Dompet Digital dan Pembayaran Non-tunai di Indonesia

Visa dan Mastercard adalah dua perusahaan terbesar dalam hal pembayaran non-tunai di lintas negara. Inti bisnisnya adalah menjembatani pedagang dan bank penerbit kartu. Nasabah dapat menggunakan kartu kredit/debitnya untuk bertransaksi di toko, baik di dalam maupun di luar negeri.

Adanya jaringan antar bank antar negara milik Visa dan Mastercard membuat nasabah dapat bertransaksi (misalnya mengambil uang) dari setiap ATM yang terhubung di jaringan tersebut. Tentu, layanan mereka tidaklah gratis.

Pemasukan Visa dan Mastercard untuk melayani transaksi tersebut setidaknya didapat dari dua jenis sumber. Pertama, dari sektor ritel, yakni sebesar 2-3% dari setiap transaksi. Kedua, dari transaksi di ATM, yakni sebesar USD2-3 per transaksi.

Dari sektor ritel, tagihan 2-3% untuk setiap transaksi yang dilakukan tidak muncul di tagihan nasabah melainkan menjadi beban si penjual. Persentase 2-3% tampaknya kecil. Namun bagi toko yang memiliki margin tipis, hal ini menjadi urusan besar. Maka tidak heran pada jaman dulu mereka menambahkan 2-3% dari total tagihan kepada pembeli.

Namun kini, pengenaan tambahan biaya ini sudah dihapuskan Bank Indonesia tertuang melalui Peraturan Bank Indonesia No. 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu.

Kehadiran Visa dan Mastercard di Indonesia mulai digoyang dengan kehadiran pemain-pemain baru, yang sama-sama menjanjikan berbagai kelebihan.

Dompet Elektronik 

Berdasarkan jumlah unduhan dan pengguna aktif bulanan, dua dompet elektronik yang paling banyak digunakan di Indonesia adalah GoPay dan OVO, Sumber Kompas

GoPay dikembangkan oleh Gojek. Dalam mengembangkan GoPay, mengakuisisi beberapa perusahaan fintech seperti Ponselpay (tahun 2016), Kartuku, Midtrans, dan Mapan (tahun 2007).

Sementara OVO adalah dompet digital yang melayani Grab. OVO dimiliki oleh unit usaha milik Lippo Group. OVO sendiri menggantikan dompet digital milik Grab yang sempat dibekukan ijinnya oleh Bank Indonesia bulan Oktober 2017 karena belum mengantongi ijin untuk menyelanggarakan layanan uang elektronik. Sumber: detikcom

Aplikasi e-wallet dengan pengguna terbanyak di Indonesia (Sumber: iprice.co.id)

Penggunaan dompet elektronik juga sejatinya tidak membutuhkan peran Visa dan Mastercard atau bahkan jaringan perbankan dalam negeri. Nasabah bisa mengisi dompet elektroniknya melalui saluran pembayaran sendiri. Kemudian saat melakukan transaksi, dana yang tersimpan di dompet elektronik akan ditransfer ke penjual.

Bagi konsumen, pilihan dompet elektronik yang terbaik adalah yang menyajikan beragam fitur pembayaran dan tempat belanja yang paling luas. Karena sejatinya dompet elektronik adalah seperti dompet kita sehari-hari, sehingga uang atau saldo yang tersimpan di dompet elektronik tidak akan bermanfaat banyak jika tidak dapat dipakai secara intensif.

Saat ada banyak dana yang tersimpan di dompet elektronik, berarti peluang bagi penyelenggara dompet elektronik untuk lebih memperluas pilihan belanja dan transaksi, seperti disalurkan sebagai pinjaman. Jika sudah begini, peran menghimpun uang dari masyarakat dan menyalurkan uang ke masyarakat adalah serupa dengan peran bank.

Gerbang Pembayaran Nasional

Peran Visa dan Mastercard di Indonesia juga semakin tergerus karena kehadiran Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). GPN diluncurkan pada akhir 2017, namun kampanye secara resmi dimulai pada tanggal 29 Juli 2018. GPN merupakan sistem yang mendukung interkoneksi dan interoperabilitas sistem pembayaran 
nasional. 
PT. Artajasa Pembayaran Elektronis | [Info] Gerbang Pembayaran ...

