tinggi kekayaan bersih yang dimiliki.
Pengaruh terbesar dimiliki oleh kepala keluarga yang lulusan universitas. Kemudian disusul dengan kepala keluarga yang lulusan SMA/sederajat, kemudian tamatan SMP/sederajat, tamatan SD/sederajat, dan yang terakhir adalah mereka yang tidak sekolah.
Hal ini menunjukkan semakin tinggi pendidikan kepala keluarga berarti potensi mendapat upah yang lebih tinggi. Upah yang lebih tinggi berarti juga lebih banyak barang dan jasa yang dapat dibeli, termasuk di dalamnya untuk membeli aset. Maka, nilai aset akan meningkat.
Pendidikan yang tinggi juga diasumsikan semakin banyak uang yang tersedia untuk tabungan dan investasi. Karena tingkat tabungan atau investasi disebabkan oleh tiga hal: tingkat bunga/tingkat pengembalian, jangka waktu/periode investasi, dan jumlah yang diinvestasikan.
Sementara itu, pendidikan yang lebih tinggi juga dapat diinterpretasikan sebagai semakin mahir seseorang untuk mengelola keuangan. Pengelolaan keuangan tersebut dapat berupa kemampuan mencari informasi tentang peluang tambahan penghasilan, bijak mengelola pengeluaran, maupun kesadaran untuk berinvestasi.
Maka, terlihat sekarang apa gunanya bersekolah setinggi mungkin. Mungkin hasil yang didapatkan belum tentu sama satu orang dengan orang lain. Hasil juga belum tentu didapat dalam waktu singkat. Namun secara umum, pendidikan yang lebih tinggi akan menghasilkan tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi, diukur dari nilai kekayaan bersih.
(Thomas Soseco)