Dampak COVID-19 bagi Indonesia

COVID-19 dan Ketahanan Finansial Kita

Temuan kasus positif Virus Corona di Indonesia yang diumumkan Presiden RI hari Senin, 2 Maret 2020 membuat harga masker dan hand sanitizer semakin mahal. Hal ini ditambah dengan kepanikan sebagian masyarakat yang memborong barang-barang krebutuhan pokok.

Tak pelak, ada satu pesohor di negeri ini yang mengatakan bukan penyakitnya yang membuat mati, melainkan kepanikan masyarakat. Yang kaya mampu membeli perlengkapan dan memborong stok kebutuhan sehari-hari, sementara yang miskin hanya bisa gigit jari.

Maka perlu ditanyakan, seberapa mampu masyarakat untuk menghadapi hal darurat, terutama dari sisi finansial? Kenaikan harga barang, ditambah kebutuhan uang dalam jumlah banyak dan dalam waktu singkat membuat keluarga harus memikirkan solusinya. Belum lagi jika masyarakat yang baru berpergian dari negara atau daerah endemi perlu mengisolasi diri selama periode waktu tertentu yang tentunya membutuhkan biaya dan potensi kehilangan pendapatan.

Semua itu harus bisa diatasi dengan cadangan dana darurat. Cadangan pertama biasanya diambil dari tabungan, deposito, atau uang tunai. Jika kurang mencukupi, kemudian diambil dari cadangan uang dari aset finansial yang kurang likuid, seperti saham maupun reksadana. Alternatif berikutnya adalah dengan menjual atau menggadaikan harta, terutama harta yang cepat laku seperti perhiasan dan logam mulia. Alternatif terakhir adalah menjual harta yang butuh waktu lebih lama untuk laku, seperti properti, kendaraan, dan brang elektronik.

Untuk skala negara, Virus Corona juga berpotensi menyebabkan perlambatan ekonomi. Perlambatan ekonomi berarti semakin sedikit barang dan jasa yang diperjualbelikan. Hal ini terlihat dari beberapa aspek.

Pertama, restriksi perjalanan membuat banyak turis dan warga asing mengurangi perjalanan luar negeri. Yang pertama terasa dampaknya adalah sektor penerbangan dan pariwisata, seperti dalam hal pengurangan jadwal penerbangan, pembatalan perjalanan wisata, dan menurunnya okupansi hotel dan pengunjung restoran.

Kedua, pasokan barang dari China akan terhenti. Berkurangnya pasokan barang dari China yang merupakan produsen terbesar di dunia berpotensi menyebabkan kelangkaan barang dan kenaikan harga barang di dalam negeri.

Namun di sisi lain, peran perdagangan internasional Indonesia termasuk kecil. Proporsi ekspor Indonesia hanya sekitar 21% dari produk domestik bruto Indonesia tahun 2019. Hal ini berarti sebagian besar hasil produksi Indonesia dikonsumsi di dalam negeri. Gejolak di luar negeri hanya akan berdampak kecil bagi Indonesia.


Nilai Ekspor Barang dan Jasa serta Persentase Terhadap PDB (1967-2018). Sumber: kadadata.co.id

Upaya untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dapat tercapai jika pemerintah mendorong konsumsi dalam negeri untuk menggantikan permintaan internasional yang hilang. Contohnya dengan program bantuan langsung tunai, menaikkan belanja pemerintah dari kantor atau lembaga negara, atau dengan kebijakan diskon bagi konsumen dalam negeri.

Di sisi lain, terhambatnya suplai dari luar negeri menjadi kesempatan bagi produsen dalam negeri untuk memproduksi barang serupa. Hal ini berati juga subsitusi impor akan tercapai.

Posisi Indonesia yang tidak terlalu bergantung pada dunia luar memang bagus karena menunjukkan kemandirian bangsa. Namun dalam jangka panjang, hubungan dengan luar negeri diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan cepat. Mencari sumber produksi yang lebih murah dan variasi produk lebih banyak akan mendorong kepuasan konsumen. Sementara dari sisi produsen, hubungan luar negeri berarti juga terbukanya peluang untuk memperluas pasar.

