Tantangan Industri Pariwisata di Indonesia

Bali (Source: indonesia.travel)
Kasus obral murah pariwisata Bali ke wisatawan Tiongkok yang baru-baru ini terkuak menjadi bukti bahwa sampai sekarang pemerintah masih mementingkan kuantitas wisatawan yang datang dan bukannya kualitas layanan dan kepuasan wisatawan. Jika target 17 juta wisatawan asing di tahun 2018 akan tercapai, maka itu hanya akan menjadi prestasi semu saat layanan justru tidak bertambah baik.
Karena ada keniscayaan bahwa industri pariwisata adalah bisnis berbasis kepercayaan dan jaringan. Kepercayaan bisa terbentuk karena adanya pengalaman yang baik. Saat promosi menjadi jor-joran namun tidak diimbangi dengan kualitas layanan yang baik, maka pariwisata Indonesia semakin tertinggal dari negara-negara tetangga.
Karena ada keniscayaan bahwa industri pariwisata adalah bisnis berbasis kepercayaan dan jaringan. Kepercayaan bisa terbentuk karena adanya pengalaman yang baik. Saat promosi menjadi jor-joran namun tidak diimbangi dengan kualitas layanan yang baik, maka pariwisata Indonesia semakin tertinggal dari negara-negara tetangga.
Jumlah wisatawan asing yang datang ke Indonesia tergolong rendah bila dibanding negara-negara tetangga. Pada tahun 2017, Indonesia mampu mendatangkan 12,9 juta wisatawan asing. Sementara pada tahun yang sama, Thailand mampu mendatangkan hampir tiga kali lipatnya, yakni sekitar 35,4 juta wisatawan. Sementara Malaysia dan Singapura bisa menarik 26 juta dan 13,9 juta wisatawan asing.
Jumlah ini menjadi miris mengingat justru potensi wisata Indonesia yang diakui hebat oleh dunia internasional. Salah satu buktinya, penobatan Pulau Jawa sebagai pulau terbaik di dunia oleh majalah Travel+Leisure pada Juli 2018. Posisi kedua dan ketiga juga ditempati Indonesia, yakni Pulau Bali dan Lombok.
Sesaat setelah Pulau Jawa dinobatkan menjadi pulau terbaik, terjadi peningkatan trafik di mesin pencarian Google dengan kata kunci Java Island. Tentu, yang paling banyak dicari tahu adalah tentang pariwisatanya. Ini seharusnya menjadi pertanda baik bagi kita bahwa akan ada lebih banyak orang yang ingin mengenal Pulau Jawa dan Indonesia. Secara tidak langsung, akan ada lebih banyak wisatawan potensial.
Namun yang perlu diwaspadai adalah saat mereka menjelajahi internet untuk mencari tahu tentang pariwisata Indonesia, justru ada terselip berbagai cerita tentang pengalaman negatif wisatawan yang berkunjung ke Indonesia.
Contohnya seperti penipuan atau pemaksaan di terminal bus, penipuan di tempat penukaran uang, ada yang kecewa karena layanan yang dipromosikan ternyata tidak sesuai kenyataan, ada guide yang tiba-tiba menghilang dalam perjalanan, kejadian pencurian barang bawaan, atau keluhan tidak bisa mengorder taksi online di tempat tertentu.
Kejadian gempa dan tsunami Palu serta Lombok juga menyisakan pertanyaan bagi warga dunia kenapa banyak staf penginapan tidak memiliki pengetahuan memadai tentang cara evakuasi dari gempa dan tsunami. Jika mereka saja tidak tahu cara menyelamatkan diri, bagaimana mereka bisa mengevakuasi tamu. Cerita-cerita negatif tersebut menunjukkan kelemahan kita dalam kualitas sumber daya manusia, baik yang terkait atau tidak terkait langsung dengan industri pariwisata.
Diskriminasi Harga Tiket di Tempat Wisata
Masih ada pembedaan tiket masuk untuk wisatawan nusantara dan mancanegara terutama taman nasional dan taman wisata alam yang notabene dikelola oleh pemerintah. Dasar pembedaan ini adalah Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan.
Dua contohnya adalah Borobudur dan Bromo. Tiket wisata untuk satu orang dewasa ke Borobudur adalah Rp.362.500 untuk wisatawan mancanegara dan Rp.40,000 untuk wisatawan nusantara. Sementara jika berkunjung ke Bromo di akhir pekan, seorang dewasa membayar Rp.317.500 untuk wisatawan asing dan Rp.32.500 untuk wisatawan nusantara.
Pola seperti ini juga diterapkan di tempat-tempat serupa seperti di Prambanan, Kawah Ijen, dan lainnya. Tempat-tempat wisata tersebut juga adalah destinasi utama masing-masing daerah; turis yang datang ke Yogyakarta pasti berkunjung ke Borobudur dan Prambanan sementara mereka yang berkunjung ke Jawa Timur tertarik akan pesona Bromo dan Kawah Ijen. Ironisnya, justru di tempat-tempat tersebut terjadi diskriminasi harga.
Adanya diskriminasi harga ini berpotensi menjadi kontraproduktif dengan upaya pemerintah menggenjot kunjungan wisatawan asing.