Selama ini sistem pemrosesan transaksi pembayaran di Indonesia adalah dengan menggunakan sistem yang dimiliki asing, termasuk mengalirkan data ke luar negeri lalu kembali masuk ke dalam negeri. Sistem tersebut juga berimplikasi adanya biaya jasa yang harus dibayarkan perbankan dalam negeri ke perusahaan asing pemilik sistem. 

Dengan adanya GPN, maka data yang diproses akan tetap berada di dalam negeri, termasuk menghindarkan perbankan dari pembayaran biaya jasa tersebut.

Manfaat lain adanya GPN dapat dilihat dari sisi pedagang, yakni dapat menurunkan biaya jasa yang biasanya dibebankan kepada mereka untuk setiap transaksi elektronik, dari yang biasanya sekitar 3% per transaksi menjadi 1%. Bagi nasabah, GPN juga diharapkan bisa mengurangi biaya transaksi antar bank, seperti transfer antar bank dan tarik tunai saat menggunakan ATM bank yang berbeda. 

Dari sisi perbankan, adanya kesatuan sistem pembayaran diharapkan menghilangkan sekat antar bank yang selama ini berlomba untuk membangun platform pembayarannya sendiri sehingga secara eksklusif hanya melayani instrumen yang mereka terbitkan sendiri.

Fungsi lain GPN adalah untuk mendukung gerakan nasional non tunai. Ini adalah gerakan yang dicanangkan pemerintah sejak tahun 2014 untuk memperluas penggunaan non tunai dalam setiap transaksi pembayaran di Indonesia. 

Selama ini, penggunaan uang tunai dalam setiap transaksi membawa berbagai konsekuensi bagi pembeli, penjual, perbankan, serta pemerintah. Pembeli akan direpotkan membawa uang tunai dan sekaligus berpotensi mengundang kejahatan. Belum lagi waktu dan biaya yang terbuang karena sering mengambil uang ke ATM. Bagi penjual, transaksi tunai membawa kerepotan harus menyediakan uang kembalian, potensi salah hitung, adanya biaya menyimpan uang, dan serta resiko keamanan saat menyetor uang ke bank. 

Kemudian bagi perbankan, tingginya frekuensi penarikan dan penyetoran uang tunai akan berdampak lurus bagi peningkatan biaya operasional. Sementara bagi pemerintah, tingginya penggunaan uang tunai di masyarakat memperbesar peluang kerusakan uang yang membutuhkan biaya tidak sedikit untuk mencetak uang baru dan mendistribusikannya ke masyarakat.

Terbangunnya GPN diharapkan harus mampu menyasar pedagang yang belum terlayani jaringan pembayaran elektronik. Selama ini perhatian kepada pedagang kecil dan menengah sangat minim. Hanya pedagang besar yang memiliki omset tinggi yang betul-betul menikmati manfaat dari transaksi elektronik. Biaya jasa yang dikenakan untuk setiap transaksi elektronik ditambah dengan biaya sewa mesin Electronic Data Capture (EDC) akan mampu menutup biaya yang seandainya harus ditanggung pedagang karena mengelola uang tunai. 

Sementara sebagian pedagang kelas menengah akan tetap memilih transaksi tunai karena masih merasa mampu mengelola uang tunai dengan sumber daya (tenaga, waktu, biaya) yang ada. Bagi pedagang kecil, tidak akan terbersit di benak mereka untuk mengeluarkan uang, anggap saja satu persen, untuk setiap transaksi elektronik yang terjadi sementara omset mereka masih di kisaran ratusan ribu rupiah per hari, belum lagi ditambah biaya sewa mesin EDC.

(Thomas Soseco)


Artikel Terkait:


Popular posts from this blog

Skewness dan Kurtosis

Intelligence Quotient: Apakah Miskin membuat Bodoh atau Bodoh Membuat Miskin?

IFLS: Mencari Variabel

Tantangan bagi GoPay dan Dompet Digital Lain

The Prize in Economic Sciences 2019: Research to Help the World’s Poor

Piramida Distribusi Kekayaan Masyarakat Indonesia

Peta Kemiskinan Kabupaten Malang