Maka, adanya gejolak global harus diantisipasi pemerintah dengan menguatkan daya tahan negara. Sama seperti prilaku rumah tangga yang menggunakan dana darurat untuk mengamankan standar hidup, pemerintah harus memiliki cadangan dana yang mencukupi untuk mengamankan rakyatnya saat hubungan ekspor dan impor semakin memburuk.

COVID-19 dan Limpahan Mahasiswa Asing

Virus Corona membawa kita ke pengalaman bahwa krisis di China akan juga berdampak bagi perekonomian secara global. Adanya wabah virus Corona membuat China sebagai produsen manufaktur terbesar di dunia menghentikan atau mengurangi pasokan ekspornya.

Pada tahun 2019, China mengekspor komoditas senilai USD1,990,000,000,000. Kemudian diikuti oleh Amerika Serikat, Jerman, Jepang, dan Korea Selatan. Sumber: ini

Lesunya perekonomian di China ditambah dengan restriksi perjalanan dari China ke berbagai negara juga berdampak bagi mahasiswa China yang akan atau sedang studi di luar negeri. Mahasiswa dari China merupakan kontributor terbesar mahasiswa asing di berbagai negara, seperti di Selandia Baru dan Australia. Proporsi mahasiswa dari China bisa mencapai 30% dari total mahasiswa asing (sumber: ini dan ini). Tentu mahasiswa asing yang terdampak bukan hanya dari China. Namun juga negara-negara lain seperti Korea Selatan dan Jepang.

Ilustrasi Penggunaan Masker

Bagi returning students, yakni mahasiswa tahun-tahun akhir kuliahnya, restriksi perjalanan atau kewajiban isolasi diri merupakan pilihan yang harus diterima dan dijalani. Mereka tampaknya akan tetap berjuang untuk kembali ke negeri tempat studi. Sia-sia rasanya putus kuliah jika akhir masa studi tinggal hitungan bulan. Sementara bagi mahasiswa baru atau mahasiswa yang berada di tahun pertama kuliah, restriksi penerbangan membuat harapan untuk studi di luar negeri sekarang menjadi semakin tipis. 

Menunda perkuliahan sampai setahun juga bukan pilihan terbaik. Kemungkinan yang lebih logis adalah menunda keberangkatan untuk perkuliahan di awal tahun ini, tapi kemudian mencari universitas negara lain yang memulai perkuliahan di pertengahan tahun sambil menunggu virus Corona mereda.

Jika jeli, ini adalah peluang bagi negara-negara yang memulai kalender akademiknya di pertengahan tahun, termasuk Indonesia, untuk menampung limpahan mahasiswa asing.

Pembayaran Non-tunai dan Zero Contact Delivery

Pada hari Minggu, 15 Maret 2020, Presiden Joko Widodo memgimbau masyarakat Indonesia agar bekerja, belajar, dan beribadah di rumah karena masifnya penyebaran penyakit saluran pernapasan yang disebabkan virus corona jenis baru (COVID-19) (Sumber: ini)

Esensi dari imbauan ini adalah setiap warga negara diminta membatasi interaksi dengan orang lain, menjaga jarak dan durasi bertemu, termasuk di dalamnya tidak berpergian jika tidak mendesak. Jika perlu, langkah isolasi diri (self-isolation) diambil untuk menghambat penyebaran penyakit.

Isolasi diri berarti membatasi kontak fisik dengan orang lain. Termasuk juga membatasi jarak dan durasi bertemu dengan orang lain. Hal ini dilakukan, antara lain, dengan berdiam diri di rumah, tidak menerima tamu, dan tidak keluar rumah jika tidak terpaksa.

Hal ini juga sejalan dengan kebijakan di berbagai daerah yang meliburkan kegiatan belajar mengajar di sekolah-sekolah selama 14 hari, terhitung mulai Senin, 16 Maret 2020. Secara lebih tegas, para siswa bukannya libur namun diminta untuk belajar sendiri di rumah.

