Insentif dan Disinsentif dalam Mengelola Sampah

Sampah impor menumpuk di Mojokerto, Jawa Timur (Foto: Zabur Karuru/ ANTARA. Dimuat di detikcom, 05 Juli 2019)
Mengelola sampah tampaknya menjadi salah satu tolak ukur baru bagi kemajuan bangsa. Kemajuan sebuah negara tidak hanya diukur dari sisi ekonomi, kesehatan, atau pendidikan melainkan juga keterikatan mereka dengan upaya pelestarian lingkungan. Negara-negara dapat digolongkan maju jika mereka telah menerapkan upaya pengelolaan sampah yang sistematis dan terintegrasi, diawali dengan reduce kemudian reuse, dan recycle.
Reduce berarti mengurang penggunaan bahan yang tidak ramah lingkungan atau bahan yang sekali pakai. Reuse berarti menggunakan barang untuk lebih dari satu kali penggunaan. Sememtara recycle berarti mengolah satu barang untuk diubah menjadi barang lain.
Saat satu negara merasa lebih mudah dan murah untuk mengekspor sampahnya, maka akan tercipta proses jual beli sampah, terutama antara negara maju sebagai pengekspor dan negara berkembang sebagai pengimpor.
Secara alamiah, negara maju menghasilkan sampah lebih banyak daripada negara berkembang, karena tingginya tingkat konsumsi. Banyaknya sampah juga berarti banyaknya bahan baku potensial untuk industri daur ulang, seperti kertas, plastik, kaleng, dan kaca.
Saat sampah impor membanjiri satu negara, maka industri pengolahan sampah dalam negeri juga akan menghadapi persaingan baru. Lebih dari itu, adanya sampah impor akan menghambat upaya negara berkembang untuk berdikari dalam upaya mengelola sampahnya sendiri.
Sebagai contoh di Indonesia, industri pengelolaan sampah kini kesulitan mencari bahan baku (link), Bahan baku yang sejatinya dapat bersumber dari dalam negeri sendiri. Maka, yang dibutuhkan sekarang adalah optimalisasi jangkauan pencarian bahan baku.
Sebagai contoh di Indonesia, industri pengelolaan sampah kini kesulitan mencari bahan baku (link), Bahan baku yang sejatinya dapat bersumber dari dalam negeri sendiri. Maka, yang dibutuhkan sekarang adalah optimalisasi jangkauan pencarian bahan baku.
Proses pencarian harus efektif, yang berarti tidak memakan waktu lama. Tidak perlu lagi proses pemilahan dari sampah non-daur ulang. Barang-barang yang dikumpulkan pun sudah bersih dan tidak memerlukan proses pembersihan lagi. Jangan sampai pengusaha lebih memilih sampah impor yang lebih bersih (link).
Efektivitas ini bisa terjadi saat pemilahan sampah sudah terjadi di lingkup rumah tangga. Dan tahap ini bisa tercapai saat rumah tangga medapat insentif dan disinsentif untuk mengolah sampahnya sendiri.
Insentif dan Disinsentif Mengelola Sampah
Insentif dan Disinsentif Mengelola Sampah
Insentif berarti dorongan bagi seseorang untuk melakukan sesuatu yang diinginkan si pemberi insentif. Disinsentif berarti dorongan bagi seseorang untuk tidak melakukan sesuatu sesuai keinginan si pemberi disinsentif.
Beberapa contoh insentif yang bisa diaplikasikan di antaranya, Pertama, insentif manfaat langsung bagi rumah tangga yang mengelola sampahnya. Contohnya bus kota di Surabaya yang menerima pembayaran dalam bentuk plastik air minum sekali pakai atau gerakan bank sampah.
Kedua, insentif yang bersumber dari industri kuliner, seperti potongan harga jika konsumen membawa wadah makan/ minum sendiri. Ketiga, insentif berupa adanya wadah untuk menampung sampah daur ulang yang diberikan pemerintah atau perusahaan (melalui CSR) ke setiap rumah tangga. Keempat, memperbanyak tempat isi ulang air minum terutama di tempat-tempat publik.
Insentif tersebut harus dikombinasikan dengan disinsentif.
Disinsentif dapat berupa, Pertama, pengangkutan sampah yang hanya seminggu sekali dan dibatasi jumlahnya. Hal ini akan membuat rumah tangga untuk mengondisikan sampahnya agar tempat sampahnya tidak cepat penuh. Hanya sampah yang tidak bisa didaur ulang yang ditaruh di tempat sampah. Armada pengangkut sampah akhirnya dapat diarahkan untuk menjangkau wilayah-wilayah yang belum terlayani pengangkutan sampah.
Yang terjadi saat ini adalah pembangunan pemukiman masif sampai ke pelosok desa, sementara tidak ada layanan pengangkutan sampah yang memadai. Akhirnya warga buang sampah sembarangan, di pinggir jalan, tepian sungai, atau tanah kosong.
Kedua, disinsentif yang berasal dari toko retail dengan tidak menyediakan plastik belanja sekali pakai. Ketiga, disinsentif dari kantor-kantor pemerintah dan swasta yang tidak lagi menggunakan alat makan sekali pakai serta penggunaan sistem komputer sehingga mengurangi penggunaan kertas.
Maka, insentif dan disinsentif diperlukan bersamaan. Satu aspek yang hilang bisa jadi membuat capaian tujuan berjalan dengan lambat.
(Thomas Soseco)
(Thomas Soseco)