Hapuskan Diskriminasi Harga
Terdapat beberapa alasan kenapa pembedaan harga tiket untuk wisawatan mancanegara dan nusantara harus dihapuskan.
Pertama, untuk meningkatkan harga diri bangsa. Bagaimana bisa pemerintah membiarkan orang asing beranggapan bahwa bangsa Indonesia hanya mampu membayar harga tiket jauh lebih murah dari turis asing. Tambahan lagi, bangsa ini juga akan terus dianggap diskriminatif terhadap orang asing.
Kedua, untuk keadilan. Turis asing tentu saja tidak terima karena mereka harus membayar hampir 10 kali lipat dari wisatawan domestik namun ternyata fasilitas yang didapat sama saja. Jangan sampai gara-gara harga tiket yang tidak adil, mereka membatalkan kunjungannya.
Ketiga, jika pemerintah menyadari adanya disparitas ekonomi yang besar antara penduduk Indonesia dan masyarakat luar negeri, kenapa tidak memberi privilege atau keistimewaan bagi warganya sendiri dalam format diskon?
Diskon berlaku bagi mereka yang memenuhi kriteria tertentu, dan bukannya dipukul rata WNI atau WNA. Katakan, diskon 50% dari tarif normal bagi pengunjung dengan menunjukkan KTP. Tambahan diskon juga seharusnya didapatkan oleh pengunjung anak-anak, pelajar, serta lanjut usia. Format ini rasanya ini lebih adil; Anda mau diskon, silakan penuhi persyaratan tersebut dan jika tidak, maka berlaku tarif normal. Bukan dalam bentuk subsidi yang selama ini menjadi alasan pemerintah.
Keempat, menghindarkan kesulitan mengidentifikasi mana turis domestik dan mana turis asing. Karena selama ini pun tidak jelas bagaimana petugas loket membedakan mana turis asing dan mana turis domestik, pun juga tidak ada bukti fisik yang diminta. Jika begini, potensi kebobolan justru akan terjadi. Subsidi yang katanya diberikan kepada warga negara Indonesia justru akan bocor ke warga asing.
Sistem ini juga menimbulkan celah untuk kecurangan. Jika dikatakan akan ada pengecekan di pintu masuk, petugas yang berjaga sejatinya hanya memiliki fungsi memastikan agar hanya pengunjung yang memiliki tiket yang boleh masuk. Fungsi yang sejatinya juga dapat diambil-alih oleh mesin. Lebih daripada itu, pengelola sebenarnya tidak perlu repot melakukan pengecekan manual jika sejak awal sistemnya telah mampu memilah jenis tiket dengan lebih akurat.
Kelima, mempersempit agar diskriminasi harga tidak melebar kemana-mana. Diskriminasi terhadap wisatawan asing justru telah melebar ke masyarakat. Contohnya adalah harga makanan bagi turis asing lebih mahal dibanding warga setempat, atau harga tiket transportasi lebih mahal. Semua ini terjadi tidak lain karena pemerintah sendiri juga melakukan diskriminasi kepada turis asing.
Contoh di Selandia Baru
Pada umumnya tidak ada pembedaan harga tiket bagi wisatawan asing dan lokal di Selandia Baru. Yang ada justru pembedaan harga tiket untuk dewasa, anak, pelajar, serta lanjut usia. Juga ada paket untuk keluarga. Perbedaan ini umumnya ada di berbagai tempat wisata yang menggunakan jasa pelayanan. Sementara taman nasional, pantai, danau, atau taman kota tidak menerapkan tiket masuk alias gratis.
Contohnya adalah cable car yang ada di Wellington, ibukota Selandia Baru. Cable car ini berupa gerbong yang ditarik kabel, mendaki sejauh ratusan meter dari pusat kota ke arah perbukitan di pinggiran kota, melintasi berbagai terowongan dan jembatan. Jalur ini sudah ada sejak 1898 dan melayani sekitar 1 juta wisatawan per tahun. Fasilitas ini dikelola oleh pemerintah kota.
Harga tiket dewasa untuk sekali jalan adalah NZD5 atau sekitar Rp. 50.000. Sementara harga tiket untuk anak-anak dan pelajar adalah NZD2,5 dan NZD3. Anak-anak di bawah 5 tahun dapat naik dengan gratis. Begitu juga lansia dapat naik gratis di senin sampai jumat di jam-jam off peak (yakni antara 9 pagi sampai 3 sore dan setelah 6.30 sore) serta setiap akhir pekan dan libur nasional. Terdapat juga paket keluarga, misalnya 2 dewasa dan 2 anak hanya cukup membayar NZD20. Tidak ada pembedaan antara wisatawan asing dan wisatawan lokal.
Hal seperti ini bisa dicontoh oleh Indonesia. Tidak adanya pembedaan antara wisatawan asing dan wisatawan nusantara membuat nyaman semua pengunjung. Wisatawan dapat dengan nyaman berwisata tanpa ada perlakuan diskriminatif.
Epilog
Banyak negara, termasuk Indonesia, bisa menyajikan pemandangan alam yang menarik, pantai yang indah, atau fasilitas megah. Namun keindahan alam tersebut perlu ditunjang oleh sumber daya manusia serta sistem yang semakin baik.
(Thomas Soseco)