Kala Orang Kaya Harus Menikah dengan Orang Miskin
Ilustrasi Cincin Nikah. Sumber: investopedia.com
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengusulkan fatwa agar orang kaya menikahi orang miskin, dengan tujuan memutus lingkaran setan kemiskinan (20/2).
Menurut pak menteri, lingkaran setan ini terjadi karena orang miskin jodohnya ya orang miskin juga. Kemudian mereka akan menjadi keluarga miskin dan akan menghasilkan anak-anak yang miskin juga. Kelak anak-anak itu akan berjodoh dengan orang yang juga miskin. Begitu seterusnya menjadi seperti sebuah lingkaran setan yang tidak terputus.
Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2019 sebesar 24,79 juta orang, atau sekitar 9,22% dari populasi Indonesia. Eits, ini adalah baru yang tergolong miskin, belum termasuk yang rentan miskin ya, yang jumlahnya mencapai 115 juta jiwa.
Nah, untuk mengurangi jumlah penduduk miskin, pak menteri punya ide brilian namun dianggap kontroversi bagi banyak orang. Ide ini dianggap sudah terlalu jauh mencampuri urusan pribadi warga negara, bahkan lebih parah lagi, pemerintah dianggap sudah kehabisan solusi untuk mengatasi kemiskinan.
Biasanya seseorang mencari jodoh dari kelas sosial ekonomi yang mirip atau tidak terpaut jauh. Wajar dong, karena orang-orang kaya juga kebanyakan bergaulnya dengan sesama orang kaya. Karyawan yang berasal dari keluarga kelas menengah seringnya berinteraksi dengan karyawan lain yang selevel yang notabene juga berasal dari keluarga kelas menengah. Sementara orang-orang miskin bergaulnya dengan orang-orang miskin juga, Jadi, interaksi yang lintas kelas, apalagi kelasnya terpaut jauh, pasti akan jarang terjadi, apalagi nongkrong bareng, apalagi jatuh cinta.
Mungkin hanya di sinetron, ada orang kaya sedang naik mobil mewah, tiba-tiba menabrak gadis penjual gorengan, trus keduanya malah jatuh cinta.
Tapi secara riil, jarak antara kaya dan miskin di Indonesia sudah terlalu jauh. Batas-batas sudah tercipta, jelas terlihat mana yang kaya mana yang miskin. Bisa juga terlihat mana kawasan perumahan elit dan kawasan kumuh.
Kapan seseorang disebut miskin? Miskin itu ada miskin absolut dan miskin relatif. Miskin absolut berarti seseorang tidak mampu mencapai standar ekonomi tertentu untuk dapat disebut miskin. Sementara miskin relatif adalah saat orang tersebut memiliki standar hidup rendah dibanding masyarakat di sekitarnya.
Standar ekonomi agar ia tidak lagi disebut miskin disebut garis kemiskinan. Badan Pusat Statistik menyatakan garis kemiskinan Indonesia pada bulan September 2019 adalah Rp.440.538 per bulan per orang.
Ingat ya, angka ini adalah hitungan per bulan per orang. Yang artinya jika ada keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan dua anak, maka keluarga tersebut harus punya pendapatan bulanan minimal Rp.1.762.152 untuk dapat dikatakan berada di atas garis kemiskinan.
Kebayang kan kalau anaknya lebih dari dua. Pendapatan yang sama, Rp.1.762.152 dibagi, misalnya, tujuh anggota keluarga (ayah, ibu, dan lima anak) maka tiap kepala akan punya pendapatan Rp.352.430 per bulan. Belum lagi jika keluarga ini juga menanggung biaya hidup saudara-saudaranya, yang mungkin masih sekolah atau belum mandiri secara finansial. Pendapatan per kapita bakal jauh lebih rendah di bawah garis kemiskinan.
Maka tidak heran, keluarga miskin apalagi yang punya banyak anak biasanya mendorong anak-anaknya untuk segera masuk ke dunia kerja. Bekerja berarti punya penghasilan sendiri dan diharapkan juga bisa membantu ekonomi keluarga. Akibatnya, sekolah bukan lagi menjadi hal prioritas.
Wow, jika sekolah bukan hal prioritas, bagaimana bisa si anak memiliki kemampuan cukup untuk berpikir dan mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi? Bagaimana bisa meningkatkan pendapatan? Dan bagaimana bisa lingkaran setan kemiskinan terputus?
Fokus pemerintah dalam mengatasi kemiskinan idealnya dengan memampukan masyarakat untuk keluar dari kemiskinan dengan upayanya sendiri. Peningkatan kesejahteraan adalah kombinasi dari peningkatan pendapatan dan mengontrol pengeluaran. Pernikahan lintas kelas jelas bukan solusi terbaik.
(Thomas Soseco)