Bagi beberapa orang tua, mereka bisa dengan mudah mengubah lokasi kerja menjadi kerja di rumah. Bekerja di rumah dan sekaligus mengawasi anak-anaknya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seseorang yang mengisolasi diri masih diperbolehkan mendapat kiriman barang dari orang lain, namun idealnya dengan kontak fisik yang minimal.

4 Ways to improve your business delivery performance to customers
Ilustrasi Pengantaran Barang. Sumber: www.carrierm8.com

Si pengantar barang meletakkan barang di titik yang sudah disepakati di rumah klien (misalnya dicantolkan di pagar atau diletakkan di depan pintu rumah), kemudian mundur sampai jarak aman tertentu sambil menunggu klien mengambil pesanannya. Pembayaran sudah diselesaikan dengan metode pembayaran non-tunai sehingga tidak ada serah terima uang tunai.

Dapat diduga, saat semakin banyak orang yang mengisolasi diri, akan semakin banyak kebutuhan untuk jasa pengantaran makanan dan non-makanan. Dan kebutuhan untuk meminimalisir kontak fisik menjadi hal yang tidak terelakkan. Perusahaan jasa pengiriman dan jasa transportasi online di Indonesia hendaknya memiliki protokol serupa.

Protokol ini diimplementasikan tidak hanya pada aspek yang bersentuhan langsung dengan pelanggan namun juga di tahap penerimaan barang dari pemasok atau vendor, penyimpanan, dan pengiriman.

Protokol ini sudah harus diterapkan di Indonesia. Ini juga menjadi momen penting untuk mendorong penggunaan pembayaran non-tunai di Indonesia.

Harus Berdiam di Rumah tapi Tidak Punya Rumah

Bagaimana  masyarakat yang rumahnya sempit, berdesak-desakan dengan anggota keluarga lain, atau tidak layak huni bisa lolos dari pandemi? Bagaimana masyarakat yang tidak punya rumah (gelandangan) bisa selamat dari pandemi? 

Saat periode pandemi, setiap orang harus berdiam diri di rumah, membatasi perjalanan, serta menjaga jarak dengan orang lain. Hal ini bertujuan untuk mengurangi resiko tertular penyakit. Pada periode ini, kebutuhan akan rumah yang layak huni menjadi penting dan mendesak. 

Rumah yang layak huni berarti cukup ruang untuk tiap anggota keluarga, berarti ada jarak yang cukup antar individu untuk mencegah penularan penyakit. Idealnya setiap anggota keluarga mendapat kamar tidur sendiri. Kamar tidur pribadi juga berfungsi sebagai ruang isolasi jika yang bersangkutan terjangkit penyakit. Termasuk juga kamar mandi tersendiri, tidak bercampur dengan anggota keluarga lain.

Rumah yang layak huni berarti juga sirkulasi udara dan kebutuhan sinar matahari harus terpenuhi. Udara yang tidak tersirkulasi dan ruangan yang lembab justru akan membuat sakit, dan bukannya sehat. Rumah juga harus punya halaman yang memadai, sehingga bisa beraktivitas luar ruang (seperti berjemur dan olah raga ringan) tanpa harus menganggu atau kontak fisik jarak dekat dengan tetangga.
Ilustrasi Rumah. Sumber: pakarinvestasi.com

Bagaimana dengan orang-orang yang tidak punya rumah? Tidur dan beraktivitas di jalanan akan membuat potensi terpapar penyakit akan semakin besar. 

Dalam jangka pendek, perlu hunian darurat, misalkan dengan mengalihfungsikan sekolah, gedung olah raga, atau kantor pemerintah. Dalam jangka panjang, semua harus punya rumah sendiri.Pemerintah perlu berperan. Memberi kemudahan lapangan kerja, pemberian kredit rumah, dan membangun hunian sewa. 

Namun di saat yang sama, masyarakat juga harus melakukan inisiatif membatasi jumlah anggota keluarga. Jumlah anak harus disesuaikan dengan ukuran rumah. Saat jumlah anak bertambah, maka orang tua harus pindah ke rumah yang lebih besar.

Keluarga dengan dua anak membutuhkan rumah dengan minimal 3 kamar tidur: satu untuk orang tua, satu untuk anak pertama, dan satu untuk anak kedua. Berarti saat anak bertambah satu, perlu tambahan satu kamar lagi. Begitu seterusnya.

Ini untuk memperbesar peluang lolos pandemi seperti saat ini. 

Pandemi Akan Memperlebar Kesenjangan

Pandemi Virus Corona berpotensi memperlebar kesenjangan yang ada di masyarakat. Kesenjangan itu bisa dalam hal:

Pertama, dalam hal teknologi. Sekolah dan kampus mengalihkan pembelajaran mereka menjadi berbasis daring. Ditambah restriksi perjalanan membuat semakin banyak orang yang work from home dan melakukan kegiatan transaksi jual beli melalui daring. 

Orang yang yang terlahir di dunia digital mampu meminimalisir kesulitan. Sebaliknya, mereka yang terbiasa menggunakan transaksi tatap muka atau menggunakan uang tunai akan berjuang keras untuk beralih ke dunia digital.

Is technology contributing to increased inequality? | TechCrunch
Ilustrasi Ketimpangan. Sumber: techcrunch.com

Kedua, dalam hal ekonomi. Pandemi berpeluang membuat banyak sektor usaha menjadi kolaps, yakni mereka yang menggantungkan penghasilan dari kunjungan klien, seperti sektor pariwisata, hiburan, restoran, dan jasa penyedia sarana olah raga.

Agar tetap bertahan, pengusaha akan mengurangi pekerja atau bahkan berhenti beroperasi. Untuk menutupi pengeluaran, para pekerja akan menggunakan dana darurat mereka. Dana darurat yang terus menerus diambil akan sampai pada titik nadir, sehingga keluarga akan mencari sumber dana lain yakni menjual aset atau bahkan berhutang.

Masalahnya adalah banyak keluarga yang tidak memiliki cukup dana darurat atau aset yang bisa dijual. Pada saat yang sama, ada keluarga yang bekerja di sektor usaha yang memiliki fleksibilitas kerja tinggi sehingga mereka bisa bekerja dari rumah. 

Ada pula keluarga yang memiliki jumlah anak sedikit, sehingga semakin sedikit mulut yang harus diberi makan. Ada pula keluarga yang tinggal di rumah yang memadai, sehingga ada cukup ruang untuk bekerja, belajar, dan beribadah.

Ketiga, dalam hal kewilayahan. Pandemi menyebabkan ada beberapa daerah yang paling parah terhantam krisis. Mereka yang mengalami kesulitan biasanya disebabkan oleh struktur ekonominya yang didominasi oleh bidang usaha yang terhenti karena pandemi, seperti pariwisata dan hospitality. Daerah kawasan industri juga akan terdampak, mengingat kegiatan ekspor dan impor menjadi terhenti. 

Namun ada wilayah yang masih tetap bisa mempertahankan laju ekonominya. Yakni wilayah yang memiliki industri dengan pangsa pasar dalam negeri, terlebih bidang usaha yang esensial seperti makanan, alat kesehatan, dan kebutuhan rumah tangga. Atau daerah dengan banyak bidang usaha yang fleksibel, yakni bisa dikerjakan di mana saja. Seperti sektor teknologi, jasa keuangan, dan dunia pendidikan.

Ketiga aspek di atas menjadi fokus perhatian kita. Intervensi atas masyarakat atau wilayah yang paling terdampak pandemi menjadi mendesak, agar kesenjangan tidak semakin melebar.

(Thomas Soseco)




Popular posts from this blog

Skewness dan Kurtosis

Piramida Distribusi Kekayaan Masyarakat Indonesia

Palma Ratio Indonesia

KKN di Desa Penari

Daya Beli Masyarakat, in this Economy: Dunia Usaha dan Perspektif Ekonomi Makro

Berapa Rata-Rata Kekayaan Rumah Tangga di Indonesia?

Robustness Check