Tantangan bagi GoPay dan Dompet Digital Lain

Image result for gojek

Bulan Juli 2019, Gojek mengumumkan masuknya Visa sebagai investor. Tidak hanya membawa uang, namun Visa juga membawa teknologi pembayaran bagi Gojek. (Sumber: Reuters

Bagi Anda pengguna Gojek, mungkin selama ini merasa aneh kenapa Gojek di Indonesia tidak punya fitur pembayaran dengan kartu kredit/debit seperti halnya Grab atau Uber. Hanya ada pilihan pembayaran dengan tunai dan/atau GoPay.

Dalam kaitannya dengan GoPay, Gojek di Indonesia lebih memilih bermitra langsung dengan beberapa bank atau non-bank sebagai mitra pembayaran Gopay. Pelanggan bisa top-up GoPay dengan transfer bank, bayar di ATM atau channel pembayaran bank, atau bayar di kasir di minimarket. Jenis transaksi seperti inilah yang malah terus dipromosikan Gojek.

Sebaliknya, kerjasama Gojek dengan Visa diarahkan untuk mendukung Gojek dalam ekspansi internasional. Ekspansi Gojek ke negara-negara di kawasan Asia Tenggara seperti Vietnam, Singapura, dan Malaysia membutuhkan sistem pembayara  yang lintas negara juga. Tentu saja bisa membuat dompet elektronik seperti halnya GoPay di Indonesia, namun hal ini membutuhkan waktu lebih lama. 

Kerjasama dengan Visa juga akan memudahkan wisatawan mancanegara dalam menggunakan aplikasi Gojek. Selama ini, tanpa ada fitur pembayaran dengan kartu kredit/debit, wisatawan asing yang tidak mau membuat akun GoPay harus membayar dengan uang tunai.

Kenapa baru sekarang? 

Kenapa baru sekarang Gojek bekerjasama dengan institusi pembayaran internasional? Banyak pakar berpendapat Gojek sebenarnya memilih menjadi perusahaan finansial, dengan perantaraan layanan transportasi. Layanan transportasi digunakan untuk menarik pelanggan. Pelanggan yang tidak punya akses ke kartu kredit/debit akan dibuatkan dompet elektronik sendiri. 

Gojek tidak ingin seperti Uber. Uber adalah layanan transportasi online terbesar di dunia. Uber dengan gampang melakukan ekspansi internasional karena menggandeng mitra Visa, Mastercard, dan PayPal sebagai media pembayaran.

Tapi perkembangan bisnis Uber tampaknya sudah mencapai batasnya. Karena bergerak di bidang transportasi, Uber tidak bisa lagi (atau setidaknya sudah terlambat) untuk diversifikasi bisnisnya. Jalan yang paling logis adalah dengan memperluas jangkauan pasar ke negara lain.

Padahal diversifikasi usaha sangat krusial untuk pasar di Indonesia dan Asia Tenggara. Di Indonesia, Gojek dan Grab menyasar masyarakat yang unbankable, yakni mereka yang tidak memiliki akses ke dunia perbankan. Tanpa ada rekening bank, mereka tidak bisa memiliki kartu debit debit atau kartu kredit.

World Bank Global Findex melaporkan hanya ada 48,9% dari 188,9 juta penduduk dewasa di Indonesia yang memiliki rekening bank pada tahun 2017. Angka ini lebih rendah dari negara-negara lain di kawasan Asia Timur dan Pasifik yang mencapai 70,6%. Di tahun-tahun awal Gojek berdiri, bahkan hanya ada 19,6% penduduk dewasa Indonesia yang memiliki rekening bank (tahun 2011). Sumber: Findex

Saat Uber tidak mampu membaca pasar, maka jalan terbaik adalah keluar dari persaingan. Dan inilah yang terjadi saat Uber hengkang (dan menjual unit bisnisnya ke Grab) dari Indonesia dan Asia Tenggara pada pertengahan 2018.

Tantangan Bagi GoPay dan Dompet Digital Lainnya

Berbagai dompet elektronik di Indonesia, baik yang disediakan oleh penyedia transportasi online atau bukan akan menghadapi berbagai tantangan berikut.

Pertama, diversifikasi produk. Cara untuk mengamankan posisi adalah dengan menguasai bisnis dari hulu sampai ke hilir. Mungkin saja Gojek membentuk unit bisnis bank, sesuai rumor yang beredar pasca akuisisi Bank Artos. Sumber: CNBC Indonesia

Kedua, penggunaan dompet elektronik yang semakin meluas. Hal ini bisa berupa keragaman bentuk maupun jangkauan. Bentuk dompet elektronik yang dimiliki penyedia transportasi di Indonesia saat ini adalah berbasis server. Bukan tidak mungkin merambah ke bentuk lain, misalnya chip.

Bagi dompet elektronik yang dimiliki oleh penyedia transpotasi online, hal ini juga berarti harus semakin terintegrasinya transportasi online ke kehidupan masyarakat. Hal ini bisa ditunjukkan dengan semakin berkurangnya penolakan akan transportasi online dan keberadaan "red zone" transportasi online.

Ketiga, ekspansi ke dunia internasional. Jumlah populasi Indonesia mencapai 260 juta, tersebar di ribuan pulau serta dengan masyarakat yang heterogen. Di sisi lain, perkembangan dunia digital di Indonesia tergolong menjanjikan. Pada tahun 2019, terdapat 355 juta pengguna telepon selular (133% dari populasi), 150 juta pengguna internet, dan 150 juta pengguna aktif media sosial. (Sumber: Datareportal).

Maka, di kawasan Asia Tenggara, Indonesia adalah medan perang bagi penyedia dompet elektronik. Pemenang pasar di Indonesia dapat dengan mudah ekspansi ke luar negeri.


Perkembangan Dunia Digital di Indonesia, 2019 (Sumber: datareportal.com)

(Thomas Soseco)


Artikel Terkait:


Popular posts from this blog

Skewness dan Kurtosis

Intelligence Quotient: Apakah Miskin membuat Bodoh atau Bodoh Membuat Miskin?

IFLS: Mencari Variabel

The Prize in Economic Sciences 2019: Research to Help the World’s Poor

Piramida Distribusi Kekayaan Masyarakat Indonesia

Peta Kemiskinan Kabupaten